Pustaka
Bahasa Indonesia

Stay With Him

96.0K · Tamat
Liora
87
Bab
933
View
9.0
Rating

Ringkasan

kehidupan ini bagaikan sebuah paper, setiap lembar itu memiliki satu nyawa kehidupan. dan hati bagaikan satu lembar paper, jika hancur selama tidak akan utuh. Ini kisahku.. Pertemuan denganmu adalah anugerah terindah yang selalu menjadi satu rasa terimakasih yang selalu aku ucapkan pada sang pencipta dalam setiap doaku, siapa sangka jika gadis buta sepertiku bisa beruntung memiliki sebagai satu cahaya hidup dan penentu arah jalanku selama ini. Kisah dimana bisa menguras air mata sekaligus mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan yang hanya bisa melihat kegelapan di balik kacamata hitam. Bagiku benda itu satu dari sekian banyak barang wajib yang selalu aku bawa dalam segala kegiatan hidupku. Gadis biasa yang memiliki kekurangan dalam hal penglihatan, dari sejak 3 tahun yang lalu, dirinya tidak pernah melihat indahnya dunia dan hanya bisa meraba dengan tangannya.

RomansaPresdirRevengeCinta Pada Pandangan PertamaKeluargaTuan MudaSalah Paham

Paper Life

Paper, hampir di seluruh dunia tahu apa itu.

Ini kisah kehidupan gadis buta karena kecelakaan yang merenggut penglihatan 3 tahun yang lalu, segalanya menjadi berubah lebih gelap dan tidak terlihat, dunia penuh berwarna-pun tidak pada dilihat oleh dirinya.

Paper, hal dianggap barang yang mudah didapatkan dimanapun.

Walau kedengarannya sederhana, hanya sebuah selembar kertas dan benda yang digunakan untuk mencetak sesuatu.

Tapi—Paper, terbuat dari pohon lalu diolah menggunakan mesin dan berubah menjadi lembar kertas putih tanpa noda.

Kita lahir bagaikan selembar paper, setiap hari lembaran itu bertambah menjadi berlapis dan terpoleskan tinta hitam dalam setiap kisah hidup, sampai berubah menjadi sebuah bab buku dan terus terjadi selama kehidupan itu berlalu.

Sama seperti hati, ibarat kata hati adalah paper, sebelum mengenal cinta lembaran itu begitu sempurna tanpa dilukai apapun tapi jika lembaran itu terlipat atau rusak akankah bisa kembali seperti awal, katalah seperti dalam kehidupan hati, jika tak mampu untuk saling bersama.

Pilihan terakhir adalah mengambil paper baru. bukankah itu jalan terbaik?

Seperti mengambil lembaran baru untuk kisah baru.

Tapi, bisakah mengubah segalanya seperti mengambil paper baru.

Tiga tahun yang lalu aku masih sibuk menatap layar monitor komputerku dalam keseharian yang aku laku, hampir setiap hari melakukan segala hal yang manusia lakukan, pergi ke kantor lalu berkumpul dengan keluarga yang sangat aku cinta.

Tiga tahun yang lalu ketika mata ini masih bisa menatap senyum manis yang terpancarkan dari wajah ibu dan ayahku, setiap kali menyambutku pulang, sebelum segalanya merenggut kebahagiaan.

Aku kehilangan mereka bersama dengan penglihatanku, tidak ada yang bisa aku percaya hingga saat ini.

Ayah dan ibu, mereka pergi meninggalkanku sendirian di dunia ini tanpa bisa melakukan apapun, aku kehilangan segala hal yang selalu ingin aku pertahankan, bahkan orang yang aku cintai ikut bersama mereka.

Setiap malam, selalu berharap itu adalah sebuah mimpi, ketika keesokan harinya aku bisa terbangun dan menganggap itu hanyalah mimpi!

Aku tidak ingin mengerti apapun, kehidupan ini begitu gelap untukku yang tidak bisa berharap untuk hidup.

Aku selalu ingin membuat harapan, jika aku dapat mencium dirimu sebelum pergi, cintaku. Dia pergi membawa segala yang ada dalam hidupku, terutama hatiku yang teramat mencintainya.

Jika semua itu tidak terjadi, mungkin sekarang kita sudah memiliki satu anak dan hidup bersama?

Atau setidaknya aku masih mampu melihat indahnya senyuman manis dari kamu.

Jiwaku pergi dan kehidupanku hancur.

Tapi, itu hanya pil pahit yang setiap hari aku minum, tidak ada yang bisa aku rasakan selain kepahitan obat dan kehidupan, aku juga ingin ikut bersama kalian. Tapi seorang yang selalu mencegahnya, aku bahkan terkurung dalam kastil seperti orang gila.

Tak ada yang peduli dan tidak ada yang ingin membantu.

Orang lain selalu berkata, setiap penderitaan akan selalu memiliki kehidupan yang baik di kemudian hari, setiap air mata akan dibalas dengan seribu kebahagiaan, dan setiap harapan selalu memiliki jalan menujunya.

Inilah kisahku, mungkinkah dengan mengambil paper baru ada sebuah lembaran yang mampu mengubah hidupku menjadi lebih baik dan indah seperti sebelumnya.

Atau ketakutan dalam diriku malah membuka lembaran yang sempat hilang itu?

Aku ingin tahu, bagaimana jika setiap langkah itu malah membuatku tak mengerti apapun, tapi kepergian mereka itu merupakan hal menyakitkan untukku, aku ingin melepas mereka.

Aku tahu, sampai kapanpun air mata ini tidak akan mengembalikan kehidupanku. Aku tahu jika apapun yang terjadi itu merupakan garis takdir dan aku tahu jika segalanya memiliki penderitaan.

Aku tinggal, di rumah milik kedua orang tuaku dan keseharian biaya hidupku ditanggung oleh asuransi kedua orangtuaku dan hanya satu pelayan yang setia padaku bersedia merawatku walau terkadang gajinya tidak sama seperti dahulu kita orang tuaku masih hidup.

Di pagi yang indah ini, di awal musim semi yang dimulai dengan dedaunan yang berguguran dijalan dan ditambah dengan angin dan suhu udara sejuk, musim dimana sebagai orang akan memilih pergi melihat bunga menggugurkan daunnya dengan indahnya dengan bantuan angin, menghabiskan waktu libur bersama keluarga sampai waktu libur berakhir.

Sekali lagi seindah apapun setiap pergantian musim tidak pernah sekalipun bisa Giselle rasakan, gadis berusia 26 tahun dengan nama lengkap Giselle Grande. itu hanya bisa duduk ditaman, hanya bisa memanfaatkan indra penciuman dan perabaan untuk merasakan jika di sekelilingnya bunga sedang menggugurkan daunnya.

"aku suka musim semi," ucapnya, dia merentangkan tangannya ke udara berharap dedaunan akan jauh ke telapak tangannya, dan membuat Giselle tidak bersedih lagi, padahal dari pendengaran yang Giselle dengar jika orang di sekelilingnya sedang berlompatan dan tertawa riang menyambut musim semi tahun ini.

Taman? Taman yang diberi nama ‘garden hope’ taman itu sangat terkenal dengan mitos dikalangan para remaja, karena dahulu kala taman ini menjadi saksi dari sebuah kisah pertemuan antara pangeran dengan seorang gadis biasa pada zaman kerajaan terdahulu, setiap kali mereka ingin bertemu teman inilah salah satu tempat pilihan terbaik mereka.

hingga kisah itu dipercayai oleh mereka jika setiap musim semi datang akan ada sebuah kejadian keajaiban dimana dua orang akan bertemu dan pada akhirnya ditakdirkan bersama.

Tapi sekali lagi itu hanya mitos, tidak ada yang tahu kisah akhir pangeran dan gadis biasa itu setelahnya, bisa saja kisah mereka harus terpisah karena perbedaan derajat atau mungkin cinta mereka tidak disetujui oleh orangtua pangeran, atau gadis biasa itu yang lebih memilih untuk meninggalkan pangeran karena takut jika mereka tidak akan bersama.

Giselle adalah gadis introvert, kesendirian adalah dirinya, lagipula tidak akan ada yang mau bertemu dengannya apalagi mengajaknya berbicara walau hanya beberapa kalimat, bahkan selama Giselle hidup hanya beberapa mengobrol dari sekian orang mengajaknya berbicara karena rasa kasihan bukan ingin berkenalan.

Setelah puas duduk dibangku taman, Giselle menenguk-nenguk tongkatnya dengan jalanan untuk mencari tempat lainnya, lagipula hari masih terlalu pagi jika dia kembali pulang.

"aku lapar" ucap Giselle, dia meninggalkan rumah tanpa menyempatkan diri untuk mengisi perutnya karena sebenarnya Giselle tidak ingin mengganggu tidur bibi Kate.

Sudah cukup selama tiga tahun ini, dirinya dirawat tanpa memikirkan kondisi bibi Kate yang sudah menginjak usia wanita paruh baya, seharusnya dia sudah bisa menikmati masa tuanya bukan mengurus gadis buta seperti dirinya.

Aku ingin kembali melihat!

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika banyak sekali suara pria yang mengerubungi disekitar dirinya, bahkan salah satu dari mereka dengan sengaja mengambil tongkat dan kacamataku.

"kalian siapa? Tolong berikan tongkat milikku," ucapku, aku berjalan tak tentu arah mencari siapa yang mengambil tongkat memilikiku, jika kedua benda itu diambil aku tidak bisa berbuat apapun, aku akan kehilangan arah dan mungkin aku juga akan lupa arah pulang kerumah.

Salah satu pria menarik tubuh Giselle, memaksa gadis itu untuk masuk kedalam pelukannya.

"Tidak lepaskan aku!" ucap Giselle, aku mendorong tubuh pria itu dan sesekali memukul tubuh pria itu yang tidak sopan memeluk diriku.

"kau cantik tapi sangat disayangkan! kamu tidak bisa melihat!!"

Dengan kasar pria yang berkata itu mendorong tubuh Giselle hingga dirinya terjatuh ke tanah, sikunya terluka karena gesekan siku dengan tanah yang sedikit kasar.

Aku ingin menangis jika dirinya terus diperlakukan seperti ini, tapi jika aku menangis itu sama saja dengan diriku yang setuju dengan perkataan mereka.

"ayo kita pergi!"

Segerombolan remaja itu meninggalkan Giselle setelah menghancurkan tongkat dan juga kacamata hitam miliknya, dan tentu saja membuat Giselle bersedih.

kenapa mereka sangat suka menindas orang lemah seperti diriku?

padahal aku tidak pernah berbuat salah apalagi menyakiti mereka tapi apa?

Bahkan untuk berkata kasar-pun tidak pernah keluar dari mulutku, ketika orang lain terus menindihku tanpa alasan.

Dengan susah payah, tanganku terus meraba tanah mencari alat penentu jalan yang sudah tidak utuh lagi akibat perbuatan segerombolan pria itu.

"kamu baik-baik saja?" tanya seseorang, dia membantuku untuk berdiri dan menyuruh diriku untuk duduk dibangku taman.

Dari indera pendengaran dan ketika tanganku bersentuhan dengan tangan seseorang itu, aku bisa tahu jika yang menolongku seorang wanita yang baik hati, dia bahkan membersihkan lukaku tanpa aku memintanya, dari cara dirinya memperlakukanku membuat aku yakin dia adalah wanita yang baik dan tidak merasa kasihan padaku, sikapnya tulus itu hanya ingin menolongku dan mungkin bisa menjadi temanku.

"terima kasih," ucapku, aku meraba gadis di hadapanku untuk menggenggam tangannya untuk berjabat tangan.

"haruskah aku melaporkan mereka? Tongkat dan kacamatamu rusak karena mereka dan kenapa kamu berkeliaran di luar tanpa ada seorang menjagamu?” tanya gadis itu.

"tidak perlu, aku baik-baik saja, aku sudah terbiasa pergi sendiri, sekali lagi terima kasih untuk bantuanmu, aku yakin kamu pasti sangat cantik," ucapku, dia tersenyum pada gadis dihadapannya.

"siapa namamu? Apakah kamu sudah menikah?"

Aku sedikit bingung, tidak biasanya seseorang bertanya pada diriku seperti itu, apalagi pertanyaan itu terlalu privasi untuk di ucapkan langsung.

menikah?

Apakah gadis buta seperti diriku bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar mencintainya apa adanya tanpa memikirkan fisiknya. Apalagi aku pernah kehilangan orang yang sangat aku cintai, ini bahkan sudah hampir 4 tahun aku kehilangannya.

"aku Giselle Grande dan aku—belum—menikah, aku tinggal di depan taman ini,"

"Namaku Jasmin Ishan, senang bertemu denganmu Giselle, asal kamu tahu saja dirimu juga sangat cantik,"

"kamu sudah menikah?" tanyaku, saat menggenggam tangan Giselle tidak sengaja aku meraba cincin yang terletak di jari manisnya, bisa jadi itu cincin pernikahan atau mungkin gadis itu senang memakai cincin di jari manisnya.

"Ah? Ya—Aku sudah menikah, baru berjalan tiga bulan, kau sangat hebat Giselle walau kamu tidak melihat tapi kamu tahu,"

"aku hanya menebaknya saja dari cincin yang kamu kenakan, kamu pasti sangat bahagia," ucapku, nada dalam setiap perkataan terdengar sedih namun hanya aku yang merasakannya.

‘aku teringat dengan cincin pemberianmu, cinta pertunangan kita,’ masih teringat jelas aku menyimpannya di dalam laci ku ucap dalam batin hatiku.

"Ya, aku sangat bahagia menikah dengannya, bagaimana jika aku mengantarmu pulang Giselle?" ucap Jasmin, entah kenapa rasa akrab itu tumbuh begitu saja ketika melihat Giselle, padahal mereka belum mengenal lama tapi entah kenapa Jasmin menemukan sesuatu yang berbeda dari Giselle.

"apa aku tidak merepotkanmu? Bagaimana dengan suamimu? Dia pasti sekarang mencarimu,"

"kamu tidak perlu khawatir, aku akan menghubunginya nanti, sekarang katakan apa nama panti asuhan itu" ucap Jasmin Ishan, dia menggandeng tanganku untuk segera meninggalkan taman itu dan menuju tempat dimana mobilnya terparkirkan.

"apakah kita harus naik mobil? Rumahku hanya terletak di seberang jalan taman ini " ucapku, dia menolak untuk masuk kedalam mobil, dirinya tidak pantas untuk duduk disana apalagi pakaiannya sudah kotor karena terjatuh tadi.

"kamu ingin berjalan?"

Aku mengangguk dan menolak naik mobil saat pintu terbuka.

Jasmin melepaskan sabuk pengamannya dan menghampiri Giselle, menggenggam tangan wanita itu untuk segera mengembalikan dirinya ke rumahnya.

"kamu seperti sangat suka bepergian sendiri?"

Daun berguguran ketika langkah mereka semakin jauh meninggalkan taman, seperti layaknya kakak beradik Jasmin megandengan tangan Giselle dengan sabar menuju tempat yang dia katakan.

"Ya, itu benar, walau tidak bisa melihat apapun tapi orang sepertiku juga ingin merasakan indahnya dunia tanpa melihat,"

"aku iri denganmu, aku tidak bisa menikmati indahnya dunia"

"kenapa?”

Jasmin terdiam, dia hanya tersenyum murung ketika pertanyaan itu terucapkan, ada luka yang tidak bisa dijelaskan kenapa dirinya hanya diam. Dia memutuskan untuk meninggalkan tanda tanya pada diriku, mereka baru berkenalan tapi percakapan itu melebihi pertemuan yang hanya berlangsung tidak lama.

Tak lama, langkah Jasmin dan aku berhenti ketika mereka berhenti sebuah bangunan berlantaikan dua itu. Jasmin, dia gadis yang yang hidup dengan kasih sayang orangtua hingga dia tidak pernah merasakan apa itu namanya tinggal dirumah seperti Giselle, kehidupan begitu jauh berbeda dengan kehidupan Giselle.

"Rumah yang cukup nyaman,"

"terimakasih sudah mau mengantarku, dan untuk yang lainya juga" aku mengambil tongkat dan kacamata dari Jasmin, dia membungkukkan tubuhnya lalu melangkah masuk bersama dengan bibi yang sudah menunggu kepulanganku.

"sampai jumpa Giselle."

Sebelum meninggalkan rumah Giselle, Jasmin mengeluarkan ponsel tipisnya dari kantong pakaian olahraganya.

"maaf Mark, aku berada di depan depan taman 'garden hope"

“Ya, aku akan menunggu disini."