Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

BAB 2

Hari berganti. Dipa Renjana kembali sibuk dengan aktivitasnya yang penuh tekanan.

Ruangan kantornya dipenuhi berkas-berkas yang harus ditandatangani, sementara Reina Avrina, sahabat sekaligus sekretarisnya, berdiri di samping meja, membacakan beberapa laporan penting.

“Pemasok dari Eropa meminta tambahan waktu pengiriman,” lapor Reina sambil menyerahkan map merah ke tangannya.

Dipa hanya mengangguk tanpa mengangkat kepala. Tatapannya tajam menelusuri angka-angka di atas kertas, pikirannya masih sibuk memikirkan banyak hal.

Salah satunya adalah gadis pembuat roti yang tanpa sadar mulai merusak konsentrasinya sejak pertemuan mereka kembal lagi di kafe.

Grace Xynavia. Nama itu terus berputar di pikirannya sejak kemarin. Grace itu berbeda dari yang lainya, tidak seperti gadis yang berusaha mendekat kepadanya demi kekayaan atau kekuasaan.

Gadis itu juga yang membuatnya semakin menarik di mata Dipa.

Reina melirik tuannya sekilas, melihat Dipa tampak lebih sering melamun sejak kemarin.

“Tuan,” panggil Reina pelan, mencoba mengembalikannya ke realita. “Apa ada masalah?”

Dipa menghela napas pelan, meletakkan berkas di atas meja kaca. “Tidak.”

Reina sedikit mengernyit. “Sejak kemarin Anda terlihat tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran, ya?”

Dipa mengangkat alis, menatap Reina dalam-dalam. Sahabatnya itu sudah terlalu lama bekerja bersamanya hingga mampu membaca perubahan sekecil apapun dari ekspresinya walau sedang datar sekalipun.

“Hanya… Teringat seseorang,,” jawab Dipa singkat.

Reina mengerti dan memilih tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu batasannya.

Dalam dunia mereka, tak semua hal bisa dibicarakan dengan bebas, bahkan kepada orang terdekat sekalipun.

Ponsel di meja berdering, memecah suasana. Reina mengambil ponsel itu, melihat layar sejenak.

“Samudra menelepon,” lapornya.

Dipa mengangguk. “Angkat sekarang!”

Reina menekan tombol speaker. Suara berat Samudra terdengar dari seberang.

“Tuan, aku baru dapat kabar. Salah satu pengawal kita di pelabuhan terluka. Ada serangan kecil dari kelompok rival tadi malam.”

Dipa mengerutkan dahi. “Siapa pelakunya?”

“Belum jelas. Dari ciri-cirinya, kemungkinan anak buah Archio.”

Mendengar nama itu membuat rahang Dipa menegang. Archio Cyrus Alexius.

Musuh lamanya yang pernah menjadi teman, kini menjadi salah satu lawan paling berbahaya dalam bisnis gelap yang mereka geluti.

“Apa pengawal kita baik-baik saja?”

“Masih dirawat dengan baik. Hanya luka tembak ringan.”

“Baik. Tingkatkan penjagaan di semua titik. Aku tidak mau ada yang lengah lagi,” perintah Dipa tegas.

“Siap, Tuan.”

Sambungan telepon diputus. Reina menatap Dipa penuh kekhawatiran.

“Archio kembali bergerak. Dia tidak akan berhenti sebelum membuat masalah besar kepada kita.”

Dipa mendengkus pelan. “Biar dia seperti itu. Aku sudah siap untuk semua kemungkinan yang terjadi.”

Reina menghela napas. Terkadang ia kasihan dengan kehidupan Dipa. Sejak kematian orang tuanya, dunia pria itu tak pernah benar-benar damai. Dendam yang membara dalam dadanya membuatnya hidup di antara darah dan pengkhianatan.

**

Di sisi lain kota, Grace sedang sibuk mengatur etalase tokonya. Roti-roti baru yang baru saja keluar dari oven disusun rapi. Aroma manis memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan.

Ziora Tasya Olynel, kakaknya, masuk ke dalam toko sambil membawa dua cangkir kopi hangat.

“Pagi, Grace.”

Grace menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi, Kak.”

Ziora menyerahkan secangkir kopi pada adiknya. “Kamu kelihatan capek. Masih kepikiran soal kejadian kemarin?”

Grace menghela napas, mengambil cangkir dari tangan kakaknya. “Entahlah. Pria itu aneh.”

Ziora tertawa kecil. “Aneh? Maksudmu pria yang kemarin itu?”

Grace mengangguk. “Iya. Aku baru tahu setelah aku cari di Internet. Namanya Dipa Renjana kalo tidak salah.”

Mendengar nama itu membuat Ziora sedikit terkejut. Namun, ia menutupi ekspresinya.

Nama Dipa Renjana bukan nama asing di telinga orang-orang yang tahu siapa penguasa bayangan di kota ini.

“Kamu tahu siapa dia sebenarnya?” tanya Ziora hati-hati.

Grace menggeleng polos. “Tidak. Di internet informasinya bilang, dia bekerja di bidang bisnis.”

Ziora mengatupkan bibir, enggan menambahkan informasi. Baginya, lebih baik adiknya tetap tidak tahu untuk sementara waktu.

“Kalau memang kamu bertemu lagi dengannya, hati-hati saja,” pesan Ziora lembut.

Grace menatap kakaknya bingung. “Kenapa? Dia tidak terlihat seperti orang jahat.”

Ziora hanya tersenyum samar. “Kamu terlalu polos, Grace.”

Grace mendesah. “Aku tidak butuh drama baru dalam hidupku, Kak. Sudah cukup sekali disakiti.”

Nada suaranya melembut, mengingat luka lama yang masih menoreh di hatinya. Hubungan terakhirnya dengan Alaska Regan meninggalkan bekas pahit yang belum sepenuhnya hilang.

Ziora mengusap kepala adiknya lembut. “Oke, Kakak mengerti, tapi kamu harus ingat semua pria tidak sama sepertinya, Grace.”

**

Sementara itu, Dipa berdiri di balkon lantai atas kantornya, memandang langit malam yang kelam. Angin dingin berhembus menerpa wajahnya.

Pikirannya kembali melayang pada sosok gadis pembuat roti itu. Ada sesuatu dalam diri Grace yang berbeda, pelan-pelan menarik hatinya keluar dari kegelapan yang selama ini menelannya.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku, Grace Xynavia…" gumam Dipa lirih.

Di sudut hatinya, ia sadar sepenuhnya. Gadis itu mulai mengisi ruang kosong dalam hidupnya dan itu membuatnya takut kehilangan dan hancur.

**

Reina masuk ke dalam ruangan dengan wajah tegang, membawa tablet berisi laporan terbaru dari jaringan intel mereka.

Dipa masih berdiri di balkon. Namun, segera menoleh saat mendengar pintu diketuk ringan.

“Ada berita dari Galen." ucap Reina, menyerahkan tablet itu.

Dipa menerima tanpa berkata apa-apa. Tatapannya langsung jatuh pada dokumen digital yang berisi daftar transaksi lama yang entah bagaimana luput dari audit mereka sebelumnya.

Beberapa nama mencurigakan muncul, termasuk satu yang membuat alisnya terangkat tinggi.

“Ini… rekening lama milik pamanku?”

Reina mengangguk pelan. “Betul dan dana itu ditransfer ke perusahaan fiktif yang ternyata terhubung dengan Archio.”

Rahang Dipa mengeras. Ia menggenggam tablet itu lebih erat, seakan ingin meremasnya.

Perlahan, kepingan puzzle mulai menyatu di dalam kepalanya. Ilham. Archio. Pengkhianatan.

“Selama ini aku menyangka Archio hanya musuh bisnis biasa,” gumam Dipa dengan suara dalam.

Reina menatapnya khawatir. “Apa yang akan Anda lakukan?”

Dipa mengembalikan tablet itu. “Kita akan pantau semua gerakan pamanku. Jangan buat gerakan gegabah dulu. Aku ingin bukti lebih kuat sebelum menyerangnya balik.”

Reina mengangguk pelan. “Baik.”

**

Di sisi lain kota, malam mulai turun, menyelimuti jalanan dengan lampu-lampu redup.

Grace masih berada di tokonya, membereskan peralatan setelah toko tutup. Ia tidak sadar bahwa seseorang memperhatikannya dari kejauhan.

Dari dalam mobil hitam yang terparkir di seberang jalan, seorang pria berkacamata, memandangi tokonya dengan ekspresi tak terbaca.

“Ini gadis yang dekat dengan Dipa Renjana?” tanya pria itu pada seseorang di kursi belakang.

“Betul, Tuan Archio,” jawab suara berat dari pria yang duduk di belakangnya. “Dia tinggal bersama kakaknya. Tidak banyak yang tahu, tapi dia sering terlihat berbicara dengan Dipa akhir-akhir ini.”

Archio tersenyum tipis. Senyuman yang mengandung bahaya. “Lemah dan mudah disentuh,” gumamnya. “Mungkin... aku bisa memulainya dari sini.”

Ia menyalakan cerutunya, lalu membuka kaca jendela sedikit. Asap rokok menyebar, melayang pelan di udara malam itu.

Sementara itu, Dipa kembali duduk di ruang kerjanya. Kopi hitam di atas meja sudah dingin. Namun, ia tidak peduli. Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan hal kecil seperti itu.

Dalam diam, ia membuka galeri ponselnya, melihat foto-foto bangunan, laporan, dan satu gambar yang ia ambil diam-diam wajah Grace saat sedang melayani pelanggannya

Ia menghela napas panjangnya.

“Kenapa kamu begitu sulit untuk aku lupakan, Grace…”

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Kali ini, bukan dari Galen atau Samudra, tetapi dari nomor yang sudah lama tidak muncul.

Amora Khanza Adeline

Dipa menatap layar sejenak. Ia tidak berniat mengangkatnya. Namun, rasa ingin tahu terpaksa Ia mengangkatnya.

“Dipa…” suara lembut Amora langsung terdengar.

“Kau masih hidup. Kupikir kau sudah hilang ditelan dendammu.”

“Aku hidup lebih baik sekarang tanpa kehadiranmu,” jawab Dipa dingin.

Terdengar tawa ringan dari seberang. “Masih sinis seperti dulu. Aku dengar, kau dekat dengan gadis biasa. Apa sekarang seleramu turun?”

Dipa mengatupkan rahangnya. “Kalau kau menelepon hanya untuk bicara omong kosong, lebih baik jangan ganggu aku lagi.”

“Tenang saja, sayang. Kita akan segera bertemu. Dunia ini sempit, apalagi ketika masa lalu belum sepenuhnya selesai.”

Sambungan terputus tanpa peringatan. Dipa menatap layar ponselnya tajam, lalu melempar perangkat itu ke sofa di dekat meja.

Ada badai yang mulai datang dan dia tahu, Grace akan menjadi titik lemah yang akan dimanfaatkan musuh-musuhnya.

Dipa sudah tidak ingin hidup dalam bayang-bayang itu. Ia bersumpah, kali ini dia akan melindungi orang yang berarti untuknya. Apa pun itu taruhannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel