Bab 10
Sesampainya di ruangan milik Dhika, Dhika mengambil sebotol aqua berukuran sedang dari kulkas yang ada di ruangannya. Dalam sekali tegukan, Dhika menghabiskan air dalam botol aqua ukuran sedang itu. Thalita berdiri di ambang pintu dengan hanya menatap Dhika yang tengah meneguk air. Sejujurnya Lita sangat terpesona dan sangat menyukai saat Dhika tengah meminum minuman dari botol dengan peluh yang mengalir dari pelipis ke lehernya. Menurut Lita itu terlihat sangat seksi, apalagi saat Dhika menengadahkan kepalanya saat meminum, memperlihatkan lehernya dan jakunnya yang terlihat naik turun.
"Ada apa?" suara Dhika menyadarkan lamunan Lita.
Lita menggelengkan kepalanya menghilangkan pikiran aneh yang sempat singgah dikepalanya. Membuat Dhika mengernyitkan dahinya, lalu Lita mendongakkan kembali kepalanya.
"Saya ingin bicara," ucap Lita sekuat tenaga mengatur detak jantungnya dan suartanya agar terdengar senormal mungkin.
"Masuklah, jangan hanya berdiri di ambang pintu," ujar Dhika, Litapun berjalan memasuki ruangan Dhika. "Ada apa?"
Dhika menyandarkan bokongnya di meja kerja miliknya dengan tangan yang di lipat di dada. Thalita kembali memalingkan wajahnya.
‘Di saat seperti ini kenapa harus terpesona dengan ketampanan Dhika’. Batin Lita.
"Apa kamu bisa mengoperasinya?" tanya Lita tanpa basa basi. Dhika yang paham maksud pembicaraan Lita, langsung berdiri tegak tanpa memalingkan pandangannya dari Thalita.
"Aku ingin, tapi aku tidak bisa," ujar Dhika santai.
"Apa maksudmu?" tanya Lita sinis
"Tingkat keberhasilannya sangat rendah" ujar Dhika apa adanya.
"Tapi apa ada kemungkinan dia bisa tetap hidup?" tanya Lita.
"Kemungkinannya sangat kecil, operasi ini akan membuatnya merasakan sakit yang lebih parah" jelas Dhika.
"Maafkan aku, tetapi aku tidak bisa mengoperasinya," tambahnya menyesal.
"Kamu bilang seorang Dokter harus menyelamatkan pasiennya. Bahkan tadi saja kamu bilang, Apa seorang Dokter hanya harus diam saja tanpa melakukan apapun" bentak Lita tak terima dengan jawaban Dhika.
"Sebut saja aku ini seorang pecundang, tetapi aku tidak bisa menyebabkan pasienku lebih tersiksa lagi," ujar Dhika beranjak memunggungi Lita.
Tetapi Lita ikut beranjak kehadapan Dhika.
"Jadi maksudmu, kita akan diam saja dan membiarkan dia mati begitu saja?" bentak Thalita membuat Dhika terdiam, mata Lita sudah merah dan berkaca-kaca. "Kamu bilang, dia masih punya harapan untuk hidup!"
"Aku salah, maafkan aku Lita," ujar Dhika menatap Lita dengan teduh.
"Aku tidak butuh maafmu, Dhika!" bentak Lita.
Ini petama kalinya Lita memanggil Dhika tanpa embel-embel Dokter setelah sepuluh tahun berlalu. Dhika mengernyitkan dahiya heran dan bingung melihat sikap Lita yang begitu marah.
"Tepati janjimu!" ujar Lita mencengkram kuat kerah jas Dokter yang di Pakai Dhika.
Tatapan mereka bertemu, tatapan tajam penuh luka milik Lita menusuk ke mata coklat teduh milik Dhika. Perlahan air mata Lita yang sudah menggenang di pelupuk matanya luruh membasahi pipi membuat Dhika semakin yakin kalau Lita ada hubungannya dengan pasien itu.
"Aku mohon, selamatkan dia," ucap Lita dengan suara yang bergetar, seraya menundukkan kepalanya dan mulai melepas cengkramannya di kerah jas yang di Pakai Dhika. "Dia mempunyai impian dan cita-cita yang besar."
Terdengar isakan kecil keluar dari mulut Lita. Membuat Dhika mematung di tempatnya. Hatinya merasakan perih dan teriris mendengar isakan Lita.
Perlahan Lita menengadahkan kepalanya kembali menatap mata coklat Dhika. "Aku akan melakukan apapun yang kamu mau, asalkan kamu mau mengoperasinya,"ucap Lita memelas menatap Dhika, membuat Dhika Serba salah.
Di sisi lain, ingin sekali Dhika mengabulkan permohonan Lita. Tetapi Dhika juga tidak mungkin memaksakan diri untuk mengoperasi pasien yang sudah tak mungkin di selamatkan. Melihat kondisi pasien saat ini, tidak ada harapan lagi untuk di operasi, yang ada pasien akan meninggal saat operasi berlangsung.
"Maafkan aku, Lita. Tapi aku tidak bias," ucap Dhika lembut, Lita menundukkan kepalanya dan kembali menangis.
"Aku mohon" isak Lita terbata-bata.
"Siapa dia?" tanya Dhika, karena yakin sekali kalau Lita sangat mengenal pasien remaja ini.
"Dia gadis yang menyelamatkanku, sepuluh tahun yang lalu," ucap Lita menatap Dhika dengan sendu. "Aku ingin menyelamatkannya, seperti dia menyelamatkanku saat kebakaran itu.”
"Aku mohon, Dhik. Selamatkan gadis kecil itu," isak Lita memelas membuat Dhika tidak tega melihatnya.
"Baiklah, kita akan mengoperasinya sore ini juga," ujar Dhika akhirnya membuat Lita berbinar. "Tapi aku tidak bisa berjanji untuk keselamatan dan kesembuhannya," tambah Dhika membuat Lita ingin berkata sesuatu tetapi Dhika segera mendahuluinya.
"Kita Serahkan semuanya kepada Allah," ujar Dhika membuat Lita terdiam.
"Tersenyumlah, kamu terlihat jelek saat menangis," gurau Dhika membuat Lita segera menghapus air matanya dan sedikit salah tingkah.
"Terima kasih" ucapnya. “A-aku permisi,” tambah Lita dan segera keluar dari ruangan Dhika. Dhika hanya bisa tersenyum melihat tingkah Lita yang masih gengsi dan menuruti egonya.
***
Kini semua Dokter sudah pada posisinya masing-masing di dalam ruang operasi. Dhika menatap Lita yang masih terlihat sendu, semua Dokterpun ikut terlihat tegang. Pasalnya mereka mengetahui kondisi pasien yang akan mereka tangani ini.
"Kenapa ekspresi kalian semua sangat mengerikan seperti itu?" ujar Dhika membuat para Dokter melihat ke arahnya. Dhika selalu bisa membuat Dokter lain kembali dalam mood baiknya.
"Semangatlah guys," tambahnya bersemangat.
Lita tersenyum dibalik masker yang menutupi mulut dan hidungnya sambil menatap ke arah Dhika.
"Operasi sudah bisa dimulai, Dokter" ujar Claudya ikut bersemangat.
"Baiklah, ayo kita fokus menyelamatkan pasien."
Dhika menatap satu per satu mata orang disekitarnya hingga terakhir matanya beradu dengan mata hitam milik Lita. Lita memejamkan matanya sekedap, seakan mewakilkan ucapan terima kasihnya.
"Pisau bedah," ucap Dhika dan Suster di samping Dhika memberikannya. Dhika dibantu Lita mulai melakukan bedah didada pasien. Semuanya terasa sangat menegangkan setiap detiknya. Pasalnya sedikit saja ada kesalahan maka nyawa pasien taruhannya. Satu jam sudah berlalu, tetapi Dhika dan Lita masih sibuk dengan aktivitasnya. Dengan perlahan Dhika memotong tumor yang ada di paru-paru itu.
Darah memuncrat keluar hingga mengenai baju operasi Dhika membuat Dhika maupun Lita terpekik kaget.
Tuuuuuttttt............
"Detak jantung dan tekanan darahnya menurun drastic!" ujar Claudya.
"Suntikan epinefrin dan tingkatkan konsentrasi oksigennya!" ujar Dhika membuat Claudya segera melakukannya.
"Tekanannya terus menurun dari 60%," ucap Lita mulai ketakutan dan resah.
"Berikan aku epinefrin defibrillator," ujar Dhika membuat Suster segera menyodorkannya. Dhika memasang alat itu di daerah jantung pasien.
"Naikkan 20 joule," ujar Dhika. “Shock!”
Deg..... tetapi garis yang muncul di layar hanya gerakan garis yang terus menurun dan melemah.
"50 joule," ucap Dhika lagi. “Shock!”
Deg.... Dan tetap saja tidak ada respon apapun.
"Shitt !!!"
Dhika menyerahkan kembali defibrillator ke Suster dan memasukkan tangan kanannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien. Tetapi pasien tetap tidak menunjukkan apa-apa, Dhika terus berusaha mengembalikan detak jantung pasien ke posisi normal. Sedangkan Dokter lain terlihat sangat tegang dan Lita sudah berkaca-kaca karena ketakutan.
Kedua tangannya yang penuh darah bergetar hebat.
"Defibrillator," ucap Dhika dan Suster segera memberikan alat pendetak jantung itu ke Dhika. Dhika kembali memasangkan alat itu disekitar jantung.
"50 joule" ujar Dhika. “Shock!”
Deg... masih tak ada respon apapun dan tekanannya semakin menurun.
"Sekali lagi!" bentak Dhika dan Susterpun menurutinya.
Deg....tetapi hanya garis luruh yang muncul di layar mesin.
