Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MERASA TERNODA

“Sungguh saya tidak apa-apa, Tante. Saya sehat dan juga siap untuk bekerja. Mustahil rejeki itu saya tolak,” ucap Sofiya mengandung ketegasan, tetapi ada nada getir di situ.

Tante Puspa menemukannya juga.

Tante Puspa merangkul bahu Sofiya. “Kalau begitu, sudah jelas ada masalah. Ayo katakan saja lah. Siapa tahu aku bisa menolong,” katanya kemudian.

“Terima kasih, Tante. Tapi saya pikir, tidak ada gunanya dikatakan,” tolak Sofiya.

“Lho, kok begitu?” tanya Tante Puspa menatap heran pada gadisnya itu.

“Betul, Tante. Tidak ada orang yang dapat menghapus keterlanjuran, bukan? Semua sudah terjadi,” kata Sofiya tiba-tiba.

Pandangan Tante Puspa mengandung simpati yang mendalam pada Sofiya.

“Oh, aku mengerti, Sof. Tapi tidak ada orang yang bisa memperbaiki dirinya dengan tangis semata,” ujar Tante Puspa.

Mata Lusi membesar dan seperti berkaca-kaca. “Ah, bisakah orang seperti saya ini memperbaki diri? Sepertinya saya ini sudah kecemplung dalam bak berisi cairan hitam, maka saya pun jadi hitam. Biarpun saya mandi berulang kali dan menggosok tubuh, tetap saja tubuh saya hitam. Tidak akan putih kembali,” ujar gadis itu seolah jijik pada dirinya sendiri.

“Itu sih perumpamaan yang keterlaluan, Sof. Hidup ini kan nggak bisa disamakan seperti itu. Pakai kecemplung segala. Tapi kalau mau memakai perumpamaan kamu itu, coba saja pikir. Mana sih ada oang yang putih?” bantah Tante Puspa tidak setuju dengan perkataan Sofiya barusan.

Sofiya menunduk kembali. Tenggelam pada rasa sesal dan bosan mungkin.

Tante Puspa membelai kepala Sofiya.

“Jangan frustrasi dulu, Sof. Tegakkan kepala mu. Aku selalu bersedia membantu mu. Apa kau mau keluar?” Tanya Tante Puspa. Keluar apa? Ya, tentunya keluar dari dunia prostitusi yang selama ini digeluti oleh Sofiya.

Sofiya terkejut. Ia menatap Tante Puspa dengan wajah tak percaya.

“Apakah Tante akan merelakan saya keluar?” tanyanya. Tapi kemudian ia menyesali pertanyaan itu. Wajah Tante Puspa menampakkan kejengkelan.

“Tentu saja aku rela. Aku tidak pernah mengikatmu, kan?” sahut Tante Puspa dengan tegas.

“Oh, maafkan saya, Tante. Jangan marah,” rayu Sofiya.

“Masa marah. Toh pertanyaan yang seperti itu bukan baru sekali ini kudengar. Tapi coba katakan. Sungguh seriuskah kau berniat keluar?” tanya Tante Puspa memastikan lagi.

“Saya belum tahu, Tante. Oh, saya tidak tahu!” Sofiya hampir tersedu sewaktu menyerukan kata-kata itu.

“Tapi niat itu pernah terpikir, kan?” Tante Puspa menagih.

Sofiya diam sejenak. Lalu ia berkata lambat-lambat, “Ya, Tante. Tapi saya tahu betul, betapa sulitnya berbuat begitu. Bukan Cuma sulit, tapi saya juga takut!” katanya.

”Takut?”

“Ya, Tante. Rupanya sama halnya dengan orang yang mau berbuat salah harus memerlukan keberanian. Orang yang mau berbuat benar pun begitu pula. Saya takut kalau-kalau suatu ketika nanti saya ketemu dengan orang yang … yang pernah saya layani. Maka akan habislah saya dicemooh. Mereka tak akan peduli bahwa saya sudah beralih profesi, bahwa saya sudah berusaha di jalan yang benar. Mereka tidak akan berhenti mencemooh dan menggoda supaya saya kembali ke profesi semula. Mereka itu setan semua!” ucap Sofiya berapi-api, seakan dia memang sudah mengalami semua itu.

Tante Puspa mendengarkan saja. Toh ia sempat melirik jamnya. Masih cukup waktu. Sofiya tidak memerlukan waktu lama untuk berdandan. Yang penting ia harus menghilangkan keresahan Sofiya lebih dulu. Bila dia berangkat dengan perasaan tenang dan mantap, maka daya tariknya akan bertambah.

