TERPAKSA MENIKMATI
Pak Tommy menoleh dengan kaget. Seorang pria berpakaian satpam memandangnya dengan khawatir.
“Kenapa, Pak? Apakah Bapak sakit?” Semula Pak Tommy kepingin marah. Kurang ajar betul. Orang sehat dibilang sakit. Tapi belakangan ia menyadari perbuatannya sendiri. Tangannya masih saja mencekam dadanya. Barangkali dikira terkena serangan jantung mendadak. Dan mungkin juga wajahnya memang tidak keruan. Dengan malu ia cepat-cepat menurunkan tangannya.
“Oh, saya nggak apa-apa kok, Sungguh nggak apa-apa,” katanya sambil bergegas meneruskan langkahnya.
Satpam itu masih memandangi sebentar. Kemudian ia mengangkat bahu lalu pergi.
Sebelum memasuki coffe shop, Pak Tommy melayangkan dulu pandangnya ke arah dalam, Dia melihat gadis itu duduk sendiri. Ah, senangnya. Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan sapu tangan merahnya, lalu menyelipkannya di saku atas. Baru kemudian ia masuk.
Gadis itu memandangnya. Dan ia jadi yakin. Segera ia melangkah mendekat.
”Dek Sofi?” tegurnya ramah.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Hati Pak Tommy pun semakin runtuh. Beribu pujian untuk nenek yang bernama Tante Puspa.
“Sudah lama menunggu, Sof?”
”Baru saja duduk,” sahut Sofiya sambil ketawa. Ketegangannya sudah mereda. Betapa pun jeleknya seseorang toh dia tidak sampai sejelek yang dikhayalkan. Dan betapa pun barbarnya orang itu mesti punya juga sifat-sifat manusia. Sementara Bapak Tommy yang sudah berwujud nyata sekarang ini memanglah orang yang punya ciri-ciri manusia. Sebagai laki-laki dia tidak bisa digolongkan tampan. Mungkin lebih banyak jeleknya dari pada bagusnya. Tak salah perkiraan Tante Puspa. Tapi justru laki-laki semacam ini, dengan baju bagusnya dan nafsu menguasai yang nampak jelas di matanya itu menampakkan suatu keserakahan yang hanya bisa dipenuhinya dengan satu cara, yaitu uang. Ya, bukan ketampanan atau kebagusan fisik yang dimilikinya sebagai kekuatan untuk memenuhi nafsunya, melainkan uang.
Uang adalah kekuatan. Dan laki-laki itu Cuma obyek. Dia pun jelek dan sebentar lagi mungkin akan memperlakukannya secara buruk, tapi dia Cuma alat semata. Ingatlah itu. Maka Sofiya memasang wajahnya secerah mungkin. Pengalamannya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa laki-laki ini jatuh hati padanya. Barangkali akan memberinya bonus di luar tarif yang telah disepakati.
Suaranya juga enak didengar, pikir Pak Tommy sambil menghirup minumannya pelan-pelan. Ia harus berusaha keras agar tidak kelihatan buru-buru.
Tidak jauh berbeda, Sofiya pun mengikuti jejaknya. Ia sadar, bukan dirinya pemegang kendali. Walaupun ia ingin cepat selesai dan cepat pulang, ia tidak boleh terang-terangan memperlihatkan keinginannya itu. Ia harus berjuang menekan rasa muak yang sesekali begitu susah diatasi.
”Berapa umurmu, Sof?”
”Dua puluh tiga,” jawab Sofiya dengan sebenarnya.
”Tapi sepertinya tujuh belas. Coba kalau kau pakai seragam putih abu-abu, kau tak ubah anak SMA,” kata Pak Tommy dengan pandangan lekat. Tak bosan-bosannya ia memandang dan mengagumi. Sampai akhirnya merasa heran sendiri.
Sofiya tersenyum saja. Lebih baik tak usah banyak bicara. Nanti malah mengundang tanya. Akibatnya jadi makan waktu lebih banyak. Laki-laki memang suka memuji dan merayu seperti itu. Dia sudah biasa mendengarnya. Andai kata segala rayuan itu benda yang bisa dipegang, pasti ia memerlukan tong sampah yang besar untuk tempat membuangnya.
Akhirnya Pak Tommy mengajak Sofiya. Ia menggandeng mesra lengan Sofiya. Wanita itu membiarkan saja tanpa membalas dengan sikap genit. Biasa saja, tapi justru sikapnya itu membuat Pak Tommy semakin menyukainya.
Pintu kamar yang dituju pun terbuka lalu tertutup dan terkunci rapat-rapat. Suasana menjadi pribadi, Pak Tommy merenggut Sofiya ke dalam pelukannya, dan melepaskan kerinduannya yang sudah ditahan-tahannya sejak awal melihat Sofiya. Sementara Sofiya mengeluh dalam hati.
“Boleh nyusu, Sof?” tanya pria tua itu meminta izin dan Sofiya pun mengangguk.
Gadis itu memejamkan mata rapat-rapat menahan rasa jijik ketika kedua pucuk gundukan bulat di dadanya dilahap secara bergantian dengan rakusnya oleh pria yang menyewakan. Jika satu disedot kuat-kuat satunya lagi diremas-remas dengan gemasnya. Suara kecap dari mulut berliur pria tua itu kencang terdengar satu ruangan.
Sudah terlalu lama kah laki-laki ini berpuasa? Memang bukan baru sekali ini ia menjumpai laki-laki yang memperlakukan pasangannya seolah binatang buas memangsa korbannya. Padahal dia toh bukan seorang korban. Mereka sudah suka sama suka. Tapi ia juga cukup tahu, bukan Cuma itu sebabnya. Masih ada sebab-sebab lain. Misalnya kecenderungan orang dalam soal seks. Kadang-kadang ada saja orang yang punya keunikan tersendiri, terutama orang yang melulu berpikir tentang kepuasannya sendiri semata. Bagaimana caranya agar ia dapat memperoleh kepuasan maksimal? Dalam hal itu tentu saja ia takkan peduli pada perasaan pasangannya. Apalagi kalau membayar. Memang cukup banyak perlakuan masih bisa ditolerir, tapi yang paling mengerikan tetap adalah sad*isme.
Sejak mulai menjalankan profesi semacam itu, Sofiya kerap meyakini diri sendiri, bahwa ia harus siap menerima perlakuan apa saja. Tubuhnya bukan lagi miliknya sendiri. Dia sudah menyerahkannya untuk menjadi korban berbagai risiko buruk. Dia tidak perlu lagi merasa heran, aneh, atau pun sakit saat menerima perlakuan seganjil dan seburuk apa pun. Tapi kengerian tak pernah kunjung hapus. Seperti juga rasa muak, perasaan-perasan itu tak bisa ia singkirkan. Demikian pula kali ini.
Begitu saja teringat olehnya pengalaman Frida. Ketika itu Frida pulang dengan menangis. Mereka mengerumuni dan menghiburnya, tahu pasti bahwa Frida barusan menerima perlakuan yang entah macam apa dari orang yang menyewanya. Tante Puspa juga sibuk. Kemudian Frida membuka bajunya. Mereka terkejut. Dada dan punggung Frida penuh ceplok-ceplok merah hitam. Sundutan rokok. Frida jadi korban sad*isme. Malangnya dia beroleh langganan yang tak bisa mencapai kepuasan seksual tanpa menyiksa.
Kini, mungkinkah ia juga mengalami hal serupa? Bahkan masih di depan pintu pun Pak Tommy sudah bersikap seakan mau menggerogotinya sampai habis.
“Kamu nikmat sekali, Sofiya. Uuuughhh…!!!!”
Dengan panik, Sofiya merasa dirinya seakan terhempas ke sana ke mari dan celakanya tak ada tempat berpegang selain tubuh Pak Tommy sendiri. Ia mencengkeram lebih kuat, tapi Cuma membuat Pak Tommy kian menggelora. Rasa takut membuat Sofiya gemetar dan berkeringat dingin. Tapi Pak Tommy menafsirkannya secara lain.
Dengan sigap pria tua itu mengangkat tubuh Sofiya dan menggendongnya seperti bayi. Kembali Sofiya menyadari bahwa laki-laki ini kuat, ya, kuat seperti umumnya kaum laki-laki. Di situlah letak kelebihan yang pasti dari kaum laki-laki dibanding wanita.
Sofiya mendapati dirinya tak bisa berpura-pura. Ia tak bisa tersenyum manis terus-terusan, tak bisa menyambut dan membalas dengan sama menggeloranya. Padahal seharusnya begitu. Profesinya selalu menuntut kepura-puraan demi apa yang namanya “servis”. Tubuhnya terasa lunglai. Dia pasif. Terasa adanya kemasabodohan yang mendominasinya. Dia Cuma bisa melihat dan merasakan “kesibukan” pria tua itu mengolah tubuhnya seakan itu benda mati.
“Oh, masa bodoh,” pikirnya sambil memejamkan mata. “Paling-paling orang ini akan kapok. Ya terserah sajalah,” batinnya.
Kemudian terdengar suara berat sang pria tua itu dengan nafas yang memburu. Tubuhnya yang hitam juga tampak berkeringat.
“Bersujud lah, Sof! Aku mau melakukannya dari belakang,” perintahnya pada gadis berparas ayu itu.
Sofiya tidak punya pilihan selain patuh. Ia segera bersujud dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi memamerkan bulatan padat sintal miliknya pada si tua itu. Ia pasrah saja jika kelelakian pria tua yang hitam pekat itu menyodok dan memasukinya secara tiba-tiba.
Cup!!! Sluumpp!! Slummp!!
Bersambung…..
