Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Whole.

Kehidupan ini bagaikan sebuah paper, Setiap lembar itu punya satu nyawa kehidupan.

Dan hati bagaikan satu lembar paper, Jika hancur selama tidak akan utuh bentuknya.

Hari ini, aku memutuskan untuk tidak pergi kemanapun.

Duduk di bangku seperti berbentuk cangkang telur dengan sisi yang terkelupas, menyandarkan tubuhku di sana sampai sedikitpun tidak tersentuh oleh sinar matahari, ini adalah tempat terbaik untukku merenungkan diri dari lelahnya menghadapi dunia.

Semenjak kecelakaan itu, aku tidak lagi memiliki tujuan hidup, semuanya gelap dan benar-benar hidup seperti ruangan tanpa cahaya, sangat dingin dan begitu sunyi. Aku masih mengingat jelas betapa hancurnya diriku tidak bisa hadir ke dalam peristirahatan terakhir kedua orangtuaku dan bahkan orang aku cintai.

Aku terlalu hancur sampai menyesali segalanya, aku membuat segalanya menjadi kacau hanya tidak bisa menerima kenyataan jika aku buta, aku merusak apapun yang berada didekatku dan terus memarahi segalanya, menjadi seperti orang yang kehilangan arah kehidupan.

Dan hal bodoh yang terus aku lakukan hingga saat ini adalah menangis, terus menyesali apa yang sudah berlalu, aku begitu sulit melepasnya walau sudah hampir 4 tahun terlalu, jika aku terus terpuruk dalam kesedihan tanpa akhir, aku yakin mereka-pun tidak bisa pergi dan selalu tertahan di sana.

"aku harus bagaimana Ibu? Ayah? Daniel?" tanyaku, aku memeluk lututku dalam suasana sunyi ini, aku bahkan melewatkan sarapan dan sekarang sudah waktunya makan siang.

"Bibi Kate, selalu mengatakan jika aku berani untuk mencoba melakukan operasi kornea mata, mungkin aku sudah bisa melihat sejak tiga tahun yang lalu tapi—aku begitu takut dan bahkan tidak ingin melihat apapun, entah itu makam kalian dan Daniel, walau terkadang aku juga ingin melihat lagi" ucapku.

ini kebiasaanku  berbicara sendiri selama tiga tahun terakhir sejak satu tahun mencoba menerima jika kecelakaan itu benar-benar merenggut mereka, mengambil mereka tanpa aku kira akan terjadi.

"aku masih tidak mengerti? Rencana apa yang sedang kalian buat untukku?" tanyaku, sungguh aku semakin terpuruk tanpa tahu akan berakhir kapan.

Ya, itu benar, aku tidak bisa menebak takdir apa yang akan terjadi kemudian hari, mungkinkah selamanya akan tetap seperti ini atau sebaliknya aku akan diberikan sebuah permasalahan yang lebih berat dari saat ini?

‘mungkinkah aku bisa jatuh cinta lagi? Memulai mengambil pulpen dan paper baru, untuk melanjutkan bab kisahku yang sempat hilang dan kosong,’

"aku mencarimu, ternyata kamu berada disini," ucap Bibi Kate, dia berjalan mendekati Giselle yang duduk di depan balkon kamarnya, dia pikir gadis itu akan pergi ke seberang taman atau ke sungai dekat taman.

Aku menurunkan kakiku dari tempat nyaman itu, aku tidak bisa

membuat Bibi Kate ini terus merawatku dan terus mencariku seperti anak kecil tapi aku juga begitu membutuhkan dirinya, karena selama ini dirinya-lah yang menjadi genggaman terakhirku, tempat dimana hanya aku dan Bibi Kate berada, tidak ada lagi.

"Bibi Kate, bolehkan aku meminta suatu?" tanyaku, Aku berjalan mendekatinya tanpa menggunakan tongkat, karena aku sudah sangat hal hafal dengan letak sudut di setiap kamar ini melalui gambaran dalam imajinasi.

Bibi Kate segera menarik pergelangan tanganku, menuntunku untuk duduk di ranjang milikku dengan perlahan sambil menyusul untuk ikut duduk disana.

"kamu ingin bertanya apa? katakan saja Giselle, Bibi Kate akan selalu menjawabnya," ucap wanita yang kini sudah memasuki usia paruh baya.

"Bibi Kate, aku ingin mengunjungi makam ayah dan ibu, kalau bisa aku juga ingin berkunjung ke makam Daniel, besok adalah hari seharusnya aku menikah dengannya—," ucapku, aku sedikit bersedih berkata seperti itu, padahal kita sudah menetapkan tanggal dan segalanya, tapi sekali lagi kita tidak pernah tahu takdir berkata lain.

"baiklah, bagaimana jika kita makan siang bersama? Giselle ingin makan di restoran atau kita cari makanan diluar?" ucap Bibi Kate, dia mengelus kepalaku penuh kasih dan sayang, dia tidak pernah sekalipun mengeluh tentangku atau segala yang dia hadapi, dia benar-benar tulus merawatku dan sabar menerima sikapku.

‘Giselle, jika aku mampu berkata, mungkinkah kamu masih bisa menerimanya? Aku ingin kamu kembali tersenyum dahulu’ ucap Bibi Kate penuh kesedihan dalam tatapannya pada Giselle, dirinya masih belum bisa mengatakan apapun yang terjadi tiga tahun yang lalu.

"ayo, sudah lama rasanya aku tidak bepergian dengan Bibi Kate," ucapku, walau nanti saat makan di restoran pada akhirnya Bibi Kate harus menyuapiku tapi sekarang aku ingin mencoba lebih berani, aku yakin juga diluaran sana banyak yang lebih kekurangan dari diriku dan mereka bisa hidup bahagia walau terkadang merasa dikucilkan orang sekitar.

Aku mengambil tongkat dan juga kacamata hitam milikku, lalu

mengikuti langkah bibi keluar dari kamarku.

"Bibi Kate, janjikan kamu akan menemaniku besok? Sebelum itu aku juga ingin membeli bunga boleh?" tanyaku, aku bergandengan tangan dengan bibi Kate saat meninggalkan pagar rumah.

Ya, kami biasa berjalan jika ingin membeli suatu atau makan diluar, karena dirumah ini tidak ada supir atau pembantu lainnya.

"Ya Giselle, Bibi akan menemanimu besok, kemanapun." ucap Bibi Kate, dia dengan senang hati menuntun jalan Giselle, mengabaikan orang yang menatap ke arahnya.

"Terimakasih, bibi Kate" ucap Giselle, aku sedikit menunjukan senyum padanya.

Bibi Kate menuntunku disetiap perjalanan, karena kami tinggal di daerah pinggiran kota paris tidaklah sulit mencari restoran disana, apalagi begitu banyak sekali makan tersebar di sepanjang jalan.

"Bibi, kita akan pergi ke restoran Italia?" tanyaku, aku tahu jika orang di sekitar memperhatikan aku dan juga Bibi Kate, sebisa mungkin aku tidak menghiraukan setiap kalimat keluar dari mereka, entah itu sebuah kalimat menyakitkan hatiku dan kalimat kasihan melihat kondisiku.

"Nona Giselle ingin makan di restoran Italia?”

Aku mengangguk, sudah lama rasanya diriku tidak menikmati

makanan yang biasa dimakan bersama keluargaku atau Daniel, kali ini aku ingin menikmati hidupnya. 

"tapi jika Bibi tidak ingin, Giselle tidak akan memaksa,”

"ayo kita pergi kesana,"

Aku tersenyum, Bibi Kate benar-benar sosok pengganti untuk kedua orang tuaku, dia sudah seperti nenek bahkan seperti sahabat bagiku, aku merasa jika aku terlalu menyalahkan segalanya dan terus merepotkan dirinya.

"Bibi Kate, terimakasih" ucapku, aku mengelus telapak tangan Bibi Kate dengan penuh perhatian, semenjak aku buta, aku mulai melupakan wajah orang-orang yang dekat denganku.

"Nona Giselle, tidak perlu mengatakan itu,"

"Bibi, bisakah kamu berhenti memanggilku Nona? Aku bukan majikan bibikan?"

"bibi akan mencobanya,"

Hari ini walau aku sekali lagi melewati hari seperti biasanya tapi selagi masih bisa bernafas aku ingin melangkah sedikit demi sedikit sambil memutuskan untuk mengambil lembaran paper dan tinta hitam.

Walau hanya baru berniat kembali memulai kisah baru dan menyimpan masa lalu yang begitu memberikan luka dalam, aku tetap ingin berdiri disini sampai waktunya tiba dan yakin bisa kembali menuliskan sebuah kisah yang lebih baik dari sebelumnya dan tentu saja indah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel