Bab 9
FLASHBACK ON
Lita tengah duduk di ayunan komplek perumahan yang di tinggali keluarga Rahma. Lita sangat bersyukur keluarga Rahma menerimanya dengan senang hati, padahal Lita masih dalam tahap penyembuhan selepas operasi ginjalnya.
"Kak Lita," teriakan seorang anak kecil membuyarkan lamunannya.
"Hai Sayang, kemarilah..." ucap Lita, Rahma berjalan mendekati Lita dan duduk di ayunan yang berada di samping Lita.
"Kamu sudah pulang sekolah?" tanya Lita tersenyum.
"Sudah Kak, tadi Ibu Guru bercerita mengenai sebuah cita-cita dan bertanya ke semua murid, apa cita-cita kami," ujar Rahma antusias.
"Oya? Lalu apa cita-cita kamu?" tanya Lita antusias mendengarkan.
"Aku bercita-cita menjadi seorang Guru," ucapnya dengan ceria.
"Umm,, kenapa?" tanya Lita penasaran.
"Karena menurut aku, seorang Guru itu sangat mulia. Dia adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa," ujarnya.
"Aku sangat ingin menjadi seorang guru dan bisa mengajarkan murid-muridku dengan pengetahuan yang aku punya," ujar Rahma.
"Cita-cita yang sangat mulia, Cantik." ujar Lita mengelus rambut Rahma dengan sayang. "Kakak doain semoga cita-cita mulia kamu tercapai yah, Amin," ujar Lita.
"Amin. Kalau cita-cita Kakak apa?" tanya Rahma antusias.
"Cita-cita Kakak, umm... apa yah." Thalita berpikir keras. "Sebenarnya dari kecil Kak Lita punya cita-cita ingin menjadi Dokter, Kakak ingin membantu orang-orang dan menyembuhkan mereka," ujar Lita mengingat keinginannya sejak dia kecil.
"Wah, cita-cita Kakak juga sangat mulia," Seru Rahma.
"Iya, tapi kayaknya cita-cita Kakak gak bisa ke capai," keluh Lita menatap lurus ke depan.
"Kenapa Kak?" tanya Rahma heran.
"Beasiswa Kakak dari kampus di cabut sepihak, Kakak juga dalam keadaan tidak sehat," ucap Lita lirih, hatinya teriris mengingat kejadian itu. Dimana dirinya di fitnah dan harus di cabut beasiswtanya dari kampus impiannya.
Rahma turun dari ayunannya dan berdiri di samping Lita yang melamun. Di genggamnya tangan Lita yang berada di atas pangkuan, membuat Lita menatap ke arah Rahma.
"Kakak jangan putus asa, Rahma yakin Kakak bisa mencapai cita-cita Kakak. Allah gak tidur Kak, dia pasti akan bantu kita untuk menggapai apa yang kita inginkan. Kakak harus yakin kepada-Nya," ucap Rahma tersenyum membuat Lita menatap Rahma dengan tatapan berkaca-kaca.
"Kakak tau kan, aku mengidap kanker paru-paru dari sejak aku lahir. Tapi aku gak mau menyerah begitu saja. Meskipun keseharianku harus di bantu obat-obatan dan suntikan dari Dokter, tapi aku gak mau menyerah. Aku akan tetap berusaha menggapai cita-cita aku," ucap Rahma penuh tekad dan semangat.
"Kamu masih kecil, tapi pemikiran kamu sungguh dewasa dan sangat tegar. Kakak merasa malu denganmu," ucap Lita membelai kepala Rahma.
'Bahkan sakit yang aku derita tidak separah yang dia derita. Tapi semangat hidupnya sangat besar, berbeda denganku yang sudah di ujung keputusasaan,' batin Lita.
"Kakak harus gapai cita-cita Kakak, jadi suatu hari nanti saat Kakak sudah menjadi Dokter. Kakak bisa menyembuhkan aku," ucapnya antusias membuat Lita tersenyum.
"Kakak janji sama kamu, Kakak akan gapai cita-cita Kakak untuk menyembuhkan kamu Sayang." Lita memeluk Rahma.
Flashback Off
Air mata Lita luruh mengingat saat Rahma menyemangatinya untuk bangkit kembali. Anak berumur 8 tahun begitu bersemangat untuk hidup tanpa memperdulikan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya.
"Aku harus bisa menyembuhkannya, bagaimanapun cartanya. Aku harus melakukan sesuatu," gumam Lita.
"Apa jalan operasi akan berhasil?" gumamnya.
Kepaltanya terasa pening memikirkan cara untuk menyembuhkan Rahma, karena Lita juga menyadari bahwa jalan operasi tidak akan menutup kemungkinan akan gagal. Di sisi lain, Lita sangat ingin membantu Rahma, sesuai janjinya dulu. Tapi di sisi lain tidak ada jalan apapun untuk membantunya menyelamatkan Rahma. Keadaan ini sangat mempersulitnya.
Keadaan Darurat, Ruang 115
Panggilan dari speaker rumah sakit itu menggema diseluruh rumah sakit, membuat Thalita terkesiap. Pasalnya itu ruangan Rahma dirawat, dengan segera Lita berlari keluar ruangannya menuju ruangan Rahma. Beberapa orang ditabrak Lita, dan tidak Lita hiraukan hingga dia sampai diruang 115. Dan terlihat tiga orang Suster bersama Dhika yang tengah melakukan sesuatu ke pasien. Dengan nafas yang tersenggal-senggal, Lita berjalan mendekati blangkar. Terlihat Dhika tengah melakukan CPR kepada pasien.
"Berikan aku 1 ampul," ucap Dhika masih memberi CPR ke pasien.
"Dokter, dia adalah pasien DNR," ujar salah satu Suster.
"Jadi, apa aku harus diam saja tanpa melakukan apapun, hah?" bentak Dhika membuat Suster ngeri.
Dhika memang akan sangat emosi, kalau bersangkutan dengan keselamatan pasiennya.
"Beri saya 1 ampul F1 dan defibrillator. Sekarang !!!" bentak Dhika, membuat Suster itu kelabakan dan mengambil alat yang diminta Dhika, sedangkan Lita masih berdiri tak jauh dari sana dengan tangan dan tubuh yang gemetaran. Ketakutan akan kehilangan adik kecilnya, dan janji dia ke Rahma terus memenuhi benaknya.
Matanya sudah berkaca-kaca melihat Dhika yang terus berusaha mengambalikan detak jantung pasien, sedangkan pasien tidak menunjukkan respon apapun. Suster menyerahkan alat yang diminta Dhika. Dhika segera mengambilnya dan meletakkannya didada pasien. Dhika mulai memancing jantung Rahma untuk berdetak kembali menggunakan defibrillator, tetapi tidak ada respon apapun dari pasien.
"Sekali lagi!" ucap Dhika, dan Susterpun mematuhinya.
Tetapi masih tidak ada respon.
"Sekali lagi!" ucap Dhika, dan Susterpun melakukannya tetapi tetap tidak ada respon. Dhika kembali melakukan CPR pada pasien, tetapi tidak ada respon apapun.
Lita yang melihatnya sudah sangat lemas, jantungnya terasa berhenti saat itu juga. Melihat seorang gadis remaja yang terkulai lemah tanpa merespon apapun.
'Please, kembalilah untuk Kakak. Kakak mohon, biarkan Kakak menyelamatkan kamu. Please kembalilah Rahma' batin Lita sudah bergetar hebat, pandangannya terus terarah ke arah Dhika yang masih berusaha menyelamatkan pasien.
Terlihat Dhika kembali mengambil defibrillator dan meletakkannya didada pasien. "Isi 200 joule" ucap Dhika dan Susterpun menurutinya hingga...
Deg....Deg....Deg....
Detak jantung pasien telah kembali, Dhika memejamkan matanya bernafas lega. Tubuh dan dahinya sudah dipenuhi peluh. Para Susterpun bernafas` lega karena sudah melewati situasi yang sangat menegangkan.
Thalita memejamkan matanya, bernafas lega saat mendengar suara detak jantung itu kembali, air matanya yang sempat luruh segera dia hapus.
'Terima kasih karena masih bertahan,' batin Lita menatap Rahma yang tengah dipasangi alat bantu pernafasan di hidungnya.
Dhika hendak beranjak, tapi saat berbalik, gerakannya terhenti saat bertemu pandang dengan Lita. Dhika baru menyadari kalau Lita ada dibelakangnya, Dhika juga mampu melihat tatapan sendu milik Lita. Tanpa berkata apapun, Dhika melewati Lita keluar dari ruangan. Dan tanpa pikir panjang, Lita mengikuti Dhika keluar dari ruangan Rahma.
