Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ezra Davendra Benar-Benar ....

"Pergilah! Mulai sekarang jangan pernah kembali ke sini lagi!" Danuarta mengangkat tangannya ke arah pintu, menyuruh Sayna keluar dari rumahnya. Rahang pria paruh baya itu mengeras, tatapannya tajam memberikan kalimat pengusiran yang menyakitkan. "Kamu sudah menikah dan memilih untuk tinggal bersama suamimu, kan? Jadi, jangan pernah kamu kembali lagi ke rumah ini! Pergi kamu!"

"Pa?" Sayna membuka mata lebar, terkejut mendapat bentakan ayahnya sendiri. "Ma-maksud Papa apa?" Dia melirik Andini dan Ezra yang juga sama terkejutnya. Danuarta mengusirnya? Kenapa?

"Hahaha ... papa becanda, Anna." Tawa Danuarta mengudara. Dia hanya berniat untuk berlaku seperti tokoh-tokoh dalam cerita kejam, mengusir anaknya sendiri dari rumah. "Hanya becanda." Tangannya terangkat, memohon maaf atas bentakannya barusan.

Semua yang mendengar langsung menghela napas kasar, kecuali Sayna justru malah merengut. "Becandanya gak lucu!" Mana ada becanda sebegitu terlihat seriusnya. Jantung Sayna hampir copot rasanya. Dia kira Danuarta benar-benar mengusirnya dari rumah itu. Kejam sekali.

"Tolong titip Sayna, ya, Nak Ezra! Bimbing dia dengan baik. Jika ada apa-apa jangan sungkan untuk mengatakannya pada papa."

Ezra hanya mengangguk singkat, diam dirangkul oleh ayah mertuanya.

Sekarang mata Sayna berkaca-kaca. Dia sungguh akan berpisah dengan kedua orangtuanya dan tinggal di rumah Ezra nanti.

"Gak apa-apa, Na. Kami atau kamu masih bisa saling mengunjungi. Kita tetap bisa bertemu," hibur Andini, mengusap punggung anaknya yang terlihat muram.

Jarak rumah Ezra dan Danuarta memang tidak terlalu jauh, masih dalam kota yang sama. Namun, tetap saja Sayna merasa sedih dengan perpisahan ini. Dia sudah tidak lagi tinggal di sana, melainkan harus rela mengabdi pada sang suami.

Setelah makan malam untuk terakhir kalinya menjadi anggota keluarga Mahawira, kepergian Sayna dari rumah Danuarta terasa sangat mengharukan. Selama perjalanan pulang ke rumah Ezra, Sayna hanya terdiam memandangi jalanan di luar jendela. Untung saja Danuarta berbaik hati mengantarkan semua barang-barangnya dengan mobil lain, sehingga di mobil itu tidak sesak dan tetap hanya ditumpangi pasangan pengantin baru dan Ryu di dalamnya, seperti saat mereka berangkat tadi.

"Ez." Sayna memandang suaminya yang hanya terdiam. Dia harus sedikit memiringkan tubuh supaya berhadapan dengan suaminya. "Tadi kamu sama papa ngobrol apa saja? Papa bilang apa sama kamu?" Sayna hanya takut Danuarta akan mengatakan semua kemalangan nasib anaknya, termasuk tentang Johan.

"Hanya obrolan biasa." Ezra bahkan tidak melirik Sayna barang sedetik pun. Terlalu acuh dan malah memfokuskan diri ke arah depan.

"Iya, obrolan apa? Papa bilang apa saja sama kamu?" Tangan Sayna mengepal di atas pangkuan melihat Ezra yang hanya mengedikkan bahu dengan acuh tak acuh.

Mata Sayna terpejam menahan rasa ingin berteriak di hadapan suaminya.

Cih, lihat saja nanti, jika dia masih bersikap seperti itu pada Sayna, maka dapat dipastikan jika istrinya akan berlaku lebih bar-bar! Mana mungkin Sayna mampu hidup dengan pria cuek dan dingin seperti Ezra. Laki-laki itu memang banyak keunggulan, namun sikapnya yang datar malah mulai menjadi kekesalan tersendiri bagi Sayna.

***

"Biar saya yang bawakan, Nyonya." Ryu menawarkan bantuan pada Sayna yang kesusahan menarik barang-barangnya dari mobil suruhan Danuarta untuk membawa semua aset miliknya.

"Gak apa-apa, Tuan Ryu. Tidak usah. Ada tuan Ezra yang bisa bantuin. Iya, kan, Ez?"

Menantu Danuarta itu hanya menatap datar pada istrinya. Dia baru turun dari mobil, langsung dilempari hal aneh yang istrinya katakan barusan. Yang benar saja.

"Tidak mungkin, Nyonya. Sudah, biar saya saja yang bawakan." Ryu nampak tidak enak dipandangi oleh Ezra tanpa ekspresi. "Biar saya saja, ya. Nyonya bisa segera masuk ke dalam rumah bersama tuan."

Sayna menatap Ezra yang masih terdiam di samping mobil. Ia menarik tangannya untuk mendekat dan langsung menyerahkan tas besar pada suaminya.

Ezra nampaknya tidak paham, melirik wajah Sayna dan tas besar tersebut secara bergantian.

"Bawain, ya? Boleh, kan?" Senyuman Sayna terbit dengan penuh arti.

Ezra tetap saja memasang wajah tanpa ekspresi.

"Bawain, Ez. Kamu kan suami aku. Masa membantu istri saja tidak mau." Sayna mengerling jahil, menyenggol siku Ezra dengan berani. Lupakan saja bagaimana mereka bisa menikah dan bagaimana hubungan keduanya. Sayna sudah memutuskan untuk bisa mengenal suaminya lebih jauh lagi.

Ryu nampak terkejut melihat kelakuan majikan barunya. Sayna terlalu berani sampai menyuruh Ezra seperti itu. "Nyonya, biar saya saja." Dia merebut tas besar itu dari tangan Sayna dengan cepat. Melihat Ezra yang hanya terdiam memandangi istrinya, Ryu merasa tidak enak hati dan perasaannya mulai berkecamuk. "Silakan Nyonya segera masuk! Saya akan urus semua ini." Tangannya merentang, mempersilakan Sayna untuk segera melangkah masuk ke dalam rumah.

Bukan Sayna yang beranjak pergi, tapi Ezra langsung melangkah melewati Ryu dan Sayna begitu saja. Laki-laki itu berjalan santai dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku, tidak menoleh lagi ke belakang pada istrinya yang menganga lebar.

"Ez!" Sayna terlihat kurang suka, langsung menyusul langkah suaminya. Dia ingin mengerjai Ezra supaya tidak minim ekspresi lagi dengan memintanya untuk membawakan barang-barang tersebut. Dia kira Ezra akan protes atau menunjukkan raut lain dari wajahnya, namun ternyata laki-laki itu masih saja bersikap demikian.

"Ez!" Langkah Ezra terlalu lebar, Sayna setengah berlari menyusulnya masuk ke dalam rumah. Hari sudah malam, semua orang pasti sudah beristirahat saat ini. Kelihatannya sangat sepi.

Sayna terus menyusul langkah suaminya sampai mereka masuk ke dalam kamar. Ia semakin tidak mengerti dengan pria kutub itu. Ezra masuk ke ruang ganti dengan acuh, tidak menghiraukan Sayna sama sekali.

"Saya akan beristirahat, jika ada sesuatu katakan sekarang." Tenang, datar dan menyebalkan.

Sayna memutar mata melihatnya yang sudah berganti pakaian keluar dari ruang ganti. Dirinya masih dirundungi rasa heran dan kesal, Ezra masih saja bisa bersikap tenang, seolah tidak ada sesuatu di antara mereka.

"Yasudah, sana istirahat!" Sayna pasti sudah lupa siapa yang dia ajak bicara. Dengan beraninya dia melemparkan tatapan tidak ramah pada Ezra.

Mata laki-laki itu sedikit membulat, mungkin tidak menyangka Sayna akan bersikap seperti itu.

Berharap mendapat respon kemarahan atau mungkin protesan, yang Sayna dapatkan justru hanya sebuah deheman pelan. Ezra melangkah menuju ranjang, tangannya terulur pada dekat nakas dan seketika keadaan kamar menjadi remang-remang minim cahaya.

Selain dingin, ternyata Ezra tidak punya pikiran. Sayna masih berada di sana dalam keadaan sadar, tapi tidak dihiraukannya.

Ezra Davendra benar-benar ....

Tangan Sayna mengepal geram.

Dipikir Sayna apaan sampai kehadirannya diabaikan. Tahu sifat aslinya seperti itu, Sayna malah sebal. Dua hari ia mengenal laki-laki itu namun rasanya sudah ingin pulang lagi ke rumah Danuarta. Bagaimana nanti hari-harinya berjalan bersama pria seperti Ezra? Pasti sangat membosankan dan menyebalkan sekali, bukan? Sudah bisa ditebak.

"Kenapa hanya diam di sana? Tidak ada niat berganti pakaian dan segera naik ke atas ranjang?" Si laki-laki minim ekspresi itu kembali bersuara dengan raut wajah yang masih saja datar dan lurus seperti jalan tol.

Padahal ucapannya seperti mengundang untuk bercin-tidak! Sayna segera beranjak ke ruang ganti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel