Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hari Baru Setelah Menikah

Banyak alasan bagi seseorang memilih untuk melakukan bunuh diri. Seperti Sayna saat ini. Dia akan lebih memilih untuk menggantung kepalanya sendiri, ketimbang harus melaksanakan tugas baru sebagai seorang istri.

Gila saja, tidak mungkin dia harus membangunkan Ezra Davendra yang masih terlelap, kan? Hari memang sudah beranjak pagi dan laki-laki itu masih terpejam dengan napas yang nampak teratur. Sayna memandanginya enggan dari samping ranjang. Dia berhasil bangun duluan, karena memang semalaman tidak bisa tidur. Sofa menjadi pilihannya untuk yang pertaa dan terakhir, karena tidak mau seranjang dengan orang asing.

Sayna membatin sendiri memperhatikan Ezra yang terlihat tenang. Memang dasarnya orang tampan, ketika tidur saja masih terlihat keren. Laki-laki itu tidur terlentang dengan kedua tangan melipat di atas dada, selimut hanya menutupi sampai ke perutnya. Tidak banyak perubahan sejak posisi tidurnya semalam. Ia juga terlihat sangat nyenyak, berbeda dengan Sayna yang bahkan tidak bisa memejamkan mata.

"E-eh?" Tubuh Sayna tersentak, langsung mundur menjauhi ranjang saat Ezra menggeliat. Ia sudah harap-harap cemas, memalingkan wajah, pura-pura sibuk memandangi hal lain, karena laki-laki itu sudah mulai membuka mata. Jangan sampai Sayna ketahuan telah memperhatikannya saat tertidur. Bisa hancur image-nya seketika.

Tidak ada suara, tidak ada percakapan atau interaksi apa pun. Susah payah Sayna mengalihkan pandangan ke arah jendela yang sudah terbuka, namun akhirnya dia tidak bisa berlama-lama untuk mengabaikan kehadiran sosok lain di kamar tersebut. Dia membalikkan badan, melihat ke arah ranjang dengan ragu.

Ezra sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya memijat pelan pangkal hidung dengan mata yang terpejam dan alisnya yang sedikit menukik. Sepertinya dia sedikit pusing saat ini. Laki-laki itu nampak acuh, seolah tidak peduli dengan keberadaan Sayna. Bahkan tidak sedikit pun terlihat mencuri pandang ke arah istri barunya. Sayna jadi ragu, apakah saat ini ia hanya dianggap hantu? Dia takut selamanya tidak akan dianggap ada di sana.

"Tu-tuan."

Laki-laki membuka mata untuk menatap pada Sayna. Ia hanya menampilkan tatapan datar, terlihat enggan menanggapi.

"Apa perlu sesuatu?" Bukannya mendapat jawaban, Sayna malah mendapat raut wajah Ezra yang berubah jadi semakin aneh. Dahi laki-laki itu mengernyit, tidak mengatakan apa pun. Sepertinya Sayna memang tidak dianggap oleh laki-laki itu.

Sayna tidak akan menyerah sampai di sana. Semalaman tidak tidur, memikirkan banyak hal terutama masalah yang dihadapinya saat ini. Dia sudah bertekad akan menjalankan pernikahan ini dengan baik, kendati latar belakang pernikahan yang tidak seharusnya. Dia akan mencoba untuk memerankan peran sebiasanya, karena dia bukan menikah secara main-main. Namun, sebuah janji suci telah terucap dari mereka dan ini adalah pernikahan nyata yang harus dijalaninya.

"Apa Tuan perlu sesuatu?" Dia memberanikan diri untuk mendekat lagi. Suaminya hanya terdiam sejak tadi dan malah beranjak ke kamar mandi, saat Sayna sudah melangkah maju ingin mendekatinya.

Pintu kamar mandi yang baru saja tertutup terasa horror bagi Sayna. Tubuh jangkung laki-laki itu menghilang dari balik sana, menyisakan Sayna seorang diri yang diselimuti perasaan tidak nyaman. Tapi tidak apa, setidaknya ia sudah mencoba selangkah lebih maju untuk berinteraksi.

Namun, ini juga aneh. Semalam laki-laki itu terang-terangan mengajaknya bercinta. Kenapa sekarang malah kembali dingin seperti pertama kali mereka dipertemukan?

Ya, Tuhan ... sebenarnya makhluk seperti apa yang menjadi suaminya itu?

"Ya, sebentar!" Sayna melangkah dengan cepat menuju pintu. Dari luar terdengar suara ketukan disertai suara orang yang dia kenali memanggil-manggil namanya.

Saat membuka pintu, Sayna langsung gugup luar biasa. Terdapat Melia-ibu mertuanya-sudah berdiri di sana, tersenyum menyambut pagi pengantin baru.

"Nyonya?" Sayna tidak tahu harus bersikap seperti apa. Mereka pernah bertemu hanya dua kali, saat pertama membuat keputusan untuk mengganti pengantin pria dan hari kemarin-saat pernikahan tiba.

Wanita paruh baya itu tersenyum ramah, terlihat sangat keibuan. Dia mengusap lengan Sayna dengan lembut, melonggok ke dalam kamar seperti mencari sesuatu. "Kalian pasti belum sarapan, kan? Ezra mana?"

"Em, itu ...," Gugup semakin dahsyat menyerang. Sayna sampai tidak bisa lancar mengeluarkan suaranya. "masih di kamar mandi." Suaranya bahkan terdengar sangat pelan dan malu-malu.

"Oh, begitu." Melia terlihat paham, masih saja tersenyum, tidak tahukah jika menantu barunya itu kini diserang gugup berkali-kali lipat. "Nanti kalau Ezra sudah keluar, ajak dia untuk turun, ya. Kita tunggu untuk sarapan."

Sayna hanya mampu memberikan anggukan kepala dan tersenyum canggung, mengantar kepergian mertuanya. Seketika embusan napas terdengar lega, setelah Melia menjauh dari pintu kamarnya. Yang barusan itu sangat menguras jiwa. Sayna baru tahu, ternyata menghadapi mertua dadakan rasanya akan seluarbiasa itu.

Sekarang yang harus dihadapinya adalah Ezra. Laki-laki itu masih di dalam kamar mandi. Sayna menantikannya keluar dengan ritme jantung yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Entah apa yang harus dia katakan nanti untuk mengajak suaminya sarapan. Dia memang sudah berlatih untuk hal seperti itu sebelumnya. Tapi, itu hanya untuk si bajingan itu, bukan untuk Ezra. Huh, dasar hidup. Selalu saja ekspektasi dikalahkan oleh realita.

"Tu-"

"Panggil Ezra."

Sayna langsung terdiam, menundukkan kepala tidak berani menatap laki-laki yang baru saja keluar dari kamar mandi. Untung saja Ezra tidak seperti pria-pria di novel romance yang jika baru keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, menampilkan dada bidang penuh tetesan air dan juga perutnya yang kotak-kotak membuat pipi sang wanita memerah menahan malu. Tidak. Tidak ada adegan seperti itu. Meskipun Sayna tetap saja merona mengingat semalam, ia pernah melihat tubuh indah suaminya.

"Tadi nyonya Melia ke sini. Beliau-" Sayna kembali diam, tubuh Ezra sekarang tepat berada di hadapannya. Seketika indera penciuman dipenuhi dengan aroma sabun dan shampoo dari tubuh Ezra Davendra. Dia membalas tatapan Ezra yang minus ekspresi. Meneguk ludah susah payah sangat sulit untuk berucap. "Kita ... kita sudah ditunggu untuk sarapan."

"Hm ...."

Sayna menganga. Respon laki-laki itu sangat singkat, hanya sebuah gumaman dan sekarang dia melangkah menuju koper miliknya entah untuk mengambil apa.

Masih memperhatikan pergerakan Ezra, Sayna hanya terdiam di tempatnya. Mulai dari Ezra yang membuka ritsleting koper, terlihat elegan, sampai Ezra menyisir rambut dan menyemprotkan parfum mahal ke tubuhnya, semua itu tidak luput dari pandangan Sayna.

Dia baru sadar, ternyata laki-laki yang sudah menikah dengannya tidak kalah tampan dan keren dari si bajingan yang sudah berkhianat. Jika seperti ini, Sayna tidak benar-benar rugi sudah menikah dengan Ezra Davendra, kan? Setidaknya masih ada yang patut ia syukuri, meski tidak tahu bagaimana akhirnya semua ini nanti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel