Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

GADIS PILIHAN

Mang Karta berusia lima puluhan, sebaya dengan Tante Puspa. Tapi berbeda dengan Tante Puspa yang fisiknya semampai dan lemah gemulai, Mang Karta berbadan gempal, besar dan tegap. Tanpa dicoba dulu sudah jelas nampak kuat. Apalagi kalau ia hanya mengenakan singlet sewaktu mencuci minibis kepunyaan Tante Puspa di tepi jalan, maka nampaklah dengan jelas otot-ototnya yang bersembulan. Kiranya orang akan maklum apa arti otot-otot semacam itu. Tidak mudah memiliki dan memeliharanya. Karena itu, Mang Karta selalu rajin mengurus fisiknya. Tiap pagi ia tak pernah lupa mengangkat angkat barbel yang terletak di sudut halaman. Sesekali orang yang lewat di jalan bisa melihat kegiatannya itu dari pintu yang terkuak.

Wajah Mang Karta tidak berkesan galak. Ia pun bersikap ramah kepada siapa saja. Tapi justru kebetulan yang bagus baginya. Seakan-akan dibuat dan disediakan khusus untuknya untuk menutupi kekurangannya itu sebagai seorang pria sejati.

Tidak ada keinginan untuk menyentuh satu pun dari mereka, meskipun kesempatan sebenarnya ada banyak.

Kamar Sofiya berjejer dengan kamar Elsa dan Wanda di satu sisi, sedang di sisi seberangnya berjejer kamar Ratna dan Dora yang bersisian dengan dua buah kamar mandi dan WC. Jadi untuk menggunakan sarana pembersih itu mereka terpaksa harus bergiliran. Tapi tak jarang dua orang mandi bersama bila tak sabar menunggu.

Di lantai bawah, Lastri dan Frida menempati kamar bersebelahan. Di seberangnya terdapat kamar Tante Puspa. Sedang kamar Mang Karta terletak lebih ke belakang.

Tante Puspa melihat pintu kamar Ratna terbentang lebar. Ratna sedang tiduran di lantai dengan mengenakan celana pendek dan kaus tanpa lengan. Ia nampak santai mendengarkan musik dan sesekali ikut berdendang.

Tante Puspa berhenti sebentar di ambang pintu. “Lagi ngapain, Rat? Kok di lantai,” tegurnya ramah.

”Oh, kepanasan, Tante. Panas banget hari ini, ya?” kata Ratna sambil melompat berdiri dengan lincah. Getaran payudaranya jelas memperlihatkan bahwa ia tidak mengenakan BH.

Tatap kritis Tante Puspa mengarah sebentar ke dada Ratna. Cuma sebentar. Tapi ia sudah bisa menyimpulkan. Payudara Ratna mulai kendur. Sebentar, lalu ia kembali ke kamarnya sendiri, hal itu akan dicatatnya sebagai salah satu segi yang perlu mendapat perhatian, di samping segi-segi lainnya. Di antaranya ada rambut Frida yang harus ditata lagi di kap salon dan kemungkinan perlu mendapat perawatan, karena banyak rontoknya. Ketombenya tak bisa dibasmi walaupun sudah rajin menggunakan shampoo anti ketombe. Masih ada lagi Elsa yang mengalami penambahan berat badan yang mengkhawatirkan. Memang ada saja langganan yang menyukai gadis montok, tapi montok dengan gembrot tentu saja berbeda. Padahal gadis yang berprofesi seperti mereka itu sama sekali tidak boleh menjadi terlalu gemuk. Mereka akan kehilangan daya tarik, padahal justru itulah satu-satunya sumber nafkah. Ah, semakin kritis ia menginspeksi, kiranya akan semakin banyak pula ia menemukan hal-hal yang mesti dikoreksi, keluh Tante Puspa.

“Gadis-gadis itu perlu juga diajar untuk menjaga diri sendiri. Ataukah mereka jadi lalai justru karena merasa sudah ada yang mengawasi dan menjaga? Dasar mental mau enak sendiri,” gerutunya di dalam hati.

“Apa ada pesanan, Tante? Kan saya sudah di-booking nanti malam,” tanya Ratna mengira Tante Puspa sudah pikun.

“Aku Cuma mampir. Soalnya kamarmu terbuka. Aku mau ke Sofiya,” kata Tante Puspa.

”Oh, Sofiya. Untuk nanti malam juga, Tante?” Tanya Ratna.

“Tidak. Siang ini,” jawab Tante Puspa.

”Sekarang? Oh, ada matinee rupanya.” Ratna terkikik. Tante Puspa ikut tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. Dan sepeninggal Tante Puspa, Ratna meneruskan keasyikannya yang tadi. Ia sepenuhnya bersantai. Tidak ada yang berat-berat mengganggu pikirannya. Orang yang akan ditemuinya sebentar sudah dikenalnya. Segala kebiasaan dan keinginan orang itu sudah dipahaminya, Tidak ada yang misterius. Kerja ringan dan tidak makan hati. Akan lain halnya kalau orang yang harus ia temui belum pernah ia kenal sebelumnya, Orang baru adalah sesuatu yang selalu jadi gangguan pikirannya sebelum memulai ”tugasnya”. Masalah yang mengganggu adalah pertanyaan, “Apakah dia itu manusia atau monster?”

Sementara itu Tante Puspa sudah mengetuk pintu kamar Sofiya setelah melewati kamar-kamar lain yang pintunya tertutup rapat dan tak ada suara yang keluar dari sana. Pada saat seperti itu biasanya mereka sedang tiduran atau istirahat.

Tante Puspa menunggu sebentar sebelum mengulang ketukannya. Barulah terdengar jawaban.

”Ya?”

Suara Sofiya kedengaran berat. Sedang tidur rupanya, pikir Tante Puspa kasihan.

Pintu terbuka. Sofiya menggosok-gosok matanya.

”Masuk, Tante,” katanya menyilakan.

Tante Puspa masuk, lalu duduk di ranjang. Sebentar pandangnya mengarah kepada Sofiya lalu menyapu ke sekitarnya, juga ke ranjang yang didudukinya. Dua hal yang langsung menarik, perhatiannya. Mata Sofiya agak merah dan sedikit bengkak. Mungkin juga habis digosok-gosok tadi Tapi di ujung ranjang ada bantal yang basah.

”Kau menangis, Sof?” tanya Tante Puspa tajam.

Sofiya duduk di sisi Tante Puspa. Ia menunduk saja sambil meremas-remas jarinya. Kemudian mengangkat kepalanya dan tersenyum. Ekspresi wajahnya sudah berubah sama sekali dibanding saat membuka pintu. Kelihatannya tidak ada persoalan apa-apa. Tapi Tante Puspa tidak bisa dibohongi. Ia terlampau berpengalaman. Sofiya sudah mengenakan topengnya kembali.

”Ada yang kau sedih kan, bukan?” tanya Tante Puspa.

”Ah, biasa saja, Tante. Kadang-kadang saya memang suka cengeng,” sahut Sofiya.

Tante Puspa tak mau menyerah. “Ada pengalaman pahit kemarin?” ia bertanya tanpa mengalihkan pandangnya dari wajah Sofiya. ”Barangkali laki-laki itu memperlakukan kau dengan sadis? Kalau begitu, dia tidak usah dilayani lagi!” sambung Tante Puspa.

”Oh, bukan itu persoalannya, Tante. Lelaki itu biasa saja. Dia nggak apa-apa kok,” sahut Sofiya cepat.

”Lantas kenapa? Ah, mungkin kau enggak enak badan?” Suara Tante Puspa melembut sewaktu ia mengulurkan tangan, meraba dahi dan leher Sofiya kalau-kalau terasa panas.

“Nggak juga, Tante. Saya sehat, kok,” jawab Sofiya, mengelak.

“Terus terang lah, Sof. Kalau kau memang kurang sehat, sebaiknya tak usah bekerja hari ini. Bisa ku suruh orang lain. Si Wanda juga sedang kosong,” ujar Tante Puspa.

Tapi sambil mengatakan itu, Tante Puspa membayangkan Wanda sejenak. Bapak Tommy itu akan kecewa. Biarpun Wanda cantik, tapi tidak akan sesuai dengan seleranya. Si bapak sudah memperinci ciri-ciri wanita yang disenanginya dan semua itu terdapat pada Sofiya. Tante Puspa jadi jengkel. Bukan kepada Sofiya, melainkan kepada bapak yang cerewet itu. Tentu saja dia tidak akan mau mempertaruhkan gadisnya demi seorang laki-laki hidung belang yang belum pernah dikenalnya.

Sofiya menoleh, memandang lekat ke wajah Tante Puspa. Ada rasa syukur tergambar di wajahnya yang sendu. “Sungguh saya tidak apa-apa, Tante. Saya sehat dan juga siap untuk berkerja,” katanya.

Bersambung…..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel