Pustaka
Bahasa Indonesia

Suami Jadi Ipar

41.0K · Tamat
Li Na
29
Bab
6.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

“Mas Har sudah, hehe … masa mau lagi, sih?” Suara manja yang amat dikenal tertangkap. Berhenti, ingin memastikan telinga Rahma menempel pada daun pintu. Ya Allah ...! Tubuhnya hampir luruh layu. Mata bulat itu membelalak, kemudian memburam sebab air mata jatuh seketika. Mulutnya menganga akan menjerit tak terima, tapi cepat dibekapnya kuat-kuat. Memukul-mukul dada yang sesak, Rahma mencari udara. Tak ada yang melihat tubuhnya merosot terduduk. Ia menangis tanpa suara. Teganya kamu Fea ... Mas Harlan ...! Teganya kalian ...!

RomansaIstriDewasaMenantuPerselingkuhanPerceraianPengkhianatanKeluargaPernikahanSalah Paham

Bab 1 Tertangkap Basah

“Halo, cayang mama ini lagi ngapain?”

“Nonton."

“Sama siapa?”

“Cendiri ….”

Berbinar mata wanita 24 tahun ini, mendengar suara anaknya dari ponsel, yang sengaja ia speaker. Suara cadel itu dirasa sebagai penghilang lelah seketika. Ia selalu sempatkan menelepon bocah lelaki itu di sela bekerja. Memastikan apa yang dilakukan anaknya selama beberapa jam ditinggal di rumah.

“Papa di warung ya, Sayang?”

“… Papa di kamal.”

Kulit dahi pemilik wajah polos ini sekejap mengkerut.

“Papa tidur lagi?”

Yang benar aja, Mas Harlan tidur jam segini. Ini sudah jam 11. Apa warung nggak dibuka?

“Tidul ... cama Tante Pia." Ucapan anak lelaki empat setengah tahun itu terasa langsung menyambar ulu hati Rahma.

“Tante? Tante Pia?”

“Iya, Mama ….” Polos sekali suara Azka mengatakan itu.

Panas di wajah Rahma berubah jadi bara membakar ubun-ubun.

Pikiran buruk seketika menggelayuti kepala. Ia cepat-cepat mematikan sambungan telepon, ponsel kecil itu dimasukan saku celana. Gegas Rahma menuruni tangga rumah majikan, meninggalkan alat bersih-bersihnya di sisi dinding.

Safea, sang adik memang sering datang ke rumah antar makanan, titipan ibunya untuk Azka, si cucu semata wayang.

Tergopoh, wanita memakai kaus oblong longgar ini menemui majikannya di ruang tengah. Tangan kotor bekas membersihkan ruang atas tadi hanya dilapkan ke ujung baju.

“Bu … Rahma izin pulang sebentar, ya?"

“Ada apa Mbak Rahma, kok sampe pucat gitu?” Wanita berkaca mata, yang sedang membuka buku tebal itu menatapnya heran.

“Eh, anu, nggak apa-apa, Bu. Saya mau nengok anak sebentar.”

“Ya sudah, tapi nanti kembali lagi, kan?”

“I-iya, Bu.”

Setelah diizinkan ia gegas keluar. Rumah ini tempatnya bekerja tiga bulan terakhir. Menjadi ART, meninggalkan warung kecilnya di rumah, demi membantu menambah pemasukan sejak sang suami menganggur. Suaminya diputus kerja dari perkebunan sawit, dua bulan setelah virus merebak.

Cepat kakinya mengayun sepeda butut, menuju rumah sekitar satu kilometer jaraknya. Pikiran berkecamuk, sampai belokan jalan menuju rumah terlewat jauh. Rahma pun kembali memutar arah.

Ucapan tetangga dulu terngiang memenuhi kepalanya. Mengingatkan berhati-hati dengan adik yang sering lama ke rumah, saat ia tidak ada. Menurut desas-desus, saat belanja ke warung panggilan mereka tak disahut suaminya, padahal jelas ada motor matic Safea di depan rumah, itu mencurigakan. Hanya, Rahma saat itu tidak pernah percaya.

Menurutnya Safea masih terlalu muda, dan cantik. Mana mungkin bod*h, mau dengan Harlan yang wajahnya pas-pasan, lubang bekas jerawat pria itu hampir di seluruh pipi, belum lagi sekarang jadi pengangguran. Pasti sebagai anak baru lulus SMA itu sangat tidak mungkin, pikirnya.

Rahma juga tahu selera sang adik tinggi, dari cara berpakaian saja sangat modis, jauh beda dengan dirinya yang sederhana.

Sampai di halaman, sepeda disandarkannya sembarang pada tembok.

Motor Safea masih ada. Warung, pintu lipatnya tertutup rapat. Jangan-jangan ...?

Gemetar sudah tubuh bermandi peluh itu. Siang-siang mengayuh sepeda, dengan hati kacau sangat melelahkan. Napasnya tersengal.

Masuk, di ruang tengah TV menyala, menayangkan kartun kesukaan Azka, tapi anak itu tidak ada.

Rahma mengendap, berniat mencari Azka tanpa memanggil, karena pikiran buruk dengan rumah yang sepi ini terasa benar adanya.

Kamar utama mereka pertama ia dorong perlahan, mengintip di dalam. Terlihat anaknya berbaring sendirian, sambil mengisap botol susu, benda yang sampai sekarang belum disapih.

Azka tak menyadari kedatangannya Rahma menggeser badan, menyandari punggung pada dinding, mengatur napas yang makin menyesak.

Di mana dua orang itu?

Rumah ini tak terlalu besar, tapi ada dua kamar lain yang kadang dipakai kalau keluarga datang.

Jangan-jangan mereka ...?

Pikiran buruk itu begitu menyiksa, menusuk hati membuat nyeri. Langkahnya perlahan mendekati satu kamar yang tertutup rapat.

“Mas Har sudah, hehe … masa mau lagi, sih?” Suara manja yang amat dikenal tertangkap.

Berhenti, ingin memastikan telinga Rahma menempel pada daun pintu.

Ya Allah ...!

Tubuhnya hampir luruh layu. Mata bulat itu membelalak, kemudian memburam sebab air mata jatuh seketika. Mulutnya menganga akan menjerit tak terima, tapi cepat dibekapnya kuat-kuat. Memukul-mukul dada yang sesak, Rahma mencari udara.

Tak ada yang melihat tubuhnya merosot terduduk. Ia menangis tanpa suara.

Teganya kamu Fea ... Mas Harlan ...! Teganya kalian ...!

Ratapan itu hanya sesaat. Jika tak memikirkan anak, mungkin Rahma sudah ambil pisau, menendang pintu kayu ini sampai hancur, lalu melenyapkan dua orang di dalam!

Sakit hatinya mendengar dua orang itu tengah terkikik bahagia. Sudah jelas apa yang sedang mereka lakukan.

Raut wajahnya sontak berubah. Beranjak berdiri dalam gerak kasar, ia mengusap basah di wajah sebelum lari keluar rumah.

Rahma mengetuk rumah tetangga, meminta tolong dengan sangat.

Dalam keadaan rambut awut-awutan, muka pucat pasi ia menjelaskan masalahnya sambil menahan tangis. Hitungan detik kemudian, puluhan tetangga langsung menyerbu rumah Rahma dalam gerak cepat.

"Tolong bawa Azka, Bu." Seorang tetangga mengangkat bocah yang hampir terlelap, menjauh dari rumah.

Suasana ribut, gedoran, dan tendangan pintu oleh warga bersahutan dengan panggilan nama Harlan.

Dalam waktu cepat pintu sukses didobrak. Puluhan pasang mata di depan pintu, langsung tertuju pada dua orang tengah berusaha menutup badan, tampaknya masih belum sempurna terpasang.

Wajah keduanya seperti terbakar. Panas, dan merah padam. Detik-detik awal, suasana berubah menjadi adegan slow motion, semua gerak melambat, membelalakkan mata, dan mulut membulat sempurna. Waww ...! Ternyata ini yang mereka lakukan siang bolong ...!

"Set**nn!!" teriak Rahma sekejap menggerakkan semua cepat.

Dua orang itu makin panik saja, Safea lari merapat ke sudut, menutupi bagian tubuh yang masih terbuka di balik gorden. Sementara Harlan menarik selimut, melilitkan cepat ke tubuhnya.

Amarah sudah menguasai Rahma sejak tadi, kini makin tak tertahan. Ia menarik rambut panjang Safea, memutar, menggumpalkan arah sana-sini. Lengkap dengan ratusan makian keluar dari mulutnya.

“Tega kamu Safea! Dasar jal*ng!! Mas Harlan itu suami mbak!!”

Tangis kesakitan Safea tak diindahkan, satu tangan Rahma bahkan mencakar sembarang, sementara tangan satunya terus menjambak. Ia mantan gadis bar-bar, sekarang reinkasnasi gara-gara kejadian ini.

Hasilnya, gumpalan rambut tercabut, wajah cantik mulus sang adik pun berdarah-darah.

Gadis muda nan menawan hanya bisa teriak mengaduh. Kepala dan badannya terseret-seret. Warga sulit menahan gerak Rahma yang membabi-buta. Rupanya wanita kalau marah tenaganya jadi berlipat-lipat kuatnya.

Harlan jadi bingung, segera ia ikut menahan amukan Rahma, hingga berhasil menjauhkan Rahma dari Safea, sang pujaan yang sudah tak karuan bentuknya.

Ya ampun, rambut Safea menggimbal. Wajahnya basah air mata bercampur darah. Sungguh, secantik apa pun kalau begini seram juga jadinya. Kuduk Harlan meremang.

Rahma belum sadar dari kerasukan set*n amarah. Saat yang lain membantu Safea, tangannya menyambar gunting di meja, cepat ia tusukkan pada punggung Harlan. Dua kali tepat sasaran!

"Arrgg!" Harlan memekik, suaranya sampai serak menandakan kesakitan luar biasa.

"Terima itu hukumanmu, Mas! Terima!! Enak, 'kan?!"

Warga membagi diri, menolong Safea, Harlan, juga menarik Rahma keluar.

“Aku sakit, kamu pun sakit, Mas!!” teriak Rahma sekuat tenaga dari halaman. Sudah tak ada malu lagi. Biarlah semua tahu rumah tangganya sudah hancur.