Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

GAUN UNGU

Dia tidak pura-pura kali ini. Sungguh-sungguh bersemangat. Bukan untuk menghadapi laki-laki yang masih misterius itu. Tidak. Laki-laki itu Cuma obyek. Sofiya ingin cepat selesai, cepat dapat uang, lalu pulang. Tabungannya akan bertambah. Sesungguhnya dia tidak hidup untuk hari ini, melainkan untuk hari depan.

”Oh ya, hampir aku lupa. Sebentar kenakan lah gaunmu yang ungu itu, yang bawahnya lebar dan berbunga kecil-kecil. Warna itu adalah tanda pengenal. Sedang laki-laki itu mengenakan safari biru muda dengan sapu tangan merah di sakunya. Orangnya sendiri hitam dengan rambut keriting.” Tante Puspa berpikir-pikir sebentar, lalu tertawa.

“Ya. Cuma itu saja. Katanya, dia tidak bisa menggambarkan dirinya sendiri. Pantasnya jelek. Ah, tabahlah kau menghadapinya, Sof.” Kalimat terakhir itu diucapkan Tante Puspa dengan serius.

Sofiya teringat, setiap kali dia atau teman-temannya akan pergi, selalu kata ”tabah” itu yang diucapkan Tante Puspa. Tapi baru sekarang ia menyadarinya sebagai sesuatu yang punya arti khusus. Tadinya ia berpikir itu Cuma sekadar basa-basi.

Tante Puspa bangkit. “Ayo lah kau bersiap. Sebentar akan ku suruh Mang Karta menyiapkan mobil untuk mengantarkan mu. Pulangnya sendiri, ya? Naik taksi saja,” kata Tante Puspa.

“Ya, Tante,” sahut Sofiya.

Sebelum Tante Puspa membuka pintu, Sofiya berseru, “Tunggu sebentar, Tante! Sungguh Tante mau bicara lagi dengan saya nanti? Oh, saya senang sekali bisa bicara seperti tadi itu.”

Tante Puspa tersenyum keibuan. “Tentu saja aku mau. Kapan-kapan kalau ada waktu senggang, datanglah ke kamarku,” perintahnya pada Sofiya.

”Terima kasih, Tante. Sungguh saya berterima kasih sekali. Maafkan saya untuk perkiraan saya yang keliru. Ternyata Tante berbeda sekali dengan… oh, dengan orang lain yang berprofesi sama. Bukan berarti saya pernah diasuh orang lain. Tapi saya sering mendengar cerita-cerita seram,” kata Sofiya.

Tante Puspa tersenyum saja. ”Lain orang lain hatinya, kan?” sahutnya singkat.

Lalu ia cepat cepat keluar dari kamar Sofiya agar Sofiya tidak bisa melihat matanya yang berkedip-kedip. Ah, sebenarnya dia tidak perlu lagi merasa tersinggung. Sofiya terlalu halus untuk menyebut nama bagi profesinya. Dia memang seorang germo. Dialah sang mucikari!

Ketika sedang berjalan santai menuju coffee shop Hotel Guntur, Pak Tommy melihat seorang gadis melangkah tergesa-gesa dari arah yang lain. Segera jantungnya berdebar lebih keras. Jauh lebih keras dari pada kalau ia melihat gadis-gadis cantik yang lain. Kini, seleranya kepada wanita sudah punya bentuk tersendiri. Hanya kepada yang memenuhi seleranya itu saja ia merasa tertarik. Padahal dulu tidak begitu. Dulu melihat sembarang wanita cantik saja ia sudah mabuk. Mungkin juga perubahan itu disebabkan karena pengalaman atau bisa juga karena kejenuhan. Seperti halnya dengan makan. Terlalu sering makan enak membuat makanan yang semula terasa enak itu jadi membosankan. Apalagi kalau kondisi tubuhnya menyebabkan ia tidak bisa lagi makan banyak-banyak. Dia perlu menemukan sejenis makanan yang bukan saja enak, tapi tidak pernah membosankan. Tentu saja makan dengan seks tidak bisa disamakan secara persis, tapi kira-kira seperti itulah.

Usianya sudah menjelang lima puluh. Berapa persisnya tak mau ia ingat-ingat, karena nanti jadi merasa tua. Tapi berapa pun usianya, dia toh tetap seorang laki-laki yang masih memiliki vitalitas, potensial dan kuat, walaupun ya, tidak sekuat dulu di kala masih muda. Tapi hal itu pun tidak perlu dicemaskan benar. Di pasaran selalu tersedia obat kuat. Atau nama kerennya, Aphrodisiac, berasal dari nama Dewi Aphrodite, dewi asmara Yunani kuno. Dan konon di sini punya pasaran lumayan. Itu menurut info dari para penjual yang merupakan langganannya. Seperti halnya barang-barang jenis lain, obat kuat (khusus lelaki) pun terdiri dari yang impor dan yang lokal. Mana yang dipilih tergantung selera, keampuhan, dan juga isi kantung.

Sekarang pun Pak Tommy mengantungi salah satu jenis obat kuat tersebut. Barang impor. Cukup ditelan satu. Dan saat itu ketika teringat tangannya segera merabai kantung supaya lebih yakin. Siapa tahu kelupaan. Entahlah kenapa dia jadi ketagihan dengan benda itu. Kalau tidak menggunakan dia jadi merasa kurang, dia takut dicemooh pasangannya sebagai lelaki loyo yang tidak tahu diri. Biarpun dia membayar, tapi yang namanya kebanggaan tentu tidak bisa dinilai dengan uang. Jadi, mungkinkah obat itu menimbulkan efek ketagihan? Ah, dia tidak mau peduli akan soal itu sekarang.

Ia sedang terpesona. Langkahnya menyurut lalu la mencari tempat perlindungan agar ia dapat puas mengawasi tanpa terlihat. Ia melihat gadis itu berjalan menuju coffee shop seperti tujuannya juga.

Gadis itu masih muda. Dan kelihatan sangat muda. Wajahnya berkesan polos dan murni, atau bisa disebut innocent. Itulah yang mengesankan kemudaan usia, padahal usianya mungkin lebih dari pada apa yang tampak. Matanya besar tapi pandangannya sayu. Kulitnya kuning langsat. Bibirnya mungil. Hidungnya mancung dengan sepasang alis lebat yang kelihatan asli. Keseluruhannya dia memang mengesankan keaslian. Make-up-nya tipis. Pemerah pipinya Cuma nampak samar, sedang warna lipstick-nya pun tidak menyolok.

Bapak Tommy beralih tempat di belakang gadis itu. Dia jalan mengiringi sambil puas memperhatikan. Tubuh gadis itu tinggi semampai, tapi tidak lebih tinggi dari tubuhnya sendiri. Gaya jalannya menarik, tapi tidak kelihatan dibuat-buat. Semakin memandang, ia semakin mabuk. Bukan saja jantungnya terasa berdenyut lebih keras, tapi sepertinya mau copot! Belum cukup dengan itu, kedua lututnya pun serasa menekuk-nekuk, seakan tak mau dibawa berjalan. Perjalanan menuju coffee shop seperti tak ada akhirnya.

Dalam sekejap Pak Tommy melupakan janjinya dengan Tante Puspa. Bahwa dia datang ke situ untuk memenuhi janji itu. Dan sebuah kamar di situ dengan nomor favoritnya sudah pula ia pesan. Ia terlampau larut dengan pesona yang menguasainya seperti kerja penyakit akut yang menyerang tiba-tiba. Barulah kemudian, ketika gadis itu memasuki coffe shop dan sesaat kemudian lenyap dari pandangannya. Ia tersadar dengan mendadak.

“Dress, warna ungu?! Tidakkah warna itu punya arti khusus untuknya hari ini?” Pak Tommy berdiri diam sebentar bagaikan orang kehilangan akal. Oh, dia tentu belum pikun.

Masih jauh dari itu. Ungu adalah warna pengenal. Dan gadis tadi mengenakan gaun ungu. Itu gadis untuknya! Ya, untuknya!

Otomatis tangannya mencekam dadanya. Ia perlu menenangkan diri dulu. Kegembiraan yang mengejutkan bisa berakibat fatal. Ada orang yang terkena serangan jantung karena terlalu gembira. Dan dia tentu tidak ingin mati di saat seperti itu. Betapa sialnya kalau orang harus mati sebelum ia berhasil menikmati kegembiraan yang tinggal satu jangkauan tangan.

Sabar, sabar. Siapa tahu gadis itu kebetulan saja bergaun ungu. Jangan senang dulu. Siap-siaplah menerima kekecewaan. Jangan terlalu antusias. Siapa tahu gadis itu punya suami atau pacar yang menunggunya di coffee shop. Kalau dia sembarang sangka, bisa-bisa dipentung orang. Tiba-tiba Bapak Tommy merasa dirinya dipeluk orang.

Bersambung…..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel