Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

How Could?

Aku ingin mengambil lembaran paper baru,

untuk menulis kisah dimana kamu hanya sebuah kenang.

Aku ingin membuat pesawat kertas, agar aku bisa melepaskan dirimu ketika aku menerbangkan pesawat itu.

Semua orang berkata, lebih baik menderita saat sedang berjuang untuk mendapatkan manisnya sebuah keberhasilan, daripada mendapat itu lalu menderita.

Semua juga tahu, seberat apapun masalah akan terasa ringan jika kita mau menerimanya dalam uluran tangan terbuka. 

Bagaimana dengan kebahagian?

Kadang hal sederhana bisa membuat kita merasa bahagia, karena kebahagiaan adalah hal mutlak, tidak bisa diukur apalagi dibeli.

Cinta?

Ada banyak sekali pendapat untuk mengartikan kata cinta itu sendiri, ibarat kata cinta adalah hal yang selalu kita rasakan dan tak perlu untuk disampaikan secara nyata, karena hanya melakukan sesuatu hal bisa dianggap rasa cinta.

Aku kembali membuka mata dengan nafas tak teratur, setiap malam bagaikan dunia kedua untukku, aku tidak pernah mengerti bagaimana aku bisa terus memimpi tentang kejadian itu secara berulang kali, seperti sebuah pil yang wajib untuk aku minum.

Bahkan itu terasa begitu nyata seakan aku memang baru saja mengalaminya, sambil meraba ke sisi ranjang aku mencari tongkat untuk menuntunku keluar dari kamar.

Aku belum menguasai huruf untuk orang buta, itulah kenapa setiap aku membuka mata, saat itu juga aku akan langsung menemui Bibi Kate, menanyakan pukul berapa sekarang atau hari apa dan tentu saja tanggal, seperti sebuah rutinitas yang tidak bisa aku lepaskan.

“Bibi Kate, apa Bibi sudah bangun?” panggilku, sambil mengetukkan tongkat dengan lantai, aku menelusuri lorong ruangan menuju ruang utama atau bilang ruang tamu.

Aku melewati ruang tamu, kemudian berjalan ke ruang makan, aku tidak mendengar suara apapun apalagi menghirup aroma masakan di dapur.

‘kemana Bibi? Apakah dia belum bangun?’

Aku mulai meninggalkan dapur setelah memastikan jika Bibi Kate tidak ada disana, aku tahu dimana kamar Bibi tapi aku tidak sanggup untuk melangkah kesana, seperti lumpuh kakiku tak mampu menaiki anak tangga untuk menuju ke lantai dua.

Aku berhenti di ruang tamu ketika suara bell rumah mengalihkan perhatianku, sudah sangat lama rasanya aku tidak mendengar suara bell itu berdering dirumah ini dan bahkan rasanya hanya satu orang yang sering melakukan itu, siapa lagi jika bukan Daniel.

Dengan sedikit ragu aku membuka pintu, ketika suara bell itu berhenti berdering untuk beberapa detik yang lalu.

“siapa? Anda butuh sesuatu?” ucapku, aku menyembunyikan tongkat ke belakang tubuhku, walau mungkin bersikap seperti manusia normal tapi siapapun pasti bisa mengetahui jika dirinya buta.

Pria dihadapan Giselle. terdiam, benarkah selama ini dirinyalah yang menemani sang Ibu? Itulah alasan kenapa Ibunya tidak mau pulang? Seperti gadis ini pernah dia lihat, tapi luka karena rasa sudah sangat lama.

‘siapa dia?’ pertanyaan itu terlintas saat mata Jeno menatap ke arah gadis di hadapannya, setelah menyelesaikan kuliahnya dan mengurus Champ JK, dan tentu saja memiliki beberapa restoran terkenal di kota Paris ini, Jeno Kharafy memutuskan pergi kesana untuk menjemput sang Ibu, Ah! Bukan memaksa wanita itu untuk berhenti bekerja.

Itu memang niat awal Jeno, tapi sekarang dia mengerti dan paham kenapa sang Ibu ingin terus berada disini padahal putranya sudah memiliki begitu banyak uang untuk membiayai kehidupan masa tuanya.

“Ibu,” Ucap Jeno, bodohnya dia memang itu, seharusnya dia menyebutkan nama Ibunya.

Alis Giselle terangkat dan aku sedikit bingung, Ibu siapa yang dia cari?

“Ibu? Maaf mungkin anda sal—,” Aku segera ingin kembali menutupi pintu, aku hanya takut jika pria itu hanya jail untuk mengerjakan dirinya atau Bibi Kate.

“Tidak! Maksudku aku mencari Kate Kharafy, itu nama Ibu-ku,” ucapnya, Jeno berusaha sedikit menahan pintu saat gadis dihadapannya ingin menutupinya.

Aku bingung, benar-benar tidak tahu benarkah hal yang diucapkan pria itu benar, atau mungkin saja dia satu dari sekian orang yang penasaran dengan dirinya, karena dahulu pernah ada yang melakukan hal sama, mereka hanya ingin tahu kehidupan ‘si gadis buta’.

Dan karena dulu saat berita tentang orang tua Giselle dan kekasihnya meninggal, banyak sekali wartawan dan beberapa media mendatanginya untuk mewawancarai dirinya, dan bahkan mereka datang hanya ingin tahu benarkah putri dari pengusaha Grande, yang buta dan kenapa hanya dirinya yang selamat dalam peristiwa kecelakan itu.

“Maaf? Apakah Ibuku ada?” tanya Jeno lagi, membangunkan gadis di hadapannya untuk sadar dari lamunannya.

Aku menjatuhkan tongkat saat mengingat semua itu, dengan cepat aku kembali mengambilnya, walau harus meraba lantai.

“a-aku akan memanggilnya,” Aku membukakan pintu untuk pria itu, aku melangkah memakai tongkat menuju ke anak tangga yang tidak jauh dari ruang tamu, walau rasanya sangat berat aku melangkah kesana.

Jeno yang melihat itu terdiam, dia tidak mengenal apapun tentang gadis itu, dia hanya tahu jika Ibunya bekerja di grup Grande dan Jeno sudah lama sekali tinggal bersama keluarga Kharafy.

‘kenapa Ibu ingin sekali merawatnya? Bahkan setiap kali aku mengajak Ibu untuk pulang dirinya selalu menolak, apa karena gadis ini hanya tinggal sendiri,’ batin Jeno bertanya.

Pria itu menarik koper kedalam, dia menatap rumah besar itu yang tidak jauh dengan apartemen mewah miliknya, walau dilihat gayanya sedikit tua dan klasik, dan alasan lain Jeno kesini adalah untuk menemui temannya dan merencanakan kerjasama yang sudah lama Jeno rencanakan, dia ingin memperluas cabang restorannya.

Langkahku terhenti saat tongkatku menyentuh permukaan lantai yang menanjak, itu berarti diriku sudah berdiri didepan anak tangga. Tiba-tiba udara terasa begitu menyempit, jantungku berpacu lebih tinggi sampai aku merasa tanganku ikut bergetar.

“Dimana Ibu?” Jeno juga ikut berhenti melangkah, dia ingin segera bertemu dengan Ibunya tapi dia tidak mengerti kenapa gadis itu berhenti didepan tangga, sampai dia menoleh untuk mencari tahu alasannya 

Aku memejamkan mataku dan ketika mulai melangkah menaiki satu tangga. Suara Bibi Kate melumpuhkan hatiku, aku langsung merasa lega, aku tidak perlu naik ke atas, rasanya seperti aku hampir menyebrang jalan tanpa bantuan apapun.

“Kau!”

Bibi Kate yang baru saja kembali dari supermarket, langsung berjalan mendekat Jeno dan Giselle, dia meletakkan barang bawaannya di meja ruang tamu dan berjalan mendekati putranya, lalu memukul bahunya dengan keras.

“Akh! Ibu—sakit!” teriak Jeno merengek kesakitan, baru saja bertemu dia sudah mendapatkan pukulan bukan sebuah pelukan hangat, Ibunya tidak pernah berubah selalu keras pada putranya walau sekarang sudah beranjak dewasa.

Aku membalik tubuhku dan melangkah mendekati kedua orang itu. “Bibi Kate, Kamu pergi kemana? Kenapa tidak mengatakan padaku?”

Bibi Kate meninggalkan putranya begitu saja, dia berjalan menghampiri Giselle dan mengajak gadis itu untuk duduk di sofa. “Bibi pergi membeli persediaan makanan, tadi Bibi ingin membangunkanmu tapi tidurmu terlalu lelap, jadi tidak tega untuk membangunkan Nona Giselle.”

Aku mengangguk mengerti, aku yang seharusnya membantu Bibi Kate membelikan semua bahan makanan tapi rasanya akan sulit jika aku pergi sendiri, selalu saja diriku yang menjadi beban hidupnya.

“Ibu, aku ini putramu!” Ucap Jeno yang tidak terima, dia mengklaim jika seharusnya dirinya-lah yang mendapatkan perhatian itu bukan orang lain.

“aku tidak menyuruhmu untuk datang disini!” 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel