Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Teman Baru

“Syukurlah kakinya tak apa-apa. Aku sempat kira patah, Mas.” Lelaki ceking bersuara sambil melihat orang di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.

“Motornya gak rusak parah, kan?” Pria berahang tegas dengan mata bulat tajam itu menepuk bahu teman kurusnya.

“Enggak sih, langsung ke bengkel tadi malam. Bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”

“Ya sudah, tinggalin aja, thanks baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu.”

“Siap, Mas.” Lelaki ceking itu memberi hormat layak pada komandan. “perhatian banget, awas pake hati loh.”

Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki kurus berbibir tebal itu malah terkikik geli.

“Manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lepas keluar dari si Ceking bernama Anto itu, sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan.

Sepeninggal temannya pria itu pun masuk rawat. Sedikit terkejut melihat wanita di bed itu sudah duduk sambil melihat balutan perban di kaki dan tangan kirinya.

“Hei, gimana? Udah kurang sakitnya?”

“Su-sudah gak pa-pa, kok, Pak. Saya mau pulang,” jawab Rahma sembari menggerakkan kaki akan turun.

“Eh, tunggu dulu. Sementara kamu masih harus dirawat. Biar diceku dulu luka-lukanya.” Pria itu menahan bahu Rahma yang terhuyung.

“Maaf, Pak.” Tangan lelaki itu ditepisnya.

Merasa tidak nyaman sejak semalam. Di ruang ini saat ia diputuskan dirawat sementara melihat perkembangan luka di tulang keringnya, lelaki asing ini yang bolak-balik menjaga. Kadang keluar, kadang masuk. Sepertinya pria itu juga tak enak bersamanya berdua di dalam.

Bisa saja ia sudah beristri dan harus di sini nungguin aku, pikir Rahma gelisah. Ia sangat tahu sakitnya rasa itu andai istrinya tahu suami bersama wanita lain.

“Saya sudah gak pa-pa, Pak.”

Rahma menahan nyeri di kaki kirinya saat berusaha turun. Bermaksud coba menapak biar yakin kakinya baik-baik saja.

“Sebentar, jangan dipaksa dulu. Aku akan panggil perawat.” Sigap lelaki yang belum mengenal namanya itu membantu ia kembali naik ke dipan.

Tulang keringnya terluka cukup serius, bekas terhimpit motor dan sisi trotoar yang lancip.

“Maaf, sudah bikin kamu luka. Ini sama sekali enggak sengaja. Aku nyetir sambil ngantuk berat.” Lelaki itu kembali jelaskan kesalahannya. Padahal tadi malam sudah dikatakan. “Aku akan yakinkan kamu sampai sehat untuk bayar kesalahanku,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

“Kita belum kenalan. Aku Dimas. Jangan panggil Pak lagi, masih umur 28 tahun.” Nada serius tapi bibirnya menahan senyum. Selama ini banyak yang memanggilnya Pak, mungkin sebab ia cuek dengan penampilan. Membuarkan jambang dan kumis tipi tumbuh bertebaran.

“Rahma.” Tangan kanan Rahma menyambut telapak kokoh itu.

“Ah, ya kenapa aku nggak boleh hubungi keluargamu, Rahma? Kamu nggak bisa sendiri begini.”

Tadi malam lelaki ini berniat membantu menghubungi keluarganya. Tapi urung karena Rahma melarangnya keras. Kalau tidak, mungkin sekarang ruang ini sudah penuh keluarga yang entah akan kasian ataukah justru menyalahkannya lagi.

Rahma tak ingin mengganggu mereka yang tengah berbahagia menyiapkan pernikahan Safea.

Aku bisa melewati semua sendiri, batinnya.

“Cuma luka sedikit. Masih bisa sendiri,” sahutnya kemudian membuat Dimas mengangguk-angguk.

Rahma benar, suntik anti nyeri lewat infus tadi malam sudah cukup mengurai rasa sakitnya, lengan yang lecet juga sudah tak begitu sakit. Ia merasa bisa pulang hari ini.

“Bisa tolong tanyakan apa aku bisa pulang?”

“Oh, iya. Sebentar.”

Pria tegap bercelana jeans belel itu keluar, segera kembali bersama seorang perawat.

“Saya mau pulang, Suster,” kata Rahma bernada memaksa.

“Iya, tapi kita harus nunggu visit dokter dulu, Bu. Kalau beliau izinkan pulang baru kami lepas infus dan ibu bisa pulang,” ujar perawat muda itu tenang sambil perbaiki plester penahan jarum infus yang setengah terbuka. Tadi Rahma hampir melepasnya sendiri.

Rahma pasrah, karena Dimas menjanjikan pada suster itu kalau mereka akan menunggu sampai dokter datang.

Setelah perawat itu keluar Dimas mendekatinya.

“Sabar dulu, aku takut disalahkan kalau ada apa-apa denganmu.” Lalu ia menoleh pada makanan di nakas. “Ini sarapan dari rumah sakit kenapa gak dimakan?”

“Berapa biaya semua, Dimas?” tanpa melihat makanan itu Rahma malah menanyakan hal lain.

“Ya ampun, kamu pikir aku gak bisa bayar, hem? Tenang saja uangku banyak di dompet.”

Rahma mendongak, tatapan mata dingin penuh luka itu segera menghentikan senyum Dimas yang bermaksud bercanda tadi.

Kenapa dengannya? Apa yang membuat mata itu begitu kosong?

“Nanti tolong berikan catatannya. Ini sudah takdir, jadi bukan kesalahanmu.”

“Oh, okey, kalau kamu mau ganti sih gak apa-apa.” Merasa kalah, Dimas berbalik akan duduk di kursi sudut ruang. Meredam perasaan aneh di dada dua kali ia menyugar rambut sebahunya ke belakang.

Diam-diam mata mencuri pandang pada wanita yang mengambil wadah makanan di nakas, samping bed. Makan tiga sendok dalam diam, lalu minum. Kemudian kembali posisi setengah berbaring seraya menatap kosong arah jendela.

Baru sekarang hatinya merasa tertarik ingin tahu urusan orang lain. Biasanya cuek tak peduli. Banyak tanya di kepalanya tentang apa yang dirasakan wanita itu.

*

Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.

Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.

Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.

“Berapa?”

Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah karena Rahma memaksa.

Mereka lalu meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma siaga menunjuk arah rumah yang akan dituju.

“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna biru.

“Di sini rumahmu?”

“Bukan, makanya tunggu sebentar,” jawab Rahma sambil turun.

Sigap lelaki itu keluar membukakan pintu hendak membantu Rahma yang jalannya belum seimbang.

“Aku bisa sendiri,” tolak halus Rahma sambil melempar senyum kecil. Ia tak mau ada banyak budi pada orang asing, takut suatu hari nanti ditagih kembali.

“Ya Allah, Mbak Rahma ini kenapa?” Majikannya kaget lihat keadaan assisten datang dengan jalan timpang.

Sebentar menjelaskan singkat kejadian semalam, wanita ini menunjukan jumlah tertera di kertas, minta tolong majikan membayarkan dulu untuk mengganti uang Dimas.

“Ya ampun, kamu kok gak telepon ibu? Kan bisa langsung ke sana nengok.”

Wanita itu menyuruh mereka duduk sementara ia ke ruang dalam.

Apa Rahma ini pembantu?

Dimas perhatikan gerak-gerik Rahma yang menaut jemari gelisah.

Majikannya kembali dengan amplop di tangan.

“Ini, kalau ada apa-apa jangan sungkan, Mbak Rahma. Tinggal bilang aja.”

“Terima kasih, Bu. Bayarnya potong gaji saya, ya, Bu.”

“Iya, jangan dipikirin.” Sekilas wanita paruh baya itu melihat pada lelaki berambut gondrong duduk tak jauh dari Rahma.

“Maaf, Bu. Saya yang nyenggol motornya, tapi Mbak Rahma ini menolak dibayarkan, jadi ini terpaksa menerima,” jelas Dimas sembari mengambil uang dari tangan Rahma.

“Makasih, Mas. Pulang aja aku bisa pulang sendiri,” ujar Rahma kemudian. Lega majikannya mau membantu, melepaskan sedikit bebannya.

“Jangan, Nak? Siapa namanya?”

“Dimas Jayadi, Bu. Panggil Dimas aja.”

“Nanti, Nak Dimas tolong antarkan aja Mbak Rahma pulang.

“Rahma bisa naik sepeda, Bu,” tolak Rahma segan.

“Kalau gitu kita sepeda bareng?” Dimas menaikan alis. “tanggung jawabku belum selesai sampai kamu pulang dengan selamat. Ya nggak Bu?” Ia malah meminta dukungan wanita yang langsung tertawa geli.

“Eh, kok namanya sama dengan Jayadi Dimas Property? Apa ini yang arsitek muda itu, ya?”

“Ehm, iya, Bu. Kebetulan dapat proyek di kota ini.”

“Wah Bapak bakal senang kalau bisa ketemu gini.” Semringah wajah wanita berkulit putih ini begitu mengenal Dimas. “Saya Bu Yanti, dikenal dengan sebutan Bu Gondo juga,” lanjutnya.

“Jadi ini rumah Pak Gondo Wiryawan?”

“Iya, Nak Dimas. Kapan-kapan main ke sini, Bapak senang ini perusahaanmu mau kerjasama bangun perumnas kantornya. Wong katanya yang selama ini urusan assisten aja, sama yang punya belum ketemu.”

“Saya sama assisten sama saja, Bu. Terima kasih, Bu Gondo sambutannya. Kapan-kapan saya mampir lagi, ini mau istirahat dulu,” gelak Dimas sambil menarik dada baju, mencium bau badannya sendiri. Ia belum mandi sejak kemarin sore.

“Iya, iya, dengan senang hati. Tolong antarkan Mbak Rahma, ya,” pesan wanita itu lagi saat mereka keluar.

“Mbak Rahma masuk kerjanya nunggu sehat betul. Kalau maksa masuk ibu berhentikan langsung,” ucap Bu Gondo setengah bercanda.

Ia paling kesal kalau melihat wanita muda itu terlalu keras pada dirinya sendiri.

Dari balik kaca matanya ia menatap punggung mereka menuju mobil. Sikap Dimas terlihat hangat, siaga menjaga Rahma yang tak seimbang jalan.

Semoga suatu saat kamu ketemu lelaki yang baik seperti Dimas, Mbak Rahma, doa tulus Bu Gondo.

*

“Kok sepi? Kamu tinggal sendiri?”

Dimas mengantar sampai ke teras.

“Oh, enggak kok banyak orang cuma belum pulang. Terima kasih banyak Pak Dimas boleh pulang sekarang.”

“Yah, panggil ‘pak’ lagi.”

Rahma pura-pura abai dengan protes lelaki yang baru dikenanlnya itu. Sengaja berdiri, belum membuka pintu sebelum Dimas beranjak pulang.

Seperti paham lelaki ini pun mengalah. “Baiklah, jangan lupa minum obatnya. Ada keluhan bisa telepon ke nomorku.”

Dimas menadah tangan tanda meminta ponsel Rahma. Sedikit ragu ia mengambil ponsel dalam tas berikan ke telapak tangan di depannya.

Setelah mengetik dan simpan nomornya Dimas miscall ke nomor sendiri, lalu memberikan lagi pada Rahma.

“Anaknya cakep,” puji Dimas pada wallpaper, dimana Rahma tertawa lepas saat dicium pipinya oleh seorang anak laki-laki.

“I-iya. Terima kasih,” sahutnya kaku.

“Ya sudah aku pulang dulu.”

Lelaki tegap itu akan keluar dengan langkah cepat, tapi terhenti saat mobil merah menyala masuk ke halaman. Langkahnya melambat menunggu orang di dalamnya keluar.

Apa itu keluarga Rahma? Mungkin aku perlu minta maaf, pikirnya.

?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel