Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

ALAMAT RAHASIA

Benar saja, itu memang lah Pak Tommy yang menelepon untuk kedua kalinya. Padahal, gagang telepon baru saja diletakkan oleh Tante Puspa. Bahkan, rasa hangat genggaman wanita itu saja belum sepenuhnya menguap.

”Saya Cuma mau tahu alamatnya, Tante. Siapa tahu kapan-kapan saya bisa datang sendiri,” demikian Bapak Tommy. Tak ketinggalan ketawa khasnya.

Tante Puspa mencibir dulu sebelum menjawab. ”Menyesal sekali, Pak. Itu belum bisa saya berikan. Saya pikir, cukuplah nomor telepon saja.”

”Kalau nomor HP juga tidak ada?”

”Tidak ada, Pak. Tapi buat apa sih? Yang penting kan bukan itu.”

Di sana kembali tertawa mengakak. “Ya, saya maklum. Tante belum kenal saya. Jadi belum percaya, kan? Sama-samalah kalau begitu. Tidak apa-apa, kok. Saya Cuma mau tahu saja. Tidak ada maksud buruk.”

‘Rupanya dia bisa menduga, bahwa maksud buruk itu mungkin saja ada,’ pikir Tante Puspa sinis. Tapi kemudian timbul pikiran isengnya. Ia tertawa genit. “Bisa saya beri tahu, Pak, bahwa tempat tinggal kami adalah kampung Tarantula.”

“Kampung apa? Tarantula? Kok saya baru pernah dengar. Di Jakarta sebelah mana itu? Ah, pertanyaan saya kebanyakan, bukan? Anda tentu Cuma main-main. Baiklah, Cuma itu saja.”

Hubungan putus. Tante Puspa menggerutu, ”Huh, mau tahu alamat segala. Mungkin juga dia tidak punya niat jelek, tapi Cuma serakah semata. Ya, dia mau melihat-lihat koleksiku, lantas tubruk sana tubruk sini. Emangnya di sini show-room?”

Dan tentu saja dia tak akan bisa melupakan pengalaman pahitnya beberapa tahun berselang. Gara-gara murah hati memberikan alamat, maka dia pun jadi obyek pemerasan. Kalau tak mau memberi cukai atau uang keamanan, rumahnya diancam akan diobrak-abrik. Sungguh menyakitkan hasilnya. Terlalu banyak orang licik di dunia ini. Mereka selalu tega memanfaatkan kesempatan dengan memperalat orang lain. Dan belum cukup dengan gangguan itu, masih ada lagi protes dari tetangga sekampung. Padahal rumahnya bukanlah rumah bordil seperti yang dituduhkan. Rumahnya sekadar tempat bernaung. Sama halnya dengan orang-orang lain yang punya profesi berbeda. Dasar orang-orang itu sok suci, sok bermoral, sok macam-macam. Ya, dunia juga penuh dengan Orang-orang yang serba sok semacam itu. Dia dengan profesinya sudah cukup kenyang menghadapi orang-orang begitu.

Keadaan semacam itulah yang memaksanya pindah diam-diam. Mula-mula dia mencari rumah yang cocok dulu untuk dikontrak. Sesudah ditemukan dan siap dihuni, ia menyuruh gadis-gadisnya pindah satu demi satu.

Paling akhir, setahun lamanya, Tante Puspa merasa betah. Selama ini suasana aman-aman saja. Dia cukup ramah terhadap sekitarnya, tapi tentu saja menjaga jarak. Di sini dia dikenal sebagai ibu kos, sedang gadis-gadisnya adalah anak-anak kosnya. Tidak susah mempertahankan kerahasiaan. Lingkungan cukup menjamin. Walaupun masih disebut kampung, tapi para penghuninya kebanyakan tidak suka ikut campur urusan orang lain, tidak usil, dan tidak kepingin tahu. Malah sering kali tidak pedulian. Pendeknya lu-lu gua-gua, begitu istilah Jakartanya. Mungkin mentalitas daerah elit sudah merasuki juga daerah kampung. Bagi Tante Puspa itu bukan persoalan. Yang penting baginya adalah manfaat yang bisa ia peroleh. Memang, gangguan bukannya tak pernah ada.

Tapi bagi Tante Puspa masih tergolong ringan. Dia pun sudah maklum. Setiap penghuni baru suatu daerah kampung sepertinya harus diberi cobaan dulu oleh mereka yang merasa diri jagoan di situ. Lebih-lebih bila tempat itu punya banyak geng-geng anak muda pengangguran. Mereka akan mulai . lengan mengawasi, mempelajari, lalu mencoba-coba. Tergantung siapa yang punya wibawa lebih besar, dialah yang menang pula.

Mula-mula ada yang suka minta uang. Dia menolak dengan sikap halus. Lalu berkata, ”Saya ini janda, Nak. Kasihan dong. Hidup pun Cuma mengandalkan uang kos yang nggak seberapa.”

Toh walaupun kata-katanya begitu ia tidak menunjukkan sikap minta dikasihani. Kepalanya tegak. Wajahnya menampakkan percaya diri, tapi juga keibuan. Senjata utamanya memang yang satu itu. Keibuan. Maka ia pun berlagak menganggap si peminta uang itu sebagai anaknya yang perlu dinasihati dan dibimbing. Tapi belum selesai ia memuntahkan segala kata mutiara yang ada di benaknya, si peminta uang sudah terbirit-birit pergi. Barangkali di rumahnya sendiri ia sudah jenuh dengan segala nasihat.

Sejak itu tak ada lagi anak muda yang coba-coba meminta uang padanya. Malah kebanyakan akan menghindarinya kalau kebetulan ketemu di jalan. Padahal ia sendiri selalu siap dengan senyum rangahnya. Dan tentu saja juga siap dengan nasihat.

Situasi itu membuat ia tertawa dalam hati. Dan juga tertawa puas di rumah. Ia sudah menang. Tidak akan ada lagi yang mengganggunya dengan permintaan uang. Ia sadar benar apa akibatnya kalau permintaan itu dipenuhi. Memang, sekali memberi beberapa ratus rupiah saja tidaklah berat baginya. Tapi yang sedikit itu lama-lama bisa jadi banyak. Mentalitas orang-orang yang suka meminta itu pun bisa tambah buruk. Sekali diberi mesti keterusan. Dan kalau tidak diberi bisa ngamuk. Dia akan dirongrong dan diperas. Sama seperti dulu. Padahal ia tidaklah bodoh untuk mengulang kesalahan yang sama.

Tapi sesekali masih ada juga yang suka iseng. Misalnya kalau dia jalan melewati sekelompok anak muda yang sedang nongkrong. Ada yang mendesis, “Puuus, Puuus…” Ia menoleh tanpa meninggalkan senyumnya. Tapi segera ia disambut oleh bunyi regu koor, “Meeeong, meeong!” Lalu ketawa pun meledak. Ia tahu dirinya dijadikan bulan-bulanan pada saat dipanggil ”Puuus, Puuus,” itu, karena beberapa di antara gadis-gadisnya suka memanggilnya dengan sebutan ”Tante Pus-pus”. Tapi ia toh menoleh juga hanya karena ingin tahu apa yang akan dilakukan anak-anak muda itu selanjutnya. Walaupun sadar diejek, ia tidak marah. Ia malah ikut tertawa, seakan merasa lucu juga. Padahal ia yakin, sikapnya itu justru tidak menyenangkan hati mereka. Anak-anak muda itu lebih suka kalau ia marah, karena memang itulah tujuan perbuatan mereka. Semakin ia marah, semakin senang mereka. Karena tidak berhasil, mereka akan segan mengganggunya lagi. Begitu keyakinan Tante Puspa. Untuk sebagian besar keyakinannya itu benar. Memang Cuma sebagian, karena gangguan beralih kepada gadis-gadisnya.

Tapi gangguan itu pun Cuma sementara dan tidak berarti. Mereka Cuma ngomong usil dan sesekali menyiul. Tidak lebih dari itu. Karena tak mendapat sambutan yang diharapkan, semuanya pun reda dan padam sendiri.

Tante Puspa sudah berulang kali mengajari gadis-gadisnya bagaimana harus bersikap. Kepada tetangga dan lingkungan sekampung jangan sekali-kali memperlihatkan sikap genit. Orang harus tahu bagaimana harus bersikap yang serba sesuai dengan situasi dan kondisi. Itu kalau mau selamat dan aman.

Tapi keberhasilan mereka mungkin juga bukan disebabkan karena ajaran Tante Puspa yang diikuti dengan patuh, karena masih perlu disertakan peranan seseorang yang lain. Dia adalah Mang Karta, pembantu Tante Puspa merangkap sopir. Satu-satunya orang laki-laki di rumah itu.

Bersambung…..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel