Bab 12
Lita kembali ke rumah sakit, setelah menghadiri pemakaman Rahma. Lita baru keluar dari lift dan berjalan menuju ruangannya, tetapi saat melewat ruangan Rival tidak sengaja Thalita mendengar pembicaraan mereka.
Dimana Dokter Rival tengah kebingungan karena asisten utama tim operasinya mengalami kecelakaan dan cedera cukup parah, membuatnya tidak akan bekerja sampai keadaannya stabil. Dokter Rival akan melakukan operasi yang cukup serius dan tidak mungkin melakukan operasi tanpa asisten utama tim. Mendengar itu, entah dorongan dari mana Thalita begitu saja masuk ke dalam ruangan Rival.
“Permisi,” serunya mengetuk pintu ruangan yang terbuka membuat kedua orang berjas Dokter itu menoleh ke arahnya.
"Dokter Lita?" Rival dan seorang pria berjas Dokter juga, kaget melihat kedatangan Lita.
"Maaf, apa saya menganggu?" tanya Lita.
"Tidak, Dokter Lita. Ada apa?" tanya Rival menatap serius ke arah Lita.
"Tadi saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Apa yang terjadi dengan asisten utama kalian?" tanya Lita.
"Dokter Marisa mengalami kecelakaan saat perjalanan kemari. Luktanya cukup parah, membuatnya tidak bisa bekerja untuk waktu yang cukup lama," ucap pria yang berada di hadapan Rival.
"Kebetulan aku masih baru menempati posisi ketua tim operasi. Aku belum bisa melakukan operasi sendiri tanpa bantuan asisten utama," keluh Rival.
"Operasi apa yang akan kalian lakukan nanti sore?" tanya Lita.
"Operasi Tranplantasi Jantung," ujar pria di hadapan Rival.
"Baiklah, saya akan bantu kalian. Saya akan menjadi asisten utama kalian selama asisten utama kalian sakit," ujar Lita.
"Tapi Dokter, apa Dokter Dhika tidak apa-apa?" tanya Dokter pria itu kaget mendengar ucapan Lita.
"Saya akan berbicara dengannya. Saya yakin Dokter Dhika sudah sangat handal dan tidak akan masalah kalau tanpa ada asisten utama di timnya," ujar Lita dengan santai.
"Kamu serius?" tanya Rival berbinar membuat Lita mengangguk pasti.
"Dokter Lita menyelamatkan kita, Dokter Rival." ujar pria itu membuat Rival mengangguk.
"Terima kasih," ucap Rival membuat Lita tersenyum.
"Jam berapa kira-kira operasinya berlangsung?" tanya Lita.
"Pukul 4 sore kita akan melakukan operasi," ujar Rival.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi." Lita berpamitan dan beranjak keluar ruangan.
Setelah pembicaraannya dengan Dokter Rival, Thalita kembali berjalan dengan anggun dan angkuh menuju ruangannya, tiba-tiba saja seseorang menabraknya dari belakang, membuat Thalita dan orang itu terhuyung tetapi tak sampai jatuh.
“Maafkan saya, Dokter.” ucap seseorang itu meminta maaf karena merasa bersalah. “Saya sangat terburu-buru sampai tak melihat anda, maaf-“
Ucapan seseorang berjas Dokter itu terhenti saat melihat wajah cantik Thalita. Bahkan Dokter berambut pirang itu melotot sempurna saat melihat sosok Thalita.
"Li-Lita?" ucapnya tertahan dengan ekspresi yang sangat syok, seperti baru saja melihat hantu.
Kedua matanya melotot sempurna, bahkan tangannya terangkat menutup mulutnya sendiri. Ekspresi Thalitapun tak kalah syoknya.
Keduanya saling berpandangan tanpa berkata apapun, hingga akhirnya Lita memalingkan pandangannya.
"Ka- kamu be-neran Lita? Tha-Thalita Putri Casandra?"
"Iya, Clarisa Abshari Pratista," jawab Thalita dengan nada dingin.
"Ja-jadi kamu masih hidup?" ucapnya masih tidak mempercayai penglihatannya.
"Kenapa? kamu mengharapkanku sudah meninggal?" tanya Thalita dengan angkuh.
"Nggak, bukan begitu. Aku-" ucap Clarisa tertahan, rasanya sangat sulit mengeluarkan suartanya sendiri, air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.
"Sudahlah," ucap Thalita malas.
"Saya permisi dulu Dokter Clarisa."
Thalita melirik ke arah jas Dokter yang Clarisa Pakai, nama Clarisa terpangpang jelas di sana dengan profesinya sebagai Dokter kandungan.
Lita kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Clarissa yang masih mematung di tempatnya. Lita memasuki ruangannya dan mengunci pintu ruangan dari dalam.
Ia mampu bersikap angkuh di hadapan orang-orang di masalalunya, tetapi kenyataannya rasa sakit itu masih ada dan terus menggerogoti hatinya.
'Kenapa harus bertemu dengannya? Kenapa luka itu masih saja menyayat hatiku? Melihatnya kembali, membuat luka yang aku kubur dalam-dalam kini kembali mencuat,' batin Lita, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
Flashback On
"Inget yah guys, apapun yang terjadi persahabatan kita akan tetap abadi sampai kita tua,' ujar gadis yang berkulit coklat.
"Iya, gue setuju. Persahabatan kita tidak akan pernah berubah, akan tetap terjaga seperti ini," ujar gadis lain dengan rambut hitam pekatnya.
"Dan inget yah guys dengan prinsip kita, kalau persahabatan kita adalah number one. Dan gak akan pernah terpisahkan oleh apapun sekalipun itu seorang lelaki. Pokoknya cinta dan Sayang itu adalah sahabat...." ujar gadis berparas cantik keturunan Turki.
"Persahabatan kita akan tetap utuh sampai kapanpun juga, dan tidak akan terpisahkan oleh apapun. Jarakpun tidak akan merubah segaltanya," ujar Thalita saat masih duduk di bangku Junior High School.
"Kita selamtanyaaaa !!!"
Teriak ke empat gadis berSeragam putih biru itu sambil bertos ria. Di pergelangan tangan kanan mereka tersampir gelang yang sama.
Flashback Off
Lita sudah duduk di kursi kebesarannya, tatapannya kosong menatap keluar jendela. Ingatan 10 tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya seperti potongan film. Kejadian yang membuatnya harus pergi sejauh mungkin.
