Bab 4
Pagi itu, aroma manis dari roti yang baru matang memenuhi seluruh ruangan toko Xyanavia’s Bakery.
Dengan celemek yang masih belepotan tepung, ia berdiri di depan etalase sambil menyusun roti cinnamon roll dengan hati-hati. Tangannya lincah. Namun, pikirannya melayang entah ke mana.
Ziora muncul dari balik dapur, membawa nampan penuh roti keju yang masih hangat. “Kamu melamun lagi, Dek?”
Grace tersentak, lalu tersenyum tipis. “Tidak, cuma mikir aja. Ramai tidak hari ini, Kak.”
Ziora meletakkan nampan di meja, lalu menyodorkan secangkir teh. “Kamu kayaknya lagi kepikiran sesuatu. Atau... seseorang?”
Grace mengernyit. “Hah? Tidak juga, Kak.”
Entah kenapa sejak kejadian beberapa hari lalu, ketika seorang pria asing hampir menabraknya di jalan, bayangan wajah pria itu kadang muncul tanpa permisi dalam pikirannya.
Ia bahkan tidak tahu siapa namanya. Yang ia ingat hanya mata tajam dan sorot wajahnya yang... sedikit sendu.
“Kalau tidak ada, ya sudah, tetapi kalau ada, bilang Kakak, ya,” ujar Ziora sambil mengedip jahil.
Grace hanya terkekeh pelan. “Kakak ini suka banget menggodaku.”
**
Di sisi lain kota, Dipa Renjana sedang berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi langit Jakarta yang mendung. Secangkir kopi hitam di tangannya tak disentuh, hanya dibiarkan mendingin perlahan.
Wajahnya kosong, tapi pikirannya riuh.
Sosok gadis roti itu Grace terus muncul dalam ingatannya.
Bukan karena kecantikannya, tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ada ketenangan dalam tatapan gadis itu.
“Tuan,” suara Reina membuatnya menoleh. Wanita itu sudah berdiri di ambang pintu, membawa beberapa dokumen.
“Masuk,” ujar Dipa singkat.
Reina meletakkan dokumen di meja. “Ini laporan dari pelabuhan dan catatan keuangan minggu ini.”
Dipa hanya mengangguk, lalu menatap lagi ke luar jendela.
Reina memperhatikan pria itu dengan seksama. Sudah beberapa hari ini, sikap Dipa tampak berbeda.
“Kalau boleh tahu, siapa yang bikin Anda seperti ini?” tanya Reina tanpa basa-basi.
Dipa menoleh perlahan. “Seperti yang aku ceritakan. Aku menabrak seorang gadis. Dia jalan sambil bawa tepung. Kami terjatuh dan wajahnya penuh dengan tepung.”
Reina terdiam sesaat, karena mendengar jawaban yang tidak ia sangka.
“Tuan, tidak bisa berhenti mikirin dia?”
Dipa tak menjawab, hanya mengangkat bahu ringan. “Mungkin.”
Reina tersenyum samar. “Wow. Dipa Renjana memikirkan gadis setelah sekian lama menutup hatinya? Harus kutandai di kalender hari ini?”
Dipa memutar bola matanya. “Jangan membahasnya.”
“Boleh tahu nama dia siapa?”
“Aku selidiki dan aku tahu namanya Grace Xynavia. Pemilik toko roti kecil Xnavia’s Bakery di seberang gedung Grand Ravel.”
Reina mengangguk pelan. “Mau aku bantu mencarikan latar belakangnya?”
“Tidak perlu,” potong Dipa cepat. “Aku cuma... penasaran.”
Reina tidak menanggapi, tapi dalam hatinya ia tahu.
Jika Dipa sudah menunjukkan minat seperti ini, artinya gadis itu bukan orang biasa dalam hidupnya.
**
Sementara itu, Grace baru saja selesai membereskan etalase ketika seorang pelanggan masuk.
Seorang pria tua dengan topi baret yang selalu membeli dua roti sobek dan satu bolu gulung setiap pagi.
“Pagi, Pak Johan,” sapa Grace ramah.
“Pagi, Nona Grace,” jawab pria itu sambil tersenyum.
Setelah melayani Pak Johan, Grace kembali ke dapur dan mulai meracik adonan baru, tapi tangannya berhenti ketika satu suara muncul di benaknya.
"Apa dia baik-baik saja?" Grace menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Dipa dari pikirannya.
Ia tidak ingin terlalu berharap, apalagi setelah luka masa lalunya yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, takdir sepertinya belum selesai mempermainkan mereka.
Karena hari itu, saat ia melangkah keluar untuk membuang sampah, matanya kembali bertemu dengan tatapan familiar di seberang jalan dan detik itu juga, dunia mereka berhenti sesaat.
Grace membeku di tempat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Sosok pria itu dengan jaket hitam dan rambut yang berponi acak-acakan seperti hari itu berdiri di seberang jalan, menatapnya.
Dipa tidak bergerak, hanya memandangi gadis itu dari kejauhan. Ia sempat berpikir untuk berpaling, tetapi matanya seperti terpaku. Ia tidak tahu mengapa dirinya datang ke tempat ini.
Awalnya hanya ingin sekadar melihat, lalu pulang ke rumah dan kini kakinya tak mau bergerak sama sekali, tatapannya terus terpaut pada sosok yang membuatnya sulit tidur selama ini.
Grace menunduk cepat, pura-pura sibuk membereskan sampah di tangannya, tapi detik itu juga, detak hatinya tidak bisa berbohong.
Setelah membuang sampah, Grace buru-buru kembali masuk ke dalam toko, berusaha mengatur napasnya.
Ziora yang sedang mengatur stok bahan memperhatikannya. “Kamu kenapa? Mukamu kok merah,” tanya Ziora curiga.
“Tidak apa-apa, Kak” jawab Grace cepat sambil membalikkan badan.
Ziora berjalan mendekat. “Jangan bilang... pria yang menabrak mu muncul lagi?”
Grace terdiam menanggapi ucapan Kak Ziora.
“Oh, Tuhan! Dia muncul lagi? Yang tempo hari itu?” Ziora membelalakkan mata.
Grace mengangguk perlahan. “Di seberang jalan. Barusan tadi cuma tidak terlihat jelas wajahnya.”
Ziora langsung menyibak tirai jendela dan mengintipnya. Namun, saat itu Dipa sudah tidak ada di sana. “Dia sudah pergi,” kata Ziora.
Grace hanya berdiri termenung. Detik itu juga, ia tahu ini bukan kebetulan.
**
Dipa berjalan kembali menuju mobilnya. Napasnya berat. “Apa yang aku cari sebenarnya dari dia?” tanyanya dalam hati.
Di kursi kemudi, ia duduk lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Grace Xynavia...” ucapnya lirih.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reina masuk.
Reina: “Sudah kembali ke kantor, Tuan? Jangan lupa rapat hari ini pukul tiga.”
Dipa menatap layar ponsel sejenak, sebelum akhirnya membalas singkat.
Dipa: “Aku sedang dalam perjalanan ke sana.”
**
Di toko roti, malam mulai turun. Grace berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu.
Di tangannya ada secangkir susu hangat, tapi yang ia pikirkan bukan rasa manisnya, melainkan tatapan pria itutatapan yang entah kenapa terasa familiar, sekaligus membuat dadanya sesak.
“Kenapa dia muncul lagi? Apa dia hanya kebetulan atau.. dia memang mencari ku? Wajahnya dia kok mirip dengan seseorang, ya?”
Ia menggeleng cepat, berusaha menepis semua rasa aneh yang mulai tumbuh diam-diam, tapi di luar kesadarannya, senyum tipisnya muncul di bibirnya.
Angin malam meniup pelan tirai jendela toko. Grace menyesap susu hangatnya perlahan sambil menatap ke luar, seolah berharap sosok pria itu muncul kembali.
Ziora mendekat sambil membawa dua potong roti keju yang masih hangat. “Untukmu,” katanya ringan.
Grace menoleh, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Kak.”
Ziora duduk di kursi seberang. “Kamu masih memikirkannya, ya?”
Grace tidak langsung menjawab. Ia memandangi kepulan uap dari gelasnya..“Aku tidak tahu, Kak, tapi bayangan dia terus muncul di kepalaku. Padahal baru ketemu sekali.”
“Berarti bukan cuma sekali,” timpal Ziora dengan nada menggoda. “Buktinya kamu melihatnya lagi hari ini.”
Grace menghela napas pelan. “Apa mungkin... dia sengaja datang, ya, Kak?”
Ziora mengangkat bahu. “Kalau iya, kenapa kamu tidak langsung bertanya saat dia masih di seberang kemarin?”
Grace tertawa kecil. “Aku takut.”
“Takut kenapa?” tanyanya.
“Takut ternyata cuma kebetulan. Atau... dia sudah punya seseorang.”
Ziora memandangi wajah adiknya yang mulai terlihat galau. Hatinya tergerak. Ia tahu Grace belum benar-benar pulih dari masa lalu.
Ziora menepuk lembut tangan Grace. “Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana, Dek.”
Grace mengangguk pelan. Namun, dalam hatinya tetap ada gelombang yang tak bisa ia redam.
**
Di malam yang sama, Dipa kembali ke apartemennya yang luas. Ia menggantung jasnya, membuka dasi, lalu menyalakan lampu dapurnya.
Telepon genggamnya tergeletak di meja. Dipa menatapnya lama, lalu tiba-tiba, ia membuka galeri foto. Jari-jarinya sempat terhenti.
"Grace Xynavia..." gumamnya lirih, sebelum akhirnya menutup layar ponselnya.
Ia duduk di balkon apartemen, menatap langit malam yang mulai berbintang.
”Besok aku akan datang lagi,” ucapnya pelan, kepada dirinya sendiri, “setidaknya, untuk memastikan perasaanku.”
**
Keesokan paginya, Grace lebih sibuk dari biasanya. Banyak pesanan masuk, dan toko lebih ramai dari biasanya.
Disela hiruk pikuk itu, ia masih sempat menoleh ke arah pintu berharap pria misterius yang sering ke tokonya itu datang.
Ziora memergoki dan langsung mencoleknya. “Tidak usah mengharapkannya Adik, nanti kecewa.”
Grace pura-pura tak dengar, tapi pipinya memerah.
Saat sore menjelang dan toko mulai sepi. Datang seseorang yang membuatnya terpaku pada sosok itu.
“Permisi, saya mau pesan cinnamon roll satu kotak.”
Grace menoleh dan hatinya langsung melonjak.
Pria itu berdiri di sana, dengan senyum kecil dan pandangan hangat yang tak bisa disembunyikan.
“Silakan duduk, Tuan,” ujar Grace, berusaha tenang.
Dipa tersenyum, melangkah masuk, dan dunia seakan mengecil hanya pada mereka berdua.
