Bab 6
Langit sore mulai menggelap ketika Reina melangkah cepat masuk ke dalam kantor utama yang tersembunyi di balik bangunan perusahaan fiktif milik Dipa.
Dengan raut wajah serius, ia membawa sebuah map hitam tebal di tangan. Samudra dan Galen sudah menunggunya di ruang briefing, duduk dengan ekspresi siaga.
Dipa berdiri di depan layar digital besar. Saat Reina masuk, ia hanya menoleh sekilas. “Bicara,” ucapnya singkat.
Reina membuka map dan menyebar beberapa foto hasil tangkapan kamera pengintai. Salah satu foto menampilkan seorang pria tinggi berjas gelap sedang berbicara dengan seorang wanita berambut panjang di parkiran gedung tua.
“Ini dari tim pengintai kita. Lokasinya kawasan gudang selatan yang dulu jadi markas kedua kita. Sekarang dikuasai oleh Archio dan kelompoknya,” jelas Reina.
Galen menyipitkan mata, menunjuk ke arah wanita di foto. “Itu Amora, kan?”
Reina mengangguk. “Dia kembali dan sepertinya, bukan hanya jadi partner Archio, tapi sudah menyatu dalam struktur mereka. Dia mengatur pergerakan logistik senjata.”
Samudra mengepalkan tangan. “Berarti benar dugaan kita, markas mereka aktif lagi dan kedatangan Amora bukan kebetulan.”
Dipa tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya masih menelusuri detail foto itu. Namun, pikirannya melayang.
Bayangan wajah Grace muncul di benaknya. Senyumnya, caranya tertawa saat membicarakan roti, dan wajah di foto lama itu.
“Dipa.” Suara Reina memecah lamunannya. “Ada hal lain yang harus kamu tahu. Nama gadis di toko roti itu , bernama Grace Xyanavia. Aku menelusuri nama belakangnya dan aku menemukan sesuatu hal darinya.”
Dipa menoleh cepat, nadanya berubah tajam. “Apa maksudmu?”
Reina membuka ponselnya dan menunjukkan hasil pencarian. “Xyanavia bukan nama umum mereka, tetapi lima belas tahun lalu, ada seorang wanita bernama Elvina Xyanavia, korban dari kecelakaan tragis yang penyelidikannya tidak terungkap.”
Galen langsung menoleh. “Tunggu, maksudmu kecelakaan yang-”
“Ya.” Reina mengangguk. “Kecelakaan yang diduga ada campur tangan internal dari keluarga Renjana.”
Ruangan seketika hening. Samudra menatap Dipa dengan tatapan ragu. “Kamu yakin, gadis itu orang biasa?”
Dipa meremas meja. “Aku... tidak tahu, tetapi foto lama itu, dan nama ibunya, semuanya mulai masuk akal.”
Reina menyelipkan map ke sisi meja. “Aku juga cek data lainnya. Elvina dulunya pernah bekerja di lingkaran farmasi ilegal yang diendus oleh almarhum ayahmu. Bisa jadi dia korba atau mungkin saksi yang harus disingkirkan.”
Dipa mengalihkan pandangannya, kini jelas terguncang. “Kalau itu benar, berarti Grace-”
“Dia punya koneksi langsung dengan masa lalu keluargamu. Mungkin tanpa dia tahu, dia adalah potongan puzzle yang paling penting untuk semuanya,” sela Reina.
Samudra mengangguk. “Jangan lupakan ini. Hari ini kami ngikutin mobil truk yang beberapa hari lalu parkir di seberang toko roti. Plat nomor palsu, tapi mobil itu juga pernah muncul dalam kasus tabrakan lari yang kamu suruh kita membukanya ulang.”
Dipa terdiam. Nafasnya berat. Semua terasa seperti gumpalan debu masa lalu yang kembali menghantuinya.
“Aku belum bisa percaya ini semua,” gumamnya. “Aku juga tidak bisa diam sekarang.”
Reina mencondongkan tubuhnya. “Dipa, kita harus gerak duluan sebelum Archio atau Amora menggunakannya. Bisa saja mereka tahu identitas Grace, dan mengincarnya dan itu sangat berbahaya untuknya.”
**
Di tempat lain, Grace duduk di ruang kecil di belakang toko.
Roti-roti sudah selesai ia panggang, dan Ziora sedang keluar membeli beberapa bahan tambahan. Suasana toko sunyi, hanya terdengar detak jam dan suara angin dari celah jendela.
Grace menatap layar ponselnya, membuka galeri. Sebuah foto tua ibunya muncul. Ia baru mendapat kiriman itu dari paman jauhnya di luar kota.
Foto itu sangat tua, ibunya berdiri di tengah ladang bunga, mengenakan gaun putih sederhana dan tersenyum.
Seketika ia menoleh saat bel pintu depan toko berbunyi. Grace bangkit pelan dan berjalan ke meja depan.
Seorang pria berpakaian hitam masuk, wajahnya asing dan penuh luka di pipi. Tatapannya tajam, dan langkahnya berat seperti sedang mengintai.
“Selamat sore,” sapa Grace, berusaha tenang.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Saya cuma mau tanya, toko ini milik siapa?”
Grace mengernyit. “Milik saya dan kakak saya.”
Pria itu tertawa pendek. “Menarik sekali.”
Ia lalu melangkah perlahan, melihat-lihat etalase seolah mencari sesuatu. Matanya bergerak cepat. Grace mulai merasa tidak nyaman dengan hal itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya lagi.
“Ah, tidak. Saya hanya mampir. Mungkin lain kali saya beli.” Pria itu melangkah keluar, tapi sebelum pintu tertutup, ia melirik lagi ke arah Grace dan berbisik pelan, “Kau mirip dengan seseorang…”
Grace bergidik mendengar hal itu. Setelah itu Ziora datang dari luar toko, mengangkat kantong belanjanya. “Siapa itu tadi, Dek?”
Grace masih mematung. “Tidak tahu, Kak. Serem banget Tatapannya kayak mengenalku, tapi aku tidak mengenalnya.”
Ziora terdiam sesaat dan merasakan perasaannya tidak nyaman. “Dek, sepertinya kita harus mulai hati-hati sekarang. Kalo Dipa datang lagi, lebih baik kamu memberitahunya. Siapa tahu dia bisa melindungi kita.”
Grace menatapnya dan terdiam. “Apa Kakak yakin?”
Ziora mengangguk pelan. “Kakak merasakan Dipa itu orang baik, walau terkesan misterius, tapi sepertinya dia bisa menolong kita. Kalau perlu nanti kamu kasih aja nomormu, Oke.”
Grace mengangguk pelan dan hanya mengangguk Mendengarkan ucapan Kak Ziora.
**
Di malam yang sama, Dipa berdiri di atap gedung tempat persembunyian lamanya, ditemani Reina dan Galen.
“Besok kita mulai penyelidikan ke arah Elvina dan semua yang pernah terlibat dalam kecelakaan itu,” ujar Reina.
Galen menambahkan, “Kami akan mengamankan toko Grace. Siapapun yang mengawasi toko itu, aku akan mencoba menjaganya.”
Dipa mengangguk. “Grace tidak boleh tahu apa-apa soal ini. Biar aku yang mengurusnya.”
Reina menyeringai. “Kau mulai berubah, Dipa. Apa karena kamu sudah tahu, Grace ada hubungan dengan semua ini.”
Dipa menoleh dengan sorot mata dingin. “Ya. Aku cuma tidak mau kehilangan siapa pun lagi. Termasuk dia.”
**
Keesokan harinya, Samudra berada di dalam mobil pengintai yang diparkir dua blok dari toko roti. Ia memperhatikan setiap orang yang masuk dan keluar, sesekali mencatat plat nomor yang mencurigakan.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di seberang jalan, pengendaranya memakai helm hitam penuh. “
Target mencurigakan, posisi jam dua,” gumam Samudra melalui earphone ke Galen.
Galen, yang sedang berada di toko buku seberang jalan, langsung mengangkat matanya dari majalah yang ia pegang. Ia melihat arah yang dimaksud, lalu berjalan keluar tanpa menarik perhatian. Namun, pria bermotor itu langsung pergi begitu melihat Galen melangkah keluar.
Samudra mencatat plat nomornya cepat. “Dia tidak asal lewat. Dia sedang memantaunya,” ucap Samudra.
Galen mengangguk sambil kembali berbicara di mic-nya. “Kita harus perketat penjagaan. Mereka mulai bergerak.”
**
Di ruangan lain, Reina sedang membuka berkas lama yang disimpan di brankas bawah tanah markas lama.
Di sana, ia menemukan sebuah catatan investigasi lama milik ayah Dipa.
Di halaman terakhir tertulis: "Target pengintaian: Elvina Xyanavia.
Potensi ancaman. Arahkan pada agen internal: Ilham Madya Guna."
Reina terdiam membaca itu. Tatapannya mengeras. “Aku tahu Paman Ilham itu pria yang sifatnya buruk, tetapi kenapa setega ini dengan keponakannya sendiri,” bisiknya. Ia langsung mengambil foto dokumen itu dan mengirimkan ke Dipa.
Tak lama, Dipa membalas singkat.
Dipa: “Temui aku. Ini sudah lebih dari cukup buktinya. Waktunya kita membuka semua permainan ini."
