Bab 5
Suasana toko Xyanavia’s Bakery mendadak hening ketika Grace menyambut pria itu. Napasnya tercekat sesaat, ia berusaha tetap tenang, meski hatinya berdebar saat ini.
Dipa menarik kursi dan duduk di sudut dekat jendela. Pandangannya menyapu seisi toko sebentar sebelum akhirnya kembali menatap Grace, yang masih berdiri terpaku.
“Kalau tidak keberatan, saya ingin menunggu di sini sebentar sambil menikmati pesanan saya,” ucap Dipa tenang.
“Ah,ya tentu. Mau minum apa, Tuan?” tanya Grace cepat-cepat, suara gadis itu agak bergetar.
“Air mineral saja,” jawab Dipa singkat.
Grace mengangguk dan melangkah ke dapur. Di balik pintu, ia menutup matanya dan memegangi dadanya yang berdebar kencang.
“Kenapa jantungku tidak bisa tenang sih?” tanyanya dalam hati.
Ziora mendekat dengan alis terangkat. “Itu pria yang kamu sebut nama Dipa, kan?”
Grace hanya mengangguk tanpa suara. Ziora mendorong bahunya pelan, menyuruhnya kembali ke depan dengan sepotong roti cinnamon hangat dan sebotol air.
Saat Grace meletakkan pesanan di atas meja, Dipa mengangguk kecil. “Terima kasih.”
Senyap sejenak. Hanya suara lembut musik instrumental dari radio toko yang mengisi kekakuan di antara mereka.
“Saya...” Dipa mulai berbicara, lalu menghentikan kalimatnya. Tangannya meremas botol minum sebentar, seolah menahan sesuatu.
Grace menoleh. “Ya?”
Dipa mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata Grace. Tatapan itu tajam, tapi menyimpan ketenangan yang sama seperti dulu saat insiden di jalan itu.
“Sebenarnya saya ingin meminta maaf. Karena waktu kejadian itu, kita terjatuh berdua karena tabrakan itu dan saya kurang hati-hati,” katanya perlahan.
Grace terkejut dengan matanya melebar mendengar pernyataan itu. “Hah? Oh, oke. Tidak apa-apa. Lagipula, saya juga kurang memperhatikan jalan, Tuan.”
Mereka saling bertatapan dalam diam. Detik-detik yang lewat terasa lebih lama dari biasanya.
“Ngomong-ngomong...” Dipa membuka percakapan lagi, “Kamu selalu buat sendiri semua roti di sini?”
Grace mengangguk. “Saya dan kakakku. Kami memang buka usaha kecil-kecilan sejak beberapa tahun lalu.”
“Kamu suka membuat roti?”
Grace tersenyum lebar kali ini. “Suka banget. Rasanya seperti terapi buatku. Saat meracik adonan, aku merasa menjadi tenang.”
Dipa memandangi gadis itu lebih lama. Ekspresi tulus yang muncul di wajah Grace.
Ketika bicara tentang rotinya terasa begitu jujur. Hati Dipa seperti ditarik lebih dekat lagi ke arah gadis ini.
Dipa tahu dirinya tidak bisa sembarangan membuka hati. Terlalu banyak masa lalu yang harus dia jaga, terlalu banyak rahasia yang belum siap dibagikan.
“Saya sering melihat toko ini dari seberang, tapi baru itu juga saya membeli pesanan darimu dan baru tahu kamu pemiliknya,” gumam Dipa.
Grace tertawa kecil. “Ah, seperti itu rupanya. Saya rasa ini pertemuan kita keempat kalinya.”
“Ya, dan sekarang, saya mulai menyukainya,” ujar Dipa dengan nada rendah.
Grace terdiam. Untuk sesaat, wajah mereka kembali bertemu dalam keheningan. Di detik itu juga, bel pintu toko berdenting pelan.
Ziora masuk dari dapur sambil membawa nampan berisi pesanan Dipa. Tatapannya tajam mengamati interaksi mereka.
“Maaf mengganggu,” katanya sambil tersenyum. “Mau tambah makanan lain, Tuan?”
Dipa melirik. “Tidak. Saya akan pergi sekarang.”
Ziora mengangkat alis, lalu menatap Grace sebelum pergi ke dapur lagi tanpa berkata apa-apa.
Dipa berdiri. “Terima kasih untuk rotinya juga waktunya.”
Grace mengangguk pelan. “Terima kasih juga sudah mampir.”
Sebelum keluar, Dipa menoleh sekali lagi. “Besok... kalau kamu tidak keberatan, saya ingin mencoba roti rasa lain.”
Grace menunduk sedikit, menyembunyikan senyum gugupnya. “Silakan, Tuan.”
Saat pintu toko tertutup kembali, Grace menyandarkan tubuhnya di meja, mencoba menenangkan diri. Di pipinya memerah karena malu, dan senyum itu masih tertinggal di sudut bibirnya.
Ziora menyusul dari dapur. “Wah... dia balik lagi! Kamu lihat tatapannya ke kamu tadi?”
Grace pura-pura cuek. “Biasa aja, kok.”
Ziora mencubit pelan lengan Grace. “Iya, biasa, tapi kamu senyum sendiri, Dek.”
Grace tertawa, tapi cepat-cepat kembali fokus ke adonan. “Sudahlah, Kak. Aku sekarang kaget sih, karena baru tahu pria yang menabrakku saat itu adalah Dipa.”
Ziora melipat tangannya dengan mata melebar. “Dipa tadi, ya? Wah, pantesan sering ke sini.”
Grace mengangguk dan terdiam, dengan tetap berusaha fokus dengan kerjaanya.
Ziora menatap adiknya lekat-lekat. “Sepertinya kamu lagi senang, Dek?”
Grace pura-pura mengangkat bahu, berusaha tak terlalu terlihat antusias. “Tidak tahu, Kak.”
“Kamu belum tahu siapa dia sebenarnya, Dek. Hati-hati juga, ya,” ucap Ziora, kali ini lebih serius.
Grace mengangguk pelan. Ia tahu maksud kakaknya. Meski Dipa tampak sopan dan baik, tetap saja mereka baru saling kenal. Hanya karena detak jantungnya tak tenang saat pria itu ada, bukan berarti ia boleh gegabah menaruh harapan.
“Tapi, Kak...” gumam Grace sambil mengaduk-aduk adonan. “Ada sesuatu dalam sorot matanya. Entah kenapa... sepertinya dia kesepian.”
Ziora menoleh. “Kesepian?”
Grace mengangguk pelan. “Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu, tetapi dia seperti itu, Kak.”
Ziora menghela napas panjang. “Hati-hati aja, oke.”
Grace menunduk. Kalimat kakaknya itu seperti tamparan kecil yang menyadarkannya.
Entah kenapa, saat bersama Dipa tadi, ia merasa lebih tenang.
**
Di sisi lain, Dipa menyalakan mesin mobilnya. Ia menyandarkan kepala di jok, menatap langit yang mulai meredup. Di benaknya, senyum Grace terus terputar ulang.
Sebuah rasa asing mulai mengusik hatinya. Bukan cinta, mungkin, tetapi semacam ketertarikan yang sulit dijelaskan untuknya.
Dipa menggenggam kemudinya, lalu berkata pelan, “Kenapa kamu begitu menenangkan hatiku, Grace?”
Seketika ia teringat sesuatu. Ia membuka laci dashboard dan mengeluarkan selembar foto lama seorang perempuan muda yang tersenyum di tengah ladang bunga. Wajah itu mengingatkannya pada sesuatu yang pernah ia lupakan.
Bibir Dipa menegang. “Aku belum siap mengingat semuanya, tapi kenapa kamu muncul sekarang?”
**
Sementara itu, malam mulai merambat di langit Jakarta. Di Xyanavia’s Bakery.
Grace menutup tirai toko. Ia berdiri sejenak di balik kaca, menatap jalanan yang perlahan sepi. Hatinya masih sibuk menata rasa.
Ziora datang membawa dua cangkir teh. “Untukmu, Dek. Biar bisa tidur nyenyak malam ini.”
Grace menerima teh itu dengan senyum lelah. “Terima kasih, Kak.”
Ziora duduk di sebelahnya. “Kalau kamu memang mau mengenalnya lebih jauh, pelan-pelan saja, Dek. Tidak perlu terburu-buru kok.”
Grace mengangguk. “Aku tahu, Kak. Aku juga tidak mau jatuh terlalu dalam tanpa pegangan lagi seperti dulu.”
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma roti hangat dan harapan baru.
Di dada Grace, sesuatu perlahan tumbuh. Belum berbentuk, tapi terasa menyenangkan.
Mungkin itu bukan dikatakan cinta, hanya penasaran sesaat, tetapin satu hal yang pasti pria yang bernama Dipa Renjana bukan pria biasa yang bisa ia lupakan begitu saja.
