Bab 11
Dhika mengembalikan lagi alat itu ke Suster dan memeriksa denyut nadi pasien. Ia memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Kenapa berhenti?" tanya Lita heran saat melihat Dhika tidak melakukan apa-apapun lagi.
"Detak jantungnya tak kembali, denyut nadinyapun sudah menghilang," ucap Dhika lemah.
"Lalu kenapa berhenti? Ayo lakukan lagi!" bentak Lita. Dhika tidak membalas tatapan tajam Lita. Dhika melirik semua Dokter dan Suster lain yang terlihat tegang.
"Terima kasih atas kerja sama kalian," ujar Dhika ke semua timnya seraya melepas sarung tangannya yang dipenuhi darah.
"Apa maksudmu??????" bentak Lita tak percaya dengan apa yang Dhika lakukan.
"Kalian semua boleh keluar, biar saya yang membersihkan semuanya," ucap Dhika membuat satu persatu orang di ruangan itu keluar.
Hingga Dokter Claudya yang masih tetap berdiri di sana. "Kau juga boleh keluar Dokter Claudya," ujar Dhika membuat Claudya dengan berat hati keluar dari ruangan.
Hingga kini menyisakan Lita dan Dhika berdua, Lita masih menatap Dhika dengan tajam, air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dhika membalas tatapan Lita dengan tatapan teduh miliknya.
"Tidak, ini belum berakhir!" Lita beranjak ke tempat Dhika sambil melepas masker yang menutup hidung dan mulutnya., hingga kini berdiri di samping Dhika.
"Operasinya belum berakhir!"
"Ini sudah berakhir, Lita." ucap Dhika menatap ke arah Lita.
"BELUM!!!" bentak Lita dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.
"Maafkan aku," ucap Dhika lembut, tetapi Lita hanya menatapnya sengit.
"Minggir!!!" Lita mendorong tubuh Dhika, Dan mendekati pasien.
Lita memasukkan kedua tangannya ke dalam tubuh pasien dan menekan-nekan jantung pasien berkali-kali. "Please, kembalilah ! kembalilah dengan Kakak, Kakak akan bantu kamu untuk mencapai cita-cita kamu. Ayo Rahma kembalilah," isak Lita terus menekan jantung pasien.
"Bukankah kamu pernah bilang, kalau Kakak sudah menjadi Dokter. Kakak harus menyembuhkan kamu dan membuat kamu mencapai cita-cita kamu. Jadi kembalilah,, kembalilah Rahma!"
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Dhika yang melihat Lita terus menekan jantung pasien. Darah sudah menggenang di dalam sana.
"Kamu tidak lihat aku sedang apa, hah????" tanya Lita ketus dan masih terus melakukan kegiatannya.
"Hentikan!" ucap Dhika tapi Lita tidak memperdulikannya. "Hentikan!!!" Dhika menarik lengan Lita karena Lita tidak berhenti.
"Minggir !!!" bentak Lita menepis tangan Dhika dengan air mata yang terus mengalir deras.
"Aku ingin menyelamatkannya... hikz !!!" Lita berhenti menekan jantung pasien, karena pasien tidak merespon apa-apa.
"Hikz....hikz....hikz...." Lita mulai terisak membuat Dhika menatap Lita dengan tatapan sedihnya. Dhika merasa tidak tega melihat Lita seperti ini.
"Kenapa kamu tidak bertahan sebentar lagi," ucap Lita lirih. "Kenapa kamu tidak menahan sakitnya sebentar saja" isak Lita "Hikz.... Kenapa kamu membiarkan aku gagal untuk menyelamatkanmu?" bentak Lita ditengah tangisnya.
"Hikz....hikz...hikz...." isak Lita di samping tubuh pasien.
Dhika beranjak membuka kain yang menghalangi wajah pasien, sehingga Lita mampu melihat wajah polos Rahma yang tengah memejamkan matanya, meskipun masih ada alat medis yang terpasang dimulutnya. Lita melihat sebulir air mata keluar dari sudut mata gadis remaja itu. Membuat Lita menatap kosong ke arah Rahma. "13 Agustus 2016. 22.30 PM. Pasien meninggal karena gagal jantung" ujar Dhika lirih.
"Selama operasi pengangkatan tumor," tambah Dhika.
"NGGAK !!!" bentak Lita. "Dia belum meninggal!!" ucap Lita sengit, hendak mengambil alat defibrillator untuk kembali memancingkan detak jantung Rahma.
"Hentikan!" Dhika menarik lengan Lita. "Apa yang mau kamu lakukan, hah?"
"Lepaskan !!!" bentak Lita menepis tangan Dhika.
"Hentikan !!!" bentak Dhika kembali menarik lengan Lita. Membuat Lita terdiam menatap mata Dhika kosong.
"Lepaskan aku,, hikzz" tangis Lita kembali pecah di hadapan Dhika. Dan terus mencoba melepaskan cengkraman Dhika dilengannya.
Tetapi karena tenaga Dhika terlalu kuat, membuatnya kesuLitan untuk melepaskan cengkraman Dhika. "Hikz....hikzz....hikzz...." Lita menundukkan kepalanya terisak.
Dhika yang tidak tega melihat Lita yang semakin terluka, langsung menarik Lita ke dalam pelukannya. Di dekapnya dengan erat tubuh Lita dan mengelus punggung Lita dengan lembut.
"Selamatkan dia,, hikzz..." Lita memukul punggung Dhika, tetapi bagi Dhika pukulan Lita tidak seberapa dengan rasa sakit saat melihat Lita menangis seperti ini.
"Selamatkan dia,,, selamatkan adik kecilku..." isak Lita terus memukuli punggung Dhika.
"Maaf,,, tapi dia sudah pergi untuk selamtanya. Maafkan aku," ucap Dhika mempererat pelukannya.
Lita sudah kelelahan dan menghentikan pukulannya pada Dhika dan membalas pelukan Dhika dengan erat. Dhika mengelus lembut punggung Lita, memberikan Lita kekuatan. Lita juga merasa sangat nyaman dalam dekapan ini. Dekapan yang selalu keduanya rindukan, dekapan yang sudah sangat lama menghilang. Dhika ingin waktu berhenti saat ini juga, Dhika ingin terus dalam posisi seperti ini. Apalagi detak jantung keduanya terdengar jelas, berdetak sangat cepat.
Isakan Lita mulai berhenti, tetapi tangannya semakin erat memeluk tubuh Dhika yang sangat hangat. Dokter Claudya memasuki ruang operasi, berniat membantu Dhika menyelesaikan tugasnya. Tetapi langkahnya terhenti dan mematung di tempatnya saat melihat Lita dan Dhika berpelukan dengan sangat intim. Cukup lama Claudya menatap Dhika dan Lita dengan tatapan terluktanya, Claudya segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah luruh membasahi pipi.
Khem…. Deheman Claudya membuat Lita dan Dhika tersadar. Dengan kesadaran penuh Lita mendorong tubuh Dhika menjauhinya, membuat Dhika merasa sangat kehilangan. Lita menghapus air matanya dan melirik Claudya yang tengah menatapnya tajam.
"Aku akan menemui wali pasien," ujar Lita berlalu pergi meninggalkan Dhika dan Claudya yang masih mematung.
"Sa-saya mau membantu membersihkan jenazah," ujar Claudya, tetapi tidak di jawab oleh Dhika. Dhika langsung menyelesaikan pekerjaannya dan membereskan semuanya.
Thalita keluar ruang operasi, di sana terlihat ibu Sari dan Bapak Ahmad tengah menunggunya penuh keresahan. Melihat Lita yang sudah keluar dari ruang operasi membuat keduanya menghampiri Lita.
“Bagaimana?" tanya Ibu Sari dengan tatapan khawatir. Pak Ahmad terlihat merangkul istrinya.
"Maaf," ucap Lita lirih, air matanya kembali luruh. "Operasinya gagal, Rahma mengalami pendarahan yang luar biasa." ujar Lita membuat Sari menangis terisak di pelukan BaPak Ahmad yang terlihat menangis juga.
"Rahma.....hikzzzzz" isak Ibu Sari, Lita tidak tega melihatnya.
"Maafkan aku, aku memang tidak berguna," ucap Lita dengan lirih.
"Tidak Lita, kamu sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua Dokter yang menanganinya juga sudah banyak yang menyerah, mungkin ini jalan yang terbaik untuk Rahma," ujar Ahmad berusaha tegar.
"Iya Lita, Ibu dan BaPak sudah sangat ikhlas. Mungkin ini yang terbaik dari Tuhan agar Rahma tidak menderita lagi dan merasakan rasa sakit itu," isak Sari membuat Lita terdiam. Walau begitu di lubuk hati Lita masih ada rasa kecewa karena kegagalan dirinya menolong Rahma.
Tak lama Dhika keluar bersama Claudya sambil mendorong blangkar yang Rahma tempati. Wajah dan tubuh Rahma sudah ditutupi kain putih. Ibu Sari dan Bapak Ahmad menghampirinya sambil menangis terisak.
"Beristirahatlah dengan tenang Sayang, berbahagialah di sana. Sekarang kamu tidak akan pernah merasakan sakit lagi." ujar Ahmad menangis dalam diam.
“Pergilah dengan damai Sayang, Ibu akan selalu mendoakanmu. Semoga kamu di tempatkan di surgtanya Allah." Sari mencium wajah Rahma.
Dhika menatap Lita yang menatap Rahma dengan tatapan kosong sambil menangis.
Claudya kembali mendorong blangkar bersama Dhika dan membawtanya pergi ke kamar mayat.
Di dalam kamar jenazah, setelah menyimpan blangkar Rahma. Dhika beranjak keluar ruangan, tetapi Claudya memanggilnya, membuat Dhika menghentikan langkahnya. Dhika membalikkan badannya menghadap Claudya yang masih berdiri di belakangnya.
"Ada apa?" tanya Dhika.
"Dhik, aku sering melihat kamu dan Dokter Thalita berdua. Apa sebelumnya kalian pernah ada hubungan? Kenapa kamu sbegitu mudah akrab dengannya? Bahkan aku saja butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan kamu," ujar Claudya sangat penasaran.
"Maaf Claud, tapi ini bukan urusanmu," ujar Dhika datar hendak beranjak tetapi Claudya menahan tangan Dhika. Saat yang bersamaan Thalita masuk ke dalam ruangan itu tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu saat melihat Dhika dan Claudya.
"Dhik, aku mohon beritahu aku ada hubungan apa kamu dengan Dokter Lita?" cicit Claudya menatap manik mata Dhika.
Lita yang berdiri di depan pintu hanya mematung mendengar dan melihat mereka berdua. Dadanya terasa nyeri dan ngilu melihat tubuh Dhika di sentuh oleh wanita lain.
"Claud, aku mohon jangan seperti ini. Aku sedang tidak ingin membahas ini," ujar Dhika melepaskan tangan Claudya.
Lita seakan bingung dan Kaku, kakinya seakan tidak mampu ia langkahkan, tubuhnya sangat lemas dan hatinya sakit. Seperti peribahasa mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang Lita rasakan saat ini. Sakit hati karena kehilangan sosok adik kecilnya dan di saat yang bersamaan Lita juga merasakan sakit mendengar wanita lain mengungkapkan perasaannya ke Dhika.
Dhika melepas pegangan Claudya dan beranjak keluar. Tetapi baru dua langkah, ia menghentikan langkahnya saat melihat Lita berdiri di ambang pintu. Pandangan mereka beradu, tetapi Lita langsung memalingkan wajahnya dengan sinis. Dhika menghela nafasnya dan beranjak pergi melewati Lita tanpa berkata apapun. Lita dan Claudya bertatapan dengan sengit, Claudya langsung beranjak hendak keluar ruangan tetapi langkahnya terhenti saat berdampingan dengan Lita.
"Jangan harap aku akan biarkan kamu memiliki Dhika!" ujar Claudya sengit dan berlalu pergi meninggalkan Lita sendiri.
Lita berusaha mengabaikan apa yang di katakan Claudya barusan dan melanjutkan langkahnya mendekati blangkar Rahma.
***
