
Ringkasan
Dipa Renjana tumbuh dalam dunia gelap mafia sejak kematian kedua orang tuanya yang misterius. Hidupnya dikelilingi kekerasan, darah, dan pengkhianatan. Namun, segalanya mulai berubah ketika tak sengaja ia bertemu seorang gadis roti bernama Grace Xynavia seorang wanita biasa dengan luka masa lalu yang dalam dan memiliki hati paling tulus yang pernah ia temui. Grace tak tahu siapa Dipa sebenarnya. Ia hanya melihat pria asing yang misterius, tapi diam-diam perhatian kepadanya. Sementara Dipa yang terbiasa hidup tanpa rasa, mendapati dirinya mulai merasa hangat kembali hanya dengan melihat senyuman gadis itu. Cinta di antara mereka tidak pernah mudah. Masa lalu, dendam, dan bahaya terus mengintai dari balik bayang-bayang. Ketika pengkhianatan mulai terungkap, dan musuh bergerak dalam diam, mampukah cinta yang tumbuh dari dua jiwa yang sama-sama terluka ini bertahan?
Bab 1
Hujan mengguyur deras kota malam itu. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu kota yang redup. Di dalam sebuah mobil hitam mewah yang melaju pelan.
Dipa Renjana memandangi tetesan air hujan yang mengalir di kaca jendela. Matanya dingin, kosong, seolah tak terusik oleh gemuruh di luar.
"Sial! Kenapa hal ini mengingatku kepada kejadian itu,” gumamnya.
Genggaman tangannya mengeras di atas setir. Bayangan kecelakaan yang merenggut kedua orang tuanya kembali menyeruak dalam pikirannya.
Sudah bertahun-tahun berlalu. Namun, luka itu tetap membuatnya terluka.
Ponselnya bergetar. Nama Reina tertera di layar. Ia mengangkatnya tanpa ragu.
"Ya?"
"Tuan Dipa, laporan pertemuan mafia rival sudah saya kirim ke email Anda. Ada pergerakan mencurigakan dari Archio Cyrus."
Dipa menghela napas. "Baik. Terima kasih, Reina."
Sambungan terputus. Ia meremas kemudi sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sebuah toko kecil di sudut jalan.
Lampunya temaram, papan kayunya bertuliskan: Xynavia’s Bakery.
Entah dorongan dari mana, Dipa membelokkan mobilnya, memarkir tepat di depan toko itu.
Hujan masih deras. Ia mengambil payung hitam dari kursi belakang, membuka pintu, dan melangkah masuk.
Bunyi bel pintu menyambutnya. Aroma manis roti hangat memenuhi ruangan. Suasana toko kecil itu sederhana namun terasa hangat.
Seorang gadis dengan apron cokelat tua berdiri di balik etalase kaca. Rambut hitamnya dikuncir rapi ke samping, wajahnya manis dengan sorot matanya tajam.
Grace Xynavia mengangkat wajah, menatap Dipa dengan alis terangkat.
"Silakan, Pak. Mau pesan apa?" suaranya datar.
Dipa mengamati sekilas, kemudian berjalan pelan mendekati etalase.
"Rekomendasi Anda apa?" tanyanya dengan suara berat dan tenang.
Grace memandangnya sebentar. Pria ini tampak berbeda dari pelanggan biasa. Jas hitam rapi, postur tegap, sorot mata tajam, dan aura dingin yang entah mengapa membuat udara di sekitarnya ikut menegang.
"Croissant cokelat yang masih hangat,” jawabnya singkat.
Dipa mengangguk. "Pesan satu."
Grace mengambil satu croissant dengan cekatan, membungkusnya, lalu meletakkannya di meja kasir.
"Sepuluh ribu," katanya.
Dipa mengeluarkan dompet kulit dari jasnya, menyerahkan selembar seratus ribu.
Grace menerima dengan tangan dingin, lalu menyiapkan kembalian.
Saat menyerahkan kembalian, jemari mereka nyaris bersentuhan. Ada keheningan singkat sesaat.
Dipa memperhatikan mata gadis itu. Ada luka yang bersembunyi di balik ketegasan matanya. Luka yang terasa familiar.
"Dia sepertinya menyimpan sesuatu." batinnya.
"Sering sepi di sini?" tanya Dipa tiba-tiba, memecah keheningan.
Grace sedikit mengernyit. "Tergantung. Biasanya ramai pagi dan sore. Malam begini, ya memang sepi."
Dipa mengangguk pelan, lalu mengambil bungkusan croissantnya. "Rasanya enak?"
Grace menghela napas pendek, nada bicaranya mulai ketus. "Kalau tidak enak, tidak mungkin masih buka sampai sekarang."
Dipa menahan senyum kecil di sudut bibir. Judes. Sifat seperti ini justru membuat ketertarikannya muncul. Bukan tipe wanita manja yang suka berpura-pura.
"Baiklah," katanya sambil melangkah menuju pintu. "Sampai jumpa, Nona..."
"Grace," potong Grace cepat. "Nama saya Grace Xyanavia.”
Dipa menoleh sebentar, menatap dalam. "Grace," ulangnya pelan, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi dan roti yang masih tercium di toko itu.
**
Beberapa blok dari sana...
Di sebuah ruangan gelap dengan kaca besar menghadap kota, Reina Avrina berdiri memandangi laptopnya. Wajahnya cemas.
"Ternyata Archio bergerak cepat. Mereka mulai merusak jalur logistik pelabuhan kita. Samudra juga melaporkan pergerakan transaksi gelap dari kelompok Timur,” gumamnya.
Ponselnya berdering. Nama Samudra muncul di layar.
"Reina, posisi kamu aman?" suara Samudra terdengar.
"Aman. Tapi mereka semakin berani. Dipa harus segera bertindak," jawab Reina tegas.
"Kalau begini terus, kita bisa diserang dari dua sisi. Galen juga sedang pantau area barat."
Reina memejamkan mata sejenak. Tekanan dunia gelap mafia semakin mendesak dan Dipa... sahabatnya itu sedang menapaki jalur berbahaya antara dendam, kekuasaan, dan kini cinta.
**
Kembali ke apartemen Dipa...
Dipa duduk di depan jendela lebar kamarnya, menatap kosong ke arah kota.
"Sebenarnya kenapa aku mampir ke toko itu?"
Bayangan wajah Grace melintas dalam benaknya. Tatapan tajamnya. Keteguhan dalam dirinya. Bukan sekedar gadis pembuat roti biasa. Ada sesuatu yang membuat hatinya menghangat.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Reina masuk membawa beberapa berkas.
"Permisi, saya mau membawakan semua laporan hari ini yang sudah saya susun, Tuan," ujarnya.
Dipa mengambil berkas itu. Matanya menatap angka-angka, lalu berhenti pada laporan transaksi gelap dari grup Archio.
"Mereka semakin terang-terangan, rupanya,”gumam Dipa dingin.
Reina mengangguk pelan. "Saya rasa, ini bukan sekadar permainan bisnis, Dipa. Ada sesuatu yang lebih besar."
Dipa menghembuskan napas panjang.
"Aku akan urus mereka, tapi satu hal, Reina," katanya sambil menatap sahabatnya itu, "pertemuan dengan Archio... jangan kamu atur dulu. Biarkan aku memancing mereka."
"Baik, Tuan."
Reina ragu sejenak, lalu memberanikan diri bertanya. "Ngomong-ngomong... tadi Anda mampir ke toko roti?"
Dipa menoleh. Sekilas senyum tipis muncul di wajah dinginnya.
"Ya. Ada tempat yang menarik di sana," jawabnya pendek.
Reina mengerutkan keningnya. "Tempat menarik?
"Ya," ujar Dipa sambil kembali menatap jendela, membiarkan pikirannya kembali larut pada gadis bernama Grace.
**
Setelah menatap sekilas dokumen yang baru saja dikirimkan Reina, Dipa menghela napasnya.
Di balik keberhasilannya menguasai bisnis warisan ayahnya, ia paham betul bahwa kekuasaan selalu punya harga mahal.
Bunyi ketukan pintu kembali terdengar. Reina masuk dengan beberapa berkas tambahan di tangannya.
"Ada laporan tambahan dari keuangan, Tuan," ucap Reina sambil menyerahkan map cokelat itu.
Dipa mengangguk singkat. “Sudah kamu periksa semuanya?”
“Sudah. Tidak ada penyimpangan besar, hanya beberapa pengeluaran untuk pengamanan wilayah utara. Samudra mengatur langsung,” jelas Reina.
Nama Samudra memang cukup dipercayai Dipa untuk mengurus lini keamanan bisnisnya. Di dunia mafia, loyalitas seperti Samudra sangat langka dicari.
Dipa membuka map itu sebentar, lalu menutupnya kembali. Fokus pikirannya kembali mengarah ke pembicaraan mereka tadi. Tentang siapa sebenarnya biang kerok di balik kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya.
“Aku ingin semua catatan lama perusahaan ayahku dibongkar kembali. Aku yakin, di sana ada jejak yang selama ini sengaja dihapus mereka.”
Reina mengangguk serius. “Baik, Tuan. Saya akan minta Galen ikut membantu menelusuri data lama.”
Dipa menatap sekilas sekretaris setianya itu. “Reina.”
“Ya, Tuan?”
“Terima kasih karena selalu ada di pihakku.”
Reina tersenyum tipis. “Saya bekerja bukan hanya untuk perusahaan, Tuan. Saya utamakan karena rasa hormat saya pada keluarga Anda.”
Sikap profesional Reina memang membuat Dipa selalu merasa tenang mempercayakan banyak hal padanya dan ia sadar, permainan yang akan dihadapi ke depan jauh lebih berbahaya dibanding sekarang.
Tak lama, ponselnya kembali bergetar. Kali ini nama Galen muncul di layar.
“Iya, Galen?”
“Orang kita menemukan sesuatu. Ada catatan keuangan lama yang disembunyikan mereka. Nama Ilham tertera di sana, Tuan.”
Dahi Dipa langsung mengernyit. Nama pamannya sendiri ternyata terlibat dalam dokumen lama yang seharusnya bersih.
Ilham Madya Guna, adik dari almarhum ayahnya, selama ini dikenal sebagai orang yang netral dan jauh dari urusan bisnis keluarga.
“Aku akan cek sendiri. Kirimkan salinannya ke Reina.”
“Baik, Tuan.”
Panggilan berakhir, sementara dada Dipa mulai terasa sesak. Jika benar pamannya terlibat, artinya pengkhianatan itu datang dari darah dagingnya sendiri.
**
Sementara di tempat lain, suasana Xynavia’s Bakery masih ramai oleh pelanggan setia.
Grace yang sejak pagi sudah sibuk melayani pembeli, baru saja selesai menata rak terakhir saat itu suara bel pintu berbunyi.
Saat menoleh, mata Grace membulat pelan. Pria yang semalam membeli roti coklat kini kembali berdiri di hadapannya.
“Selamat siang,” sapa Dipa dengan suara tenang.
Grace menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka pria misterius itu datang lagi.
“Selamat siang. Anda kembali lagi?” tanyanya sedikit canggung.
Dipa tersenyum samar. “Roti kejumu cukup enak untuk membuatku kembali.”
Grace mengangkat alis. “Apa karena roti, atau karena ada hal lain?”
Dipa menatapnya sesaat. Ada ketegasan sekaligus kecurigaan dalam tatapan Grace, sesuatu yang membuatnya semakin tertarik.
“Mungkin keduanya.”
Grace menghela napas, mencoba tetap berkerja profesional. “Silakan pesan, Tuan.”
“Seperti kemarin. Satu roti keju,” ucap Dipa santai.
Grace mengambil roti pesanan itu, membungkusnya, lalu menyerahkan padanya.
“Sepuluh ribu.”
Kali ini, Dipa mengeluarkan uang pas, membuat Grace sedikit tersenyum.
“Belajar dari uang berlebihan kemarin,” ucap Dipa ringan.
“Baguslah kalau ingat soal itu,” balas Grace singkat.
Dipa menerima roti itu dan memandang sekeliling toko.
“Tempat ini tenang. Apa kamu kerja sendirian di sini?”
Grace mengangguk. “Biasanya begitu. Kakakku kadang membantu, tapi sebagian besar saya sendiri di sini.”
“Berani sekali seorang gadis muda sepertimu menjalankan bisnis sendiri,” ujar Dipa pelan, ada kekaguman dalam suaranya.
“Saya harus berani. Hidup tak memberi banyak pilihan,” jawab Grace datar.
Dipa mengangguk pelan. Jawaban itu terasa akrab dengannya.
Mereka berdua sama-sama berjuang dalam kerasnya kehidupan, hanya berbeda dunia.
Sebelum pergi, Dipa kembali menatap Grace. “Mungkin lain kali aku akan mencoba varian rotimu yang lain.”
Grace tersenyum tipis. “Silakan, Tuan.”
Setelah itu Dipa melangkah keluar, meninggalkan aroma manis dari toko itu. Kini pikirannya semakin terusik oleh gadis pembuat roti itu. Ada sesuatu yang membuat hatinya sulit mengabaikan Grace.
