Bab 6 Kecelakaan
Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.
Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!
Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon hanya untuk bilang itu, terasa kembali meninju hati Rahma.
Esok hari, saat Rahma menyampaikan sikap lelaki itu pada keluarga, justru tak mendapat respon. Mereka membela Harlan yang berniat baik bertanggungjawab.
Bapak dari anaknya itu juga tanpa raut bersalah bolak-balik ke rumah orang tuanya menemui Safea.
“Kenapa ini tetap dilanjutkan, Bu?” tanya Rahma bergetar. Ia tak tahan kembali mengingatkan orangtua dan saudara lain yang menyetujui hubungan Safea dan Harlan.
“Selain ini memalukan! Safea juga bisa dapat yang lebih baik.”
“Kamu yang buat ini lebih memalukan. Coba pikir ini awal mula siapa memulai? Apa mau adikmu mati?”
Nanar mata Rahma membalas tatapan tajam ibunya.
Dalam kilat mata tua itu masih menyimpan amarah dirinya sebagai penyebab Safea terluka dan dipermalukan, sampai anak itu mau bunuh diri. Belum lagi suami yang tanpa riwayat jantung pergi mendadak. Semua karenanya. Ya, mungkin semua karenanya.
“Kalau Ibu sayang Safea, harusnya Ibu pikir lagi.”
“Berani mengatur ibu, sementara tidak lihat dirimu sendiri? Lihat, ngaca gimana kehidupanmu, Rahmanida!” terhenyak hati, tak membuat Rahma membuang tatap.
“Bu, coba Ibu pikir lagi. Mas Harlan hanya mau peralat Safea, Bu.”
“Jangan samakan kamu dengan ….”
Telinga Rahma seperti di dekat bara api. Panas. Wanita yang masih menatapnya tajam itu mulai membandingkan diri dengan sang adik.
Penampilan Safea yang begitu imut menyenangkan siapa pun memandang, belum lagi suara manjanya membuat perasaan gemas. Menurut ibunya setiap orang memandang anak bungsunya itu pasti suka. Apalagi suaminya kelak, jangankan membentak mungkin marah saja tidak tega.
Penilaian ibunya itu membuat Rahma hampir tertawa.
“Kalau sama orang lain mungkin iya, Bu. Rahma sangsi itu dilakukan Mas Harlan!” Tak peduli ucapannya membuat sang ibu membelalak Rahma pergi ke selasar, menemui putranya.
“Azka, yuk kita pulang.”
“Enggak … macih mau main.” Anak lelaki itu tengah asyik berkumpul dengan cucu-cucu saudara ibunya.
“Biarin Azka di sini, nanti papanya juga datang. Kalau kamu pergi, pergi aja,” ketus ibunya yang tadi mengikuti ke depan.
Ini sudah malam, ngapain Harlan ke sini?
“Azka, ayo pulang sama mama,” pinta Rahma lagi melemah dengan memasang raut harap. Air matanya sudah hampir tumpah. Setengah jam lagi waktu Azka untuk tidur, sementara sekarang suasana rumah ini masih ramai.
Azka tetap menggeleng, menepis tangan Rahma lalu lari memegang baju neneknya.
“Baik,” tarikan napas panjang Rahma menenangkan hati sendiri. Masih ada pikiran positif di dalam sana. “nanti kalau Azka nggak bisa bobo, telepon mama, ya. Pinjam hapenya nenek,” katanya kemudian memberi tangan untuk disalim bocah yang langsung bilang horee atas izinnya.
“Makasih Mama.”
Cup!
Kecupan bibir mungil itu di pipi makin membuat matanya makin memburam. Bertambah panas melihat ibunya melengos kembali masuk.
Di dapur ada beberapa saudara tengah menyiapkan peralatan dapur yang akan dipakai mulai besok. Dimana banyak yang akan datang membantu membuat bumbu-bumbu masakan untuk persiapan pernikahan Safea tiga hari ke depan.
Mekipun sederhana pernikahan ini akan dihadiri keluarga terdekat. Ada yang pro ada pula kontra, tapi demi Safea ibunya sudah membuat keputusan bulat.
Ini hanya luapan amarah ibu atau … ada sesuatu di baliknya, sampai sulit untuk ngerti ….
Berkali-kali menjelaskan apa yang diucap mantan suaminya tentang Safea mereka sama sekali tak mau mempercayainya.
Air mata Rahma mulai berurai saat ia memasang helm, menutup kacanya agar tak ada yang melihat pipinya telah basah..
Rasa sakit yang Rahma rasa bukan karena cemburu. Bukan. Itu lebih pada rasa kasihan untuk keluarganya. Hatinya sangsi Harlan benar-benar mencintai dan bertanggung jawab pada Safea.
Namun ia bisa apa, adiknya itu pun menutup mulut rapat setiap ia bertanya. Seolah tubuhnya tak terlihat dan suaranya tak terdengar sedikit pun. Perut Safea memang terlihat mulai membuncit, menurutnya itu usia kehamilan di atas tiga bulan.
Pasti ada sesuatu yang disembunyikan anak itu … tapi kenapa tetap bersikeras dinikahi Harlan? Apa hubungan mereka …?
Rahma menghentikan sendiri pikirannya. Semua sudah berlalu sekarang. Ia tidak mau merusak diri dengan memikirkan hal yang menyakitkan.
Motor pinjaman dari majikan itu pun dipacunya dalam kecepatan sedang.
Sepulang kerja tadi ia ke rumah orang tua untuk menjemput Azka. Sebelum itu Rahma membawa Azka sambil bekerja, tapi neneknya protes, sekarang tiap hari menyuruh antar bocah itu ke sana dan jemput sepulang kerja.
Rahma sebenarnya tak keberatan, di sana Azka senang punya banyak teman. Walaupun terpisah sementara paling tidak rumah sang nenek anak itu aman. Ia berada di lingkungan semua orang sangat menyayanginya. Hanya perasaan Rahma semakin berat ke sana karena harus berdebat, atau bertemu Harlan dan adik yang kini menganggapnya hantu tak terlihat.
Tit! Tittttt!
Klakson melengking setelah menyenggol belakang motor Rahma, membuatnya terdorong dan oleng ke kiri jalan. Setelah menyeruduk trotoar, matic hitam ini mati tanpa siap disangga. Tubuh Rahma pun jatuh tertimpa.
“Oghh ….” Tubuhnya tidak bisa mengangkat kuda besi di atas badan, hanya bisa meringis berusaha akan duduk.
“Maaf, Bu. Eh, Mbak gak apa-apa?” Suara panik seorang pria tergagap mendekat.
Bersama seorang lelaki bertubuh ceking mereka lekas mengangkat motor yang menindih kaki kiri Rahma dan meminggirkan.
Ia mengerang memegang lengan kirinya berdenyut pedih. Terasa basah dan bau amis.
“Kita ke rumah sakit, Mbak, ayo!”
“Nggak u-“ Belum sempat menolak tubuhnya segera diangkat oleh lelaki gondrong itu dengan enteng.
Nyeri di kaki Rahma baru terasa, makin lama terasa luar biasa sakit, memaksa dirinya pasrah pada sang penolong.
“An, kamu di sini, telpon Bejo jemput biar bawa motor mbaknya ke servis,” titah lelaki tegap itu menginstruksi temannya yang kebingungan.
Tak menyangka mereka sampai menyerempet orang seperti ini.
Tubuh Rahma didudukkan samping supir.
“Mbak bisa duduk?”
Rahma memberi anggukan sebagai jawaban. Kepalanya bersandar pada jok mengatur napas pendek untuk melawan nyeri.
Mobil berbodi gagah warna putih itu segera melaju ke rumah sakit terdekat.
