Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Langit masih mendung, hujan belum turun, tapi udara pagi terasa basah dan berat.

Di dalam ruang latihan bawah tanah milik Dipa, suara hantaman pukulan bertalu-talu memecah kesunyian.

Tinju Dipa menghantam samsak keras-keras. Keringat mengucur dari pelipisnya, membasahi kaus abu-abu yang menempel di tubuh.

Nafasnya memburu, tapi matanya tetap tajam. Seolah ingin melupakan atau malah sebaliknya mungkin, bernama Grace.

Nama itu kembali mengusik pikirannya. Sekali lagi.

Sejak pertemuan mereka, otaknya tak pernah berhenti memutar ulang momen itu. Gadis pembuat roti itu dengan mata tajam dan sikap jutek anehnya berhasil menyelinap masuk ke dalam pertahanannya.

“Cih… Kenapa dia terus muncul di kepalaku?” gumam Dipa sambil menghantam samsak lebih keras.

Samsak bergoyang hebat. Tangannya sudah memerah. Namun, hatinya tetap tak tenang.

Pintu ruangan terbuka. Galen muncul dengan raut santai, menyandarkan bahunya ke kusen.

“Kau serius latihan atau sedang frustasi karena masalah, Dip?” tanyanya sambil melipat tangan.

Dipa hanya melirik tanpa menjawabnya.

Galen berjalan mendekat, duduk di bangku panjang yang ada di sisi ruangan. “Reina bilang kau belum makan sejak tadi malam. Kau bukan robot, tahu?”

“Aku tidak lapar.”

“Bukan soal lapar, kamu nyiksa diri sendiri. Jangan bilang karena gadis misterius itu.”

Dipa terdiam sesaat.

Galen mengangkat alisnya. “Seriusan?”

“Dia beda, Len.” Akhirnya Dipa bicara. Suaranya rendah, tapi ada gejolak aneh di dalamnya. “Dia bukan seperti yang lain. Tidak pernah mengemis perhatian juga bukan karakter yang suka manja.”

Galen tertawa pendek. “Gadis seperti itu biasanya paling berbahaya.”

“Bisa jadi.” Dipa mengangguk pelan, “Dia terlihat tulus.”

Galen menyipitkan mata, memperhatikan sahabatnya yang tampak lebih rapuh dari biasanya. “Aku belum pernah liat kamu mikir sampai segini buat gadis Jadi… mau cerita dari awal?”

Dipa menyeka keringat dengan handuk. Hening sejenak, tapi kemudian matanya menatap kosong ke langit-langit ruangan, seperti menarik kenangan jauh yang pelan-pelan muncul.

**

Beberapa minggu lalu

Di sebuah perempatan sempit, dekat toko roti kecil di pinggiran kota.

Dipa baru saja keluar dari mobilnya, berjalan tergesa-gesa dari gedung Matanya mengamati sekitar, dengan emosi menyelimuti hatinya.

Saat itulah ia menabrak seseoran tidak sengaja.

“Aduh…” desah gadis itu, sambil menepuk-nepuk bajunya yang bertabur putih.

Seorang gadis jatuh terduduk. Sebungkus tepung dan roti yang dibawanya berceceran di tanah.

Dipa langsung jongkok. “Maaf.”

“Lain kali hati-hati, Pak!” hardiknya tanpa menatap wajah pria itu.

Saat mata mereka akhirnya bertemu, waktu seperti berhenti sesaat. Mata coklat gadis itu memancarkan kemarahan, tapi juga keberanian.

Saat itu Dipa merasakannya. Ada sesuatu yang melunturkan hatinya.

Entah kenapa, tatapan gadis itu yang mampu menembus benteng dingin yang selama ini ia bangun.

Dipa hendak menawarkan bantuan, tapi gadis itu sudah lebih dulu berkata, “Tidak usah membantuku. Aku bisa sendiri.”

Ia pergi tanpa bertanya siapa Dipa, atau memohon maaf padanya.

Gadis itu bangkit, membersihkan tangannya, lalu pergi begitu saja tanpa menoleh. Dan sejak hari itu, Dipa sadar dia sepertinya tertarik kepadanya.”

**

“Kau jatuh hati pada gadis roti itu,” ujar Galen, menyela kenangan Dipa dengan senyum geli.

Dipa menghela napas. “Mungkin.”

“Terus, maumu apa, Dipa?”

Dipa menggeleng. “Aku tidak tahu, tapi aku hanya ingin melihatnya saja.”

“Berarti kamu benar-benar tertarik padanya,” ucapnya.

Alih-alih menjawab, Dipa mengambil botol air mineral dan meneguknya dalam. Ia menatap kaca di seberangnya.

Sosoknya sendiri terpampang di sana dengan gagah, berkuasa, tapi juga kesepian.

