Bab 5 Rencana Harlan
Kakaknya gampang dibodohin. Apalagi adeknya mudah banget dikibulin. Goyang dumang dikit aja udah mangap-mangap dia, hahaa.
Kikik geli lelaki berwajah bopeng mengingat perbuatan mesumnya. Merasa diri paling tampan sedunia bisa mendapat gadis secantik Safea.
Berawal dari aroma badan wangi gadis yang suka berpakaian ketat menyesakkan dada itu, ia mulai melancarkan pendekatan.
Awalnya mepet-mepet, sentuhan sedikit tanpa sengaja. Melihat si gadis merespon dengan senyum lalu colekan disengaja, perlahan meningkat ke kontak fisik lebih dalam.
Sembunyi-sembunyi dan sandiwara di belakang istri memacu adrenalinnya naik level paling tinggi. Membuatnya candu hingga hubungan suami istri itu terjadi.
Bukannya menghindar, Safea justru datang lagi. Seakan memancing hasrat dengan pakaian kurang bahan.
Senyum tipis khas Harlan Wijiyono tertarik ke sudut.
Aku tahu dia sudah enggak suci, itu tak masalah. Makanan enak biar hasil curian kalau lapar akan dilahap juga.
Ia jadi teringat Safea bilang dirinya hamil. Keningnya berkerut, alis berantakan berbulu kasar itu hampir bertaut.
Hubungan baru sebulan sudah tahu hamil? Bukannya dulu ….
Ia teringat Rahma dulu baru tahu hamil saat sudah kandungan empat bulan. Entah karena sibuk nawarkan barang dan nagih kreditan mantan istrinya itu tidak sadar dirinya hamil.
Sekarang Safea tahu secepat ini?
Mengangguk-angguk sendiri ia menyusun puzzle kejadian, mengulangi ingatan kuat pada yang janggal. Tidak rumit untuk otaknya yang biasa bekerja licik.
“Sipp!” kepalan tangannya memukul telapak sebelah. “ini rugi kalau nggak dimanfaatkan!”
“Rugi apanya, Mas?” Adik perempuannya muncul dari kamar rawat, mengagetkan lelaki bermata kecil yang duduk di kursi tunggu luar.
“Eh, nggak pa-pa. Udah datang? Kamu jaga Mama dulu, ya. Mas mau pulang, ngantuk.”
“Iya cepetan, Mas. Tadi Hesti tadi bilang mo pergi.”
Gegas langkah kaki panjang itu menyusuri lorong. Sebuah rencana tersusun di otaknya, diakhiri dengan usapan rambut ala playboy kampung.
Mobil merah mentereng warna kesukaan ibunya membawa ia pergi dengan hati riang.
Tusukan gunting sakit dikit nggak apa-apa, yang penting lepas dari istri bau terasi, dapat yang wangi, uhuyy!
Lagu dangdut koplo Jaran Goyang pun menemaninya menuju rumah.
*
“Kenapa Azka dikurung sendiri di rumah?!” serang Rahma pada lelaki yang baru turun dari mobil merah.
Bukannya menjawab tapi ia memindai wajah dan pakaian Rahma. Lumayan, puji hatinya refleks. Netra di balik kaca mata hitam itu memindai dari atas ke bawah mantan istri.
Pakai baju apa pun kamu tetap kalah sama bodi Safea.
“Mas Harlan, aku tanya itu Azka sendiri di dalam?!”
Kaget. Lelaki itu langsung melangkah melewati wanita yang memandangnya dengan raut tak suka.
“Mulai berani teriak kamu, ya, ngapain ke sini?”
Harlan membuka kunci pintu yang menyatu dengan gantungan kunci mobil. Azka terlihat dari kaca jendela tengah ketiduran. Badan di lantai, kepalanya saja di atas karpet.
Begitu pintu terbuka Rahma setengah berlari masuk. Menggendong anak yang ditangannya masih ada botol susu kosong.
“Ma ….”
Mata bulat bersih itu membuka.
“Sayang, mama kangeen ….”
Rahma dekap erat tubuh mungil itu, sambil menahan air mata tidak jatuh. Ia mencium kening dan pucuk kepala buah hatinya penuh sayang.
Sementara Harlan melihat Hesti adiknya memang tidak ada di rumah.
“Nggak sabar amat pergi, ni bocah ditinggal sendiri di rumah kan bahaya!” gerutunya kesal.
“Hei mau ke mana?”
Saat kembali ke depan ia melihat Rahma menggendong Azka keluar.
Tanpa berhenti wanita ini menjawab datar, “ Aku ibunya dan aku berhak bawa Azka.”
“Oh, okey. Aku gak keberatan.” Jawaban Harlan terdengar bernada senang setengah merendahkan itu membuat Rahma menghentikan langkah.
Lalu berbalik.
“Jauhi kami, jangan berpikir dapatkan Safea! Itu urusan keluarga kami.”
“Hei dengar ya, kita belum resmi cerai di pengadilan, baru sebatas talak agama. Kamu nggak bisa seenaknya menginjakku!"
Tak ingin mendengar ocehan orang yang dianggapnya sudah tak waras, Rahma melanjutkan langkah, mendudukan Azka di kursi depan motor matic majikannya, bersiap pergi.
“Papa ….” Dengan polos Azka melambaikan tangan membuat hati Rahma teriris. Anak ini sama sekali tidak tahu masalah kedua orang tuanya.
“Rahma, aku tetap akan nikahi Safea. Kami secepatnya menikah! Keluargamu yang minta. Mau lihat pesan mereka, hah?” Senyum puas mencuat di bibir Harlan sambil mengacungkan ponsel pintar di tempatnya berdiri.
Mendidih seketika dada Rahma mendengar itu. Semoga ini hanya omong kosong, pikirnya mengalihkan. Lalu menancap gas pergi.
“Bye Azka, kita akan serumah lagi! Tunggu papa, ya!” teriak Harlan begitu girang pada anaknya yang terus melambai, sampai motor tak terlihat lagi di belokan jalan.
Tubuh Rahma kaku, napasnya menyesak, tersendat menarik udara. Sangat keterlaluan kalau keluarga akhirnya menjadikan Harlan menantu lagi di rumah mereka.
*
Ia membawa Azka ke rumah yang dibiarkan kosong sementara beberapa waktu lalu.
Harlan malu kembali ke rumah ini, warga tahu semua tentang kasusnya. Rahma sebenarnya merasakan beban sama, apalagi itu adik sendiri. Nama tercoreng bukan noda lagi tapi bagai disiram cat hitam yang sulit hilang dari raga dan nama.
“Mama lumahnya kotol cekali ….” Azka menunjuk ruangan yang bak kapal pecah. Barang-barang di meja terpelanting ke berbagai arah, taplak meja terseret ke depan pintu, belum lagi sofa dan meja tamu tidak tersusun arahnya. Ia terlupa meminta orang bersihkan rumah ini, setelah kejadian itu. Sebab terlalu beruntun musibah menimpa keluarganya.
“Ayo Azka ke kamar aja, ya, sementara mama bersih-bersih.”
Anak lelaki itu penurut. Mainan yang masih di dalam plastik untuk Azka tadi ia keluarkan. Bus Tayo dan teman-teman disambut putra kecilnya dengan riang, detik kemudian bocah tampan itu larut bermain sambil bicara sendiri.
Rahma mulai bergerak bersih-bersih. Jendela dibuka semua, membuang bau pengap. Penat di badan bergerak seharian di rumah majikan tak ia pedulikan. Membereskan ruang tengah sampai belakang. Rumah yang kotor seperti tak dihuni berbulan-bulan.
Sesudah beres ia menarik napas lalu minum dua gelas air putih. Makan malam mau beli jadi saja. Tenaganya sudah habis terkuras seharian ini. Saat akan ke kamar ia melewati tempat yang tertutup, tapi gagang pintunya rusak.
Tempat itu ....
Langkah perlahan ia mendekat, sedikit gemetar mendorong daun pintu yang langsung terbuka.
Selimut bantal sampai bercak merah kehitaman di lantai masih ada, membuat darahnya terasa mengalir cepat ingat kejadian waktu itu.
Matanya kemudian membelalak melihat pakaian dalam wanita, dan tak jauh di sudut sana pakaian dalam pria yang sangat dikenalnya.
Bruk!!
Ia menarik pintu keras. Suara gedebumnya mewakili amarah terdalam.
Perbuatan mereka itu sangat menjijikkan!
Jika boleh bersumpah ia tak ingin melihat muka-muka itu lagi. Sayangnya ia seperti dipaksa harus menghadapi semua. Satunya bapak anaknya, satu lagi adik.
Rahma mengatur napas pendek-pendek menenangkan diri, ia tidak ingin hilang kewarasan dengan kelakuan dua manusia lakn*t itu.