“Tahukah, Tante?” Sofiya melanjutkan. ”Ketika belum lama saya berprofesi seperti ini, saya selalu ketakutan bila berada di jalan dan di tempat-tempat umum. Saya takut kalau-kalau ketemu dengan orang yang pernah saya layani, lalu orang itu akan menunjuk saya dan mengatakan siapa saya kepada teman-temannya. Mereka akan tertawa mencemooh dan menghina. Kepingin rasanya saya mengenakan tutup muka, agar tidak dikenali. Saya malu dan takut. Yang memandang saya, lebih-lebih yang menggoda saya, selalu saya anggap sebagai orang-orang yang tahu. Barangkali saya sakit jiwa.”

Tante Puspa menggelengkan kepala. “Aku pikir, itu wajar saja. Malah normal kok. Kau berperasaan halus dan peka, Sof.”

”Tapi saya lebih senang kalau saya tidak halus dan tidak peka saja, Tante. Saya ingin kebal, supaya tidak tersiksa oleh perasaan macam-macam!”

“Ah, kau tersiksa?” tanya Tante Puspa.

Wajah Sofiya memerah. “Sebenarnya tidak patut saya mengatakan begitu, Tante. Di sini saya senang. Tante sangat baik. Teman-teman juga baik. Di sini lingkungan saya. Kalau saya sendirian pasti saya hancur, lahir-batin. Mungkin saya tidak tahu diuntung. Tante begitu baik mau membantu. Maafkan saya, Tante.” Sofiya memeluk Tante Puspa erat-erat.

Beberapa saat kemudian Tante Puspa bertanya, ”Sudah berapa tabunganmu, Sof?”

Sofiya menyebutkan angka tanpa ragu-ragu. Tante Puspa mengulang pelan jumlah itu lalu merenung. “Wah, belum cukup itu, Sof,” katanya kemudian. ”Maksudku, kalau kau mau berwirausaha.”

Sofiya tertawa. “Ah, mau berwirausaha apa saya, Tante? Saya nggak punya keahlian apa-apa.”

“Tirulah si Wanda. Dia mengikuti kursus kecantikan.”

”Saya belum berani ikut kursus ini-itu, Tante, saya takut ketemu orang yang tahu siapa saya.”

“Wanda tidak takut.”

“Mungkin nanti, Tante. Saya masih harus memupuk mental dulu.”

“Karena itulah, sekarang ini kau jangan terlalu menyiksa diri dengan perasaan-perasaan. Orang yang tidak kuat mudah hancur, Sof. Ingatlah itu!”

Kini Tante Puspa yang mengucapkan kata-kata itu dengan berapi-api, hingga Sofiya memandangnya dengan heran sejenak. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa wanita setengah tua di sampingnya ini adalah seseorang yang punya kekuatan. Rupanya faktor umur tidaklah jadi jaminan bagi kuat lemahnya seseorang. Demikian pula keadaan fisik. Dan tiba-tiba juga Sofiya menyadari, bahwa di saat sekarang ini hanya Tante Puspa lah yang dapat memberinya kekuatan. Padahal dia memerlukan kekuatan itu. Dan tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa menerima dan mengerti dirinya. Padahal selama ini ia merasa segan kepada Tante Puspa. Ia menganggap Tante Puspa Cuma sebagai pemerah tenaga mereka dan mengambil keuntungan dari sana. Seperti halnya peternak sapi perah yang berusaha memperoleh susu sebanyak mungkin, sudah tentu ia harus merawat dan memelihara sapi-sapinya sebaik mungkin juga. Kini, pandangan semacam itu buyar. Ada perasaan hangat memenuhi dirinya ketika ia kembali memeluk Tante Puspa.

”Kapan-kapan kita bicarakan lagi soal itu, Sof. Sekarang waktunya sudah mendesak.”

”Mendesak?”

“Ya. Seorang yang mengaku Bapak Tommy ingin kamu sekarang. ”

“Oh.”

“Kau sanggup, Sof?”

“Sanggup saja, Tante. Justru kalau siang-siang itu cepat selesainya.” Sofiya tertawa sinis.

Tante Puspa tertawa juga. Yang begitu lebih baik, pikirnya. Sofiya harus dapat melihat persoalan dari sisi yang lain. Ia pun bangkit.

“Nah, mandilah dulu supaya segar. Bisakah kau bersiap dalam waktu sejam?”

”Bisa, Tante. Kurang dari sejam juga bisa,” sahut Sofiya bersemangat.

Bersambung…..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel