Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Dhika baru saja keluar dari operasi, di susul oleh tiga orang Dokter sambil mendorong blangkar pasien. Tak lama Thalita keluar ruang operasi, dan melepas masker dan penutup rambutnya, membuat rambut indahnya tergerai bebas. Thalita merapihkan semua rambutnya menjadi satu dan saat akan memakaikan ikat rambut pada rambutnya, seseorang berkata yang membuatnya mematung.

"Biarkan tergerai," ucap seseorang dengan lembut membuat Thalita menatap ke arah suara itu, dimana di hadapannya Dhika tengah berdiri. Setelah mengucapkan itu Dhika berlalu pergi meninggalkan Thalita yang masih mematung.

Ingatan Thalita kembali ke sepuluh tahun yang lalu, dimana Dhika selalu saja menyuruhnya untuk selalu menggerai rambut indahnya. Bahkan terkadang Dhika sendiri yang suka merapihkan rambut Thalita. Thalita mencoba mengenyahkan pikirannya itu dan melanjutkan mengikat rambutnya.

***

Pagi itu, Thalita tengah memeriksa kondisi pasien perempuan yang kemarin melakukan operasi, di temani oleh dr. Claudya.

"Dr. Thalita, aku lihat sepertinya anda sudah mengenal dekat dr. Dhika," Seru Claudya membuat Thalita menghentikkan aktivitasnya yang sedang memeriksa pasien mengguNakan stetoschopenya. "Apa sebelumnya kalian sudah saling mengenal?"

"Kami satu kampus, aku adalah adik tingkatnya," jawab Thalita datar dengan kembali sibuk memeriksa pasiennya.

"Benarkah? tetapi aku melihat ada kejanggalan dari cara dr. Dhika menatap anda," ujar Claudya begitu penasaran.

"Saya tidak tau dr. Claudya, lebih baik anda fokus dengan pasien ini sebelum di tegur dr. Dhika nantinya. Daripada harus mencari tahu urusan pribadi oranglain," sindir Thalita tersenyum sinis sambil melepaskan stethoscope dari kedua telingtanya dan mengalungkannya ke leher jenjangnya.

 Setelahnya Thalita langsung beranjak pergi meninggalkan Claudya dengan membawa berkas pasien. Claudya hanya mendengus sinis ke arah Thalita yang berlalu pergi.

"Aku yakin, ada sesuatu di antara kalian," gumam Claudya.

Thalita fokus membaca berkas pasien yang terlihat masih belum stabil keadaannya. Hingga seseorang menabrak tubuhnya dari belakang, membuat Thalita kehilangan keseimbangannya. Dan membuat berkas yang dipegangnya terlempar ke udara. Tubuh Thalita hampir saja membentur lantai, kalau tidak ada tangan kekar yang menahannya, dan membuat tubuh Thalita tertarik ke dalam pelukannya. Thalita mencengkram erat lengan jas Dokter milik sang penolong. Keduanya masih bertatapan dengan jarak yang cukup dekat, seakan ingin mendalami mata keduanya. Dan dengan gerakan slow motion kertas yang masih berterbangan di udara berjaTuhan ke lantai rumah sakit. Cukup lama mereka saling memandang, mendalami mata masing-masing. Mencari sesuatu yang sempat hilang beberapa tahun ini.

Dhika sadar dengan posisinya saat ini dan dengan segera membantu Thalita berdiri tegak dan melepas pelukannya di pinggang Thalita, tetapi Thalita masih mencengkram kuat lengan jas putihnya, seakan tak ingin melepaskan. Pandangan Thalita juga masih menatap ke manik mata coklat milik Dhika.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Dhika lembut, menyadarkan Thalita dari lamunannya, Thalita tersadar dengan posisinya saat ini dan dengan segera Thalita melepas cengkramannya pada lengan jas Dokter Dhika.

"Aku baik-baik saja," jawab Thalita dengan singkat dan segera memunguti semua kertas yang berSerakan di lantai. Dhika ikut membantu memunguti kertas-kertas itu dan menyerahkannya ke Thalita setelah keduanya sama-sama berdiri tegak.

Deg… Karena mengambilnya terburu-buru tanpa sadar tangan Thalita malah menyentuh tangan Dhika. Membuat mereka kembali bertatapan dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga akhirnya Thalita merebut kertas itu dan berlalu pergi meninggalkan Dhika. Dhika hanya tersenyum melihat tingkah Thalita yang sangat menggemaskan menurutnya. Tanpa mereka sadari, dr. Claudya melihat kejadian itu dari lorong lain.

"Aku tidak bodoh untuk mengartikan semua yang aku lihat," gumam Claudya dengan tatapan terluktanya.

***

Thalita baru saja keluar dari ruangannya hendak pulang, hingga dia bertabrakan dengan seseorang. Yang membuatnya terduduk di lantai karena terdorong.

"Maaf," ucap seseorang dengan suara bassnya yang kini berdiri tegak di hadapan Thalita.

Seorang laki-laki berbadan tegap dan tinggi tengah tersenyum manis kepada Thalita dengan mengulurkan sebelah tangannya untuk membantu Thalita.

"Maaf," ucapnya sekali lagi, membuat Thalita menyambut uluran tangannya dan kembali berdiri tegak di hadapannya.

"Aku Rivaldo, panggil dr. Rival saja. dan maaf tadi aku menabrakmu," ucapnya merasa bersalah.

"Tidak apa-apa dr. Rival, aku Thalita," ucap Thalita tersenyum seraya melepas jabatan tangannya.

"Kamu Dokter baru  yang mengganti Dokter Chailly dari tim 1?" tanya Rival membuat Thalita mengangguk. "Kita baru bertemu sekarang, aku juga Dokter bedah di tim operasi 2," Tambahnya dengan ramah.

"Saya juga baru melihat anda, mungkin kemarin karena terlalu sibuk melakukan operasi jadi tidak sempat berkenalan dengan Dokter yang lain," ucap Thalita.

"It's oke," jawabnya santai. "Jangan panggil anda, panggil kamu saja. kesannya formal sekali," kekehnya membuat Thalita mengangguk paham.

Tak jauh dari arah mereka berdiri, Dhika yang masih memakai jas Dokternya keluar dari ruangan miliknya, tetapi seketika langkahnya terhenti saat melihat Thalita dan Rival tengah berbincang didekat pintu lift. Hatinya terasa terbakar api cemburu, Dhika tidak suka melihat kedekatan Thalita dengan Rival. Apalagi Thalita terlihat tertawa mendengar ocehan lelaki lain di hadapannya. Dhika segera melangkahkan kakinya mendekati mereka berdua.

"Khem!" deheman Dhika membuat kedua orang itu menatap ke arahnya.

"Eh Dokter Dhika, tidak pulang?" tanya Rival dengan ramah.

"Saya jaga malam," jawab Dhika singkat.

"Dokter Lita, bisa ikut ke ruangan saya? ada yang mau saya bicarakan," ucap Dhika.

"Tapi saya mau pulang, Dok. Bukankan kita tidak ada jadwal operasi lagi," ucap Thalita.

"Sebentar saja, ada yang mau saya bicarakan," ucap Dhika tajam membuat Thalita akhirnya menurut.

"Baiklah Dokter Rival, senang berkenalan dengan kamu. saya permisi dulu," ucap Thalita dengan senyumannya membuat Dhika mengepalkan kedua tangannya.

Dokter Rival hanya menjawab dengan anggukan dan tersenyum manis. Thalita berjalan mengikuti Dhika yang sudah berjalan terlebih dulu menuju ruangan Dhika.

"Ada apa Dok?" tanya Thalita saat sampai di dalam ruangan Dhika.

"Jangan terlalu dekat dengannya," ucap Dhika tanpa basa basi membuat Thalita mengernyitkan dahinya.

"Maksud anda?" tanya Thalita bingung.

"Kamu memanggilnya dengan aku kamu, kenapa denganku masih bersikap formal?" tanya Dhika tak terima. "Aku tidak mau lagi melihat kamu dekat dengannya!”

"Bukan urusanmu!" ucap Thalita tak kalah tajam. "Tidak ada hak anda melarang saya, Dokter Dhika yang terhormat." ucap Thalita menekankan kata nggak ada hak anda.

"Lita! aku tidak mau kamu terlalu dekat dengannya, dia itu seorang playboy," ujar Dhika mencoba menyembunyikan rasa cemburunya.

Thalita terkekeh meremehkan ucapan Dhika. "Lalu apa urusannya dengan anda, Dokter?" tanya Thalita tersenyum mengejek. 

Dhika mematung di tempatnya, lidahnya seakan kelu untuk mengucapkan sebuah kata. Dhika bingung harus menjawab bagaimana. Apalagi dengan tatapan sinis Thalita, membuatnya takut untuk berkata kalau Thalita hanya miliknya. Dhika takut, Thalitanya akan pergi lagi.

"Ini bukan urusan anda, dan tolong jangan urusi lagi urusan saya, permisi." Thalita berlalu pergi setelah mengucapkan itu, sedangkan Dhika masih berdiri mematung di tempatnya dengan tatapannya yang masih menatap punggung Thalita yang semakin menjauh.

"Shitttt!!!" umpat Dhika kesal

***

Thalita baru sampai di ruangannya pagi itu, dan menyambar jas Dokternya untuk dia Pakai. Tak lama handphonenya berdering dan menamPakkan satu nomor tanpa nama di layarnya. Thalita menatap nomor yang muncul di layar handphonenya itu.

"Ternyata dia tidak mengganti nOmor telponnya sama sekali," ujar Thalita saat mengetahui kalau yang menghubunginya adalah Dhika.

Thalita segera mengangkat teleponnya dan ternyata Dhika memintanya untuk datang ke ruangannya.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh sang empu, Thalitapun masuk ke dalam ruangan, terlihat Dhika tengah berdiri menatap keluar jendela yang langsung menamPakan jalanan Ibu kota dengan sebelah tangannya yang dimasukan ke dalam saku celantanya.

"Ada apa Dokter memanggil saya?" tanya Thalita karena Dhika tak kunjung berbalik badan.

Mendengar suara Thalita yang seakan menyihirnya otaknya, membuat Dhika membalikan badannya dan tatapan mereka langsung beradu. Dhika selalu terhipnotis oleh mata hitam bulat milik Thalita, membuatnya sulit sekali untuk berpaling.

Tetapi dengan cepat Thalita memalingkan pandangannya ke arah lain. "Ada apa?" tanya Thalita dingin.

Dhika merasa sakit melihat sikap dingin Thalita, tetapi Dhika juga mencoba untuk memakluminya.  ‘Ini semua karena kesalahanku juga,’.batin Dhika.

Dhika berjalan ke arah meja kerjtanya dan mengambil berkas pasien di sana.

"Bagaimana kondisi ibu Atikah?" tanya Dhika mentanyakan pasien yang kemarin melakukan operasi paru-paru.

"Kondisinya masih belum ada perubahan, sepertinya pasien nyaman dengan kondisi tertidurnya," jawab Thalita, membuat Dhika mengangguk paham.

"Apa tidak ada walinya yang datang?" tanya Dhika lagi mengalihkan pandangannya dari berkas ke arah Thalita yang masih memasang ekspresi dingin dengan paras cantiknya.

Dhika selalu terpesona dengan kecantikan Thalita, bagaimanapun penampilannya, dia selalu terlihat cantik dimata Dhika. Bahkan hatinya selalu bergetar saat menatap Thalita.

"Belum ada." jawaban Thalita dingin, Dhika tersenyum kecil melihat sikap dingin Thalita.

"Ini data pasien yang baru saja masuk tadi malam. Remaja berumur 18 tahun, namtanya Rahma. Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir," ujar Dhika. "Tolong kamu perhatikan perkembangannya. Kemarin malam aku sudah menyuntikkan oxycodone padanya," ujar Dhika menyodorkan berkas ke arah Thalita.

"Kalau begitu saya permisi," ujar Thalita, Dhika hanya menjawabnya dengan anggukan. 

Ingin sekali Dhika bertanya apa dia sudah sarapan, dan berbicara se-akrab mungkin tidak formal seperti ini. Tapi Dhika sadar, dia tidak mungkin melakukan itu. Mendekati Thalita lagi harus butuh tahapan tidak bisa dengan mudah dan cepat mendekatinya lagi.

Dhika memperhatikan Thalita yang berjalan di luar ruangannya lewat kaca. Karena dinding ruangan disini semuanya terbuat dari kaca. Dhika terus memperhatikan Thalita yang kini menghilang di balik pintu lift yang tertutup.

***

Thalita berjalan memasuki ruangan bernomor 115. Thalita melotot sempurna saat menatap gadis remaja yang terbaring lemah di atas blangkar.

"Dia.." gumam Thalita kaget, sampai menutup mulutnya tak percaya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel