Pengantin Baru Kok Seperti Itu
Meskipun bukan pernikahan yang direncanakan dan diinginkan oleh Sayna, pernikahan ini tetaplah pernikahan. Seperti pengantin baru pada umumnya, ketika keluar dari kamar hotel, ia dan suami langsung diserbu dengan godaan-godaan mengenai hal erotis semacam malam pertama. Sayna bahkan sudah merona menahan malu, meskipun tidak melakukannya. Dia tetap merasa terganggu dengan godaan mereka.
Acara pernikahan digelar di sebuah hotel mewah, jadi saat ini keluarga dua belah pihak masih sama-sama berada di sana, baru setelah sarapan mereka akan pulang ke masing-masing habitatnya.
"Bagaimana malam kalian? Seru? Puas gak?"
Sayna meringis saat salah satu sepupunya menyikut. Dia tidak menjawab apa pun, memilih untuk menunduk karena tidak tahu harus menjawab bagaimana. Suasana sarapan antara dua keluarga ini terasa hangat. Mereka gampang sekali beradaptasi, walaupun dadakan menjadi besan. Kedua orangtua Sayna juga terlihat biasa saja, malah nampak bahagia bercengkrama dengan mereka, seolah tidak terjadi sesuatu atas pernikahannya.
"Kak, semalam gimana? Enak? Pasti langsung ketagihan, ya, kan?" Gadis remaja di sebelah Ezra menaik-turunkan alisnya, menggoda seperti yang lain. Sayna malah malu sendiri, berbeda dengan Ezra yang sejak awal terlihat tenang, tidak terganggu dengan ocehan orang-orang. "Kak, gimana?" Anak itu masih saja meminta jawaban pada Ezra. Sayna sudah harap-harap cemas, tidak tahu suaminya akan merespon seperti apa.
"Ya ... lumayan." Di luar dugaan, Ezra menanggapinya.
Mata Sayna membola, melirik Ezra yang berada di sampingnya dengan tidak mengerti. Apanya yang lumayan? Mereka tidak melakukan apa pun semalam.
Ezra masih saja terlihat tenang dan fokus pada makanannya, sedangkan Sayna mulai gelisah, tidak bisa tenang sedikit pun. Dia kurang nyaman berada satu meja dengan keluarga yang baru dikenalnya. Dan pergerakannya yang nampak tidak biasa itu malah disalah artikan oleh adiknya Ezra. Gadis muda itu terkikik sendiri, melihat Sayna seperti menahan geli.
"Baru pertama kali, ya, Kak? Pasti masih sakit dan gak nyaman, ya? Pantas saja, sih. Kak Ezra dingin begitu, kalau di ranjang ya, tetap saja pasti hot. Dia kan laki-laki normal." Bisikan itu yang Sayna terima dari Queena-adik iparnya-ketika sarapan telah usai dan dua keluarga sudah bubar. Mereka akan bersiap untuk pulang.
Sayna dan Ezra tidak ikut pulang, hanya mengantar kepergian mereka berdua sampai di lobi. Pengantin baru masih harus menghabiskan waktu berdua di hotel, katanya. Selama tiga hari. Dan Sayna sudah kelenyengan sendiri, memikirkan bagaimana nantinya ia akan hidup berdampingan terus dengan Ezra-suami asing yang baru ditemuinya saat di pelaminan.
Jika saja tunangannya tidak ketahuan sedang threesome di sebuah hotel, maka yang menjadi suaminya sekarang adalah si bajingan itu, bukan Ezra yang diklaim sebagai pengantin pengganti. Tapi, tak apa. Setidaknya, Ezra Davendra bukanlah laki-laki yang terpantau bajingan sejauh ini. Namun, entah untuk kedepannya. Semoga saja tidak. Sayna berharap tidak akan dibodohi untuk kedua kalinya.
"Kembali ke kamar."
"Hah?" Sayna terpaku di tempat melihat punggung Ezra yang sudah berlalu duluan, meninggalkannya yang masih termenung melepas kepergian para kerabat.
Dengan langkah sebal, Sayna menyusul suaminya kembali ke kamar mereka. Entah apa yang akan terjadi di dalam kamar nanti. Suasananya pasti sangat absurd. Ia benci untuk berada dalam satu ruangan dengan orang lain, namun kondisinya tidak nyaman. Seharusnya tadi ia ikut pulang dengan kedua orangtuanya saja, daripada harus seperti ini.
Saat masuk ke dalam kamar, semuanya sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi. Ezra malah sibuk dengan ponselnya, duduk sendiri di balkon kamar. Dan Sayna? Ia hanya terdiam, menopang dagu, duduk di tepi ranjang sambil sesekali melirik ke arah balkon yang terbuka, memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya. Sejauh ini dalam pemantauannya, Ezra bukan tipe pria yang banyak bertingkah, bahkan duduknya saja terlihat anteng dan tidak banyak melakukan pergerakan, selain mengambil cangkir kopi dari meja. Sebelum ke kamar, ia memang sempat memesan kopi terlebih dahulu.
Sebenarnya apa yang Sayna lakukan sekarang? Bukan seperti ini pernikahan yang sudah ia rencanakan, bukan seperti ini suasana pengantin baru yang sudah dia khayalkan. Ya, iyalah, semuanya tidak akan sama dengan harapan, karena orang yang menikah dengannya tidak sama dengan yang ia inginkan.
Lupakan latar belakang pernikahan yang tidak jelas! Sayna beranjak dari duduknya, memberanikan diri untuk pergi ke balkon menemani suaminya, mungkin?
"Tuan." Bahkan, Sayna duduk di sampingnya saja, Ezra tidak bereaksi apa pun. Laki-laki itu tetap saja fokus pada layar ponsel yang entah sedang melakukan hal apa di gawai tersebut. "Tuan." Sayna memanggilnya lagi, baru Ezra menoleh.
Sebentar. Hanya sebentar sekali laki-laki itu melirik padanya dan kembali abai terhadap keberadaan Sayna.
Huh, sabar, Sayna. Teruslah mencoba! Ia mengepalkan tangan, memupuk energi untuk tidak menyerah mendekati suaminya. "Tu-"
"Ezra." Akhirnya, laki-laki itu bersuara juga, meski pandangannya tidak berubah.
Ah, Sayna sampai menghela napas kasar. Dia belum terbiasa untuk memanggil namanya secara langsung. Baiklah, mari kita coba. "E-Ezra."
Sialan! Kenapa dia malah jadi gugup sekarang? Dan lihatlah, laki-laki itu menoleh padanya! Meskipun tatapan Ezra biasa saja, Sayna justru terlihat aneh saat ini. Takut melakukan kesalahan lagi.
"Maaf, Ez." Sayna menunduk, memainkan jemari tangan di atas pangkuan. Ini bukan Sayna sama sekali. Di mana Sayna yang selalu ceria, tangguh dan berani? Kenapa sekarang malah berlagak seperti gadis perawan yang baru pertama kali berkencan? Memalukan!
"Lain kali, tetaplah panggil seperti itu."
Kepala Sayna terangkat, menatap Ezra dengan bingung. "Maksudnya?"
"Jangan panggil saya tuan!"
Kepala Sayna mengangguk-angguk otomatis. Dia jadi semakin berani untuk memulai pembicaraan. Sepertinya laki-laki itu tidak semenyeramkan yang dipikirkan, masih bisa diajak bicara, meski hanya singkat dan tanpa ekspresi, lagi.
Namun yang terjadi berbeda, suasana balkon terasa hening. Keduanya saling diam dan sibuk dengan dunia masing-masing, serasa ada sebuah kutub yang memisahkan jarak di antara mereka berdua. Padahal mereka duduk saling bersebelahan.
"Ez." Sayna kembali memberanikan diri. Dia tidak bisa bertahan untuk duduk dengan sesorang, jika hanya terdiam. Dan saat laki-laki itu menoleh, Sayna menampilkan senyuman yang sebenarnya terlihat canggung. "Boleh 'kan, aku kenal lebih jauh sama kamu?"
Satu alis Ezra terangkat, sepertinya tertarik dengan ucapan Sayna. Mata Sayna bahkan mengikuti pergerakannya yang mengambil cangkir, mencicipi kopinya dengan cara yang menurut Sayna terlihat sangat cool. Sekarang fokus Ezra hanya padanya. Ia menyimpan ponsel di atas meja, bersebelahan dengan cangkir kopi yang isinya sudah tandas.
Menunggu beberapa saat, Ezra tidak juga bersuara. Akhirnya, Sayna lagi yang memulai pembicaraan. "Kita harus kenalan lebih baik lagi, Ez. Aku ... aku kan sudah menikah sama kamu. Kita sudah suami-istri." Entah kenapa wajah Sayna terasa panas saat mengatakan itu sambil ditatap oleh Ezra yang memandangnya sangat serius. "Maksudnya ... kita-"
"Oke." Hanya itu yang keluar dari mulut Ezra. Sayna sampai melongo, Ezra terlalu dingin menanggapi sebuah percakapan. Padahal seharusnya laki-laki yang memulai duluan.
"Jadi, kita harus gimana, Ez? Ma-maksudnya aku. Aku harus gimana?" Melihat Ezra yang mengernyit, Sayna jadi ikutan bingung. Dia sebenarnya bicara apa, sih?
Ah, sudahlah, lupakan! Sayna memilih untuk menyudahi percakapan tidak berbobot itu dengan memalingkan wajah dan diam seribu bahasa. Toh, Ezra juga tidak merespon apa pun dan mereka berada di kondisi yang sama seperti sebelumnya. Hanya saling diam ditemani oleh embusan angin yang melintas. Pengantin baru kok seperti itu. Heran.
Apa jika Sayna mengajaknya bercinta, laki-laki itu akan berubah jadi beringas? Mengingat semalam Ezra yang menyuruhnya untuk membuka baju, kan. Untuk bercinta?