**

Hari sudah mulai gelap saat Dipa Renjana duduk sendiri di ruang kerja, lampu temaram menyinari wajahnya yang terlihat lebih tenang dari biasanya.

Di hadapannya terbuka satu map laporan keuangan, tapi sejak tadi ia belum juga membalik halaman. Pandangannya kosong pikirannya terbang ke masa lalu.

Bukan masa lalu yang penuh luka, tapi ke momen yang baru saja terjadi. Saat ia bertabrakan dengan seorang gadis mungil yang membawa tepung.

Grace Xynavia. Kilasan manis itu kembali memenuhi kepalanya.

Kala itu, Dipa berlari keluar dari sebuah gedung usai bertemu orang dari masa lalu yang membongkar rahasia tentang kematian ayahnya. Emosinya campur aduk. Nafasnya sesak. Ia hanya ingin lari sejauh mungkin tanpa memikirkan arah.

Dan saat berbelok di gang kecil menuju jalan besar, ia tidak sengaja menabrak seseorang.

Suara tubuh mereka berbenturan begitu keras hingga membuat kantong tepung yang dibawa gadis itu jatuh, isinya tumpah memenuhi aspal.

Dipa ikut terdorong sedikit ke belakang, menahan napas saat mendengar suara kecil mengaduh.

“Aduh…” desah gadis itu, sambil menepuk-nepuk bajunya yang tertabur putih.

Dipa refleks ingin membantu, tapi yang membuatnya terpaku adalah mata itu.

Mata gadis yang menatapnya kesal, tanpa takut sedikitpun. “Lain kali hati-hati, Pak!” hardiknya, lalu menatap wajah pria itu.

Dipa nyaris tertawa. Bukan karena lucu, tetapi juga kaget. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ada orang yang berani memarahinya seperti itu, apalagi hanya karena tabrakan kecil.

“Bajuku jadi begini,” lanjut Grace sambil memunguti kantong tepung kosong.

Dipa akhirnya membuka suara. “Maaf. Aku tidak melihatmu.”

Grace melirik tajam. “Baguslah.”

Ia pun berdiri, mengibaskan celemeknya dengan tangan dan memunguti sisa tepung dengan sabar.

Dipa hendak menawarkan bantuan, tapi gadis itu sudah lebih dulu berkata, “Tidak usah membantuku. Aku bisa sendiri.”

Hanya meninggalkan siluet berdebu dan aroma manis yang entah berasal dari bajunya atau sisa tepung itu.

Saat itu, Dipa berdiri lama di tempat. Merasakan jantungnya berdetak dengan irama yang aneh. Bukan takut, bukan marah, tapi tertarik kepadanya.

Kini, ia menghela napas. Tangannya mengepal di atas map.

“Grace Xynavia…” gumamnya lirih. “Kamu bahkan tidak tahu siapa aku, tapi kamu berhasil merobohkan dunia yang ku pertahankan selama bertahun-tahun.”

Ia tahu, dunia tempatnya berdiri terlalu gelap untuk disentuh gadis sepolos itu.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Samudra masuk.

Samudra: “Archio mulai gerak. Satu pengiriman barang malam ini mungkin dipantau oleh mereka.”

Dipa mengetik cepat.

Dipa: “Siapkan jalur cadangan ke sana. Jangan sampai ada yang tahu hal ini.”

Setelah mengirim, ia kembali memandangi jendela besar. Pikirannya kembali ke satu titik. Pertemuan itu bukan kebetulan. Ia percaya semesta sedang menguji hatinya.

**

Sementara itu, di kamar mungil beraroma vanila, Grace masih terjaga.

Selimut menutupi seluruh tubuhnya, dan sekarang pikirannya belum bisa tenang.

Ia masih mengingat kejadian aneh beberapa hari lalu. Saat seseorang menabraknya saat ia sedang membawa tepung dari toko grosir.

Bukan karena tabrakannya, tapi karena tatapan pria itu walau hanya sebentar.

Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya. Seperti luka yang sangat dalam, tetapi hanya sekilas saat itu.

“Kenapa aku malah mengingat pria itu sih?” gumam Grace pelan.

Ia menoleh, menatap langit-langit. Pikiran tentang Alaska Regan mantan kekasih yang meninggalkannya masih suka muncul tiba-tiba, tapi sejak kejadian tabrakan itu. Sekarang malah teringat dengan pria bernama Dipa.

“Aku ingat nama dia di internet, Dipa Renjana, ternyata dia pekerjaannya seorang direktur, tapi kenapa auranya sangat misterius, ya dan aku seperti pernah melihatnya, tetapi di mana?”

Yang jelas sejak hari itu, pria bernama Dipa Renjana sering mampir ke tokonya. Membeli roti dan pergi begitu saja dan harusnya ia merasa risih setiap kali pria itu datang ke tokonya, tetapi hati Grace terasa sedikit hangat karena bertemu dengannya tanpa tahu alasannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel