
Ringkasan
Profesinya sebagai germo acap kali dipandang sebagai pemeras tenaga para gadis-gadis miliknya. Namun tidak dengan Tante Puspa yang menyayangi gadis-gadisnya. Berkedok sebagai ibu kos, Tante Puspa sebenarnya adalah seorang germo yang menaungi enam pekerja seks komersial, salah satunya adalah Sofiya. Gadis cantik ini entah bagaimana menjadi pekerja seks komersial yang sama sekali tidak sesuai dengan perawakan wajahnya yang teduh dan kalem. Namun, akhir-akhir ini Sofiya merasa bahwa dirinya harus keluar dari lumpur maksiat yang selama ini ia jadikan tempat hidup. Siapa sangka, ternyata Tante Puspa justru mendukungnya. Sampai suatu hari, Sofiya bertemu dengan Indra, seorang mahasiswa yang jatuh cinta padanya.
SUARA PRIA
Untuk ke sekian kalinya telepon berdering siang itu.
Tante Puspa yang sedang terkantuk-kantuk di kursi malas sesudah kekenyangan habis makan siang segera menjadi segar. Biasanya siang hari begitu jarang ada telepon. Padahal dia sudah terbiasa menganggap dering telepon sebagai pertanda rezeki.
“Halo! Selamat siang!” seru Tante Puspa dengan suara berirama. Merdu di telinganya sendiri.
Suara berat laki-laki menyambutnya. Seperti biasa juga. Ia tentu tidak mengharapkan akan mendengar suara wanita.
”Bisa ketemu dengan Tante Puspa?” tanya suara pria yang menelepon lebih dulu itu.
“Ketemu atau bicara?” protes Tante Puspa.
”Oh, bicara tentu saja.” Disambung suara mengakak. Tipe orang senang bercanda rupanya.
”Ini saya sendiri, kok,” kata Tante Puspa sambil terkikik juga. Dalam waktu singkat itu ia mencoba mengingat-ingat, apakah suara itu pernah didengarnya sebelumnya. Terutama suara ketawa itu.
Biasanya suara orang bicara lebih sulit dikenali dari pada suara ketawa. Kebanyakan orang punya kekhasan sendiri-sendiri kalau ketawa. Ada yang seperti siamang. Ada pula yang mirip jin botol, Dan ada juga yang pantas disuruh mengisi suara kuntilanak di dalam film-film horor.
Tapi Tante Puspa tidak perlu berpikir lama. Laki-laki di seberang sana sudah menjelaskan, bahwa dia belum pernah menelepon sebelumnya.
“Saya dengar dari teman, katanya gadis-gadis Tante hebat-hebat. Jadi, begitulah. Saya kepingin membuktikan.” Suara mengakak terdengar lagi.
Dengan cepat Tante Puspa menyimpulkan. Ini pria berpengalaman. Pantasnya bapak-bapak. Segera ia tertawa mengikik. Ciri kegenitan. Tawanya yang khas juga. Sebenarnya dulu tidak begitu. Tapi kemudian berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi. Ada kalanya suara dan cara ketawa pun harus disesuaikan dengan profesi. Kalau tidak cocok bisa membuat canggung langganan. Padahal langganan adalah periuk nasi.
“Wah, senang sekali kalau begitu. Katakan saja, tipe yang bagaimana yang Bapak senangi?”
Kata-kata itu diutarakan Tante Puspa dengan yakin dan sedikit sombong. Gadis-gadis yang “dimilikinya” mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Satu sama lain tidak sama. Pendeknya, ia memiliki “koleksi” yang bervariasi. Dan karenanya dapat memenuhi berbagai ragam “permintaan” tergantung selera si pemesan. Yang ini termasuk faktor penting. Sudah jelas bagi kebanyakan pemesan, seks bukanlah sekadar pelampiasan kebutuhan biologis belaka, melainkan juga merupakan hiburan Dan bila bayarannya mahal jelas pula kalau mereka menginginkan yang serba maksimal. Toh sesekali ada juga yang tidak tahu diri dengan tuntutan dan permintaan yang macam-macam. Mentang-mentang sudah membayar mahal. Dasar orang tak bisa puas. Dan kemungkinan terlalu bodoh untuk menyadari, bahwa di dunia ini tak ada bidadari. Sedang uang sebanyak berapa pun tak bisa menciptakan bidadari.
Walaupun memaklumi keadaan itu, tak jarang Tante Puspa dihinggapi perasaan kurang nyaman. Bukan sedih, bukan pula tersinggung, tapi semacam rasa kurang nyaman yang sukar didefinisikan. Itu disebabkan karena ia menyadari bahwa mereka, ya, termasuk dirinya juga, sepertinya dianggap bukan manusia. Oleh siapa? Sudah tentu oleh para pelanggan itu, atau orang-orang yang tahu siapa dan bagaimana mereka. Sepertinya mereka itu Cuma hewan atau barang yang mesti dipilih-pilih dulu sebelum dibeli. Tapi ah, bukan Cuma itu perumpamaannya. Bisa lebih rendah lagi. Di samping harus memenuhi selera, mereka juga harus melayani, harus mampu memberi kepuasan, dan berbagai keharusan lain yang serba melenyapkan harga diri, tapi mereka harus tetap merunduk dengan wajah berseri-seri. Padahal binatang yang kecil dan lemah pun akan menggigit bila diperlakukan kasar.
Tapi kasusnya sudah jelas berbeda. Karena itu ia tak mungkin bersedih, terlalu kebal untuk tersinggung. Kalau jalan lain sudah sulit, soal tanya juga soal tarif. “Soalnya saya kan pakainya Cuma sebentar.”
Suara Tante Puspa jadi dingin ketika menyebut kan jumlah rupiah. Ia paling sebal kalau ada Orang yang mencoba-coba menawar atau minta dimurahkan dengan alasan ini itu. Dalam hal yang satu itu ia punya prinsip. Kalau merasa kemahalan lebih baik tidak usah saja. Carilah yang murahan. Suara di sana berdecak. Tapihnya itu. Dia tidak menawar atau berdalih untuk memperoleh penurunan harga.
”Okey,” katanya kemudian.
“Saya harap, kualitas dan servisnya akan sesuai dengan harganya.” Pak Tommy menyahut.
“Saya harap juga begitu, Pak. Saya memang tidak mau ngecap. Buat apa menyombong kalau Anda nanti bisa membuktikan sendiri.” Tante Puspa tertawa lagi. Ia senang karena di sana tidak menawar. “Nah, bagaimana gadis saya bisa mengenali Bapak? Barangkali Anda bisa memberikan nama atau ciri?” Tante Puspa menahan napasnya sebentar.
Ada orang yang segan memberikan nama. Itu bisa dimaklumi. Dan biasanya hal itu juga disebabkan, karena ia Cuma berminat sekali itu saja. Atau paling tidak rencananya memang Cuma untuk sekali itu. Akan lain halnya kalau dia berminat jadi langganan atau merasa yakin identitasnya dapat tersimpan dengan aman. Di sana juga diam sebentar. Rupanya Pak Tommy berpikir dulu. Pria itu sebenarnya hanya diminta untuk menyebutkan ciri-cirinya saja. Ini semacam kencan buta yang didalangi, begitu lah kira-kira.
“Nama saya Tommy. Ya, panggilan, tentu cukuplah itu. Dan mengenai ciri, rambut saya keriting. Kulit hitam manis. Ah, kok susah ya. Nggak ada cermin. Sih.” Ketawa mengakak terdengar. Kemudian bicara lagi, “Begini saja. Saya pakai safari biru muda. Dan di saku atas akan saya tonjolkan sapu tangan merah. Nah, cukuplah itu. Mudah-mudahan di coffee shop nanti Cuma saya sendiri yang berciri demikian.” Ketawa lagi.
”Ya, itu cukup, Pak. Dan mengenai gadis saya, di samping ciri-ciri fisiknya memenuhi selera Bapak, dia juga akan mengenakan gaun ungu. Namanya Sofiya.”
Tante Puspa tidak pilih kasih terhadap para gadisnya. Namun, di antara mereka memang Sofiya lah yang seperti primadonanya.
Pembicaraan telepon segera berakhir dengan kepuasan di pihak Tante Puspa. Ia yakin Sofiya akan dapat memenuhi selera Bapak Tommy. Ciri-ciri yang dikehendaki si bapak itu persis seperti yang dimiliki Sofiya. Dan kebetulan Sofiya masih kosong hari ini. Toh Cuma sebentar. Pantasnya bapak ini jarang punya waktu senggang yang bisa dimanfaatkan sekehendak hatinya. Atau dia tipe orang yang suka curi-curi waktu. Kapan saja dimanfaatkannya.
Siang-siang … tapi yang seperti itu juga sebenarnya tidak boleh dianggap remeh. Sekali Bapak Tommy merasa puas, dia bisa ketagihan. Siapa tahu dia orang penting. Kiranya tidak sembarang orang yang siang-siang berpakaian safari. Jelas dia bukan anak muda walaupun namanya bercirikan kemudaan. Ya, belum pasti itu namanya yang asli. Kalau memang namanya mungkin itu namanya sewaktu kecil yang sekarang tidak pantas dipakai lagi.
Belum lagi Tante Puspa beranjak untuk memanggil Sofiya, telepon berdering kembali. Senyumnya mengembang. Ada pemesan lagi kah? Ia mengangkat telepon dan senyumnya segera menciut. Ah, Bapak Tommy yang tadi itu. Jangan-jangan mau membatalkan pesanan?
Bersambung….
