Pesan Singkat yang Menghangatkan
Udara malam terasa dingin ketika Aisha melangkah keluar dari restoran. Langit bertabur bintang, sementara lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan yang temaram. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur perasaannya setelah makan malam yang... anehnya menyenangkan.
Arka berjalan di sampingnya, langkahnya tetap tenang, nyaris tanpa suara. Tak ada basa-basi, tak ada obrolan tambahan, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.
Aisha melirik sekilas. Pria itu tampak seperti biasanya, ekspresi dingin, rahang tegas, dan mata tajam yang sulit ditebak. Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sesuatu yang lebih lembut, lebih hangat, meskipun samar.
Ketika mereka sampai di parkiran, Arka berhenti. Ia menggeser pandangannya ke Aisha, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Sebaliknya, ia hanya memasukkan tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dengan tenang.
"Sudah larut. Pulang hati-hati," katanya akhirnya, suaranya datar tapi terdengar tulus.
Aisha tersenyum kecil. "Kamu juga."
Tak ada lagi yang dikatakan. Arka hanya mengangguk tipis, lalu berbalik menuju mobilnya.
Aisha menghela napas begitu punggung pria itu menghilang di balik pintu mobil. Dadanya terasa aneh. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti pertanyaan yang belum terjawab.
Apa tadi itu? Kenapa interaksi mereka malam ini terasa… berbeda?
Di rumah, Aisha berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia mencoba tidak memikirkan Arka, tetapi gagal total. Setiap detail makan malam tadi terus berputar di pikirannya, cara Arka memilihkan menu untuknya, cara pria itu sesekali menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan, dan terutama, momen saat Arka tiba-tiba menghilang dalam pikirannya sendiri.
"Kenapa aku jadi kepikiran?" gumamnya sambil memeluk bantal.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Aisha menoleh dan mengernyit. "Hampir tengah malam. Siapa yang mengirim pesan selarut ini?"
Saat melihat nama di layar, matanya sedikit melebar.
Arka.
Ia menelan ludah sebelum membuka pesannya.
“Sudah tidur?”
Aisha berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak salah lihat. Arka? Mengiriminya pesan? Sejam setelah mereka berpisah?
Tangannya melayang di atas keyboard ponsel. Haruskah ia langsung membalas? Atau… tunggu dulu, ini aneh. Arka bukan tipe yang suka mengobrol. Apalagi, mengiriminya pesan tanpa alasan yang jelas.
Ia menggigit bibir. "Oke, tidak usah terlalu dipikirkan. Ini cuma pesan biasa. Mungkin formalitas."
“Belum. Ada apa?”
Balasannya cepat datang.
“Tidak ada. Hanya bertanya.”
Aisha menatap layar ponselnya, tertegun.
"Hanya bertanya? Serius? Oke, ini semakin aneh."
Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya kembali bergetar.
“Makan malam tadi… lumayan.”
Aisha terdiam. Ia bisa membayangkan ekspresi datar Arka saat menuliskan itu.
"Lumayan? Itu saja?"
Entah kenapa, senyum kecil terbit di wajahnya.
“Lumayan?” balasnya, iseng. “Aku kira enak.”
Lama tak ada balasan. Aisha hampir mengira Arka tidak akan menjawab lagi. Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar lagi.
“Bukan makanannya.”
Jantung Aisha tiba-tiba berdebar lebih cepat.
"Bukan makanannya? Tunggu... Jadi maksudnya…?"
Ia menelan ludah, tiba-tiba merasa canggung dengan dirinya sendiri. "Apakah ini semacam pujian terselubung? Dari seorang Arka?"
Sial, kenapa dadanya jadi terasa hangat?
Aisha menggigit bibir, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya. Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya lagi.
"Tidak. Kalau terlalu blak-blakan, nanti malah makin canggung."
Akhirnya, ia membalas dengan sederhana.
“Aku juga merasa begitu.”
Dan untuk pertama kalinya, Aisha benar-benar menantikan balasan dari seseorang.
Beberapa hari berlalu, tetapi kebiasaan baru itu tetap bertahan.
Arka mulai sering mengirimkan pesan. Tidak setiap waktu, dan tidak pernah panjang. Tetapi, ada sesuatu dalam pesan-pesan singkatnya yang membuat Aisha tidak bisa berhenti tersenyum kecil setiap kali membacanya.
“Jangan lupa makan.”
“Sedang sibuk?”
“Tadi lihat buku yang mirip dengan yang kamu cari.”
Sederhana, tapi terasa… manis.
Di sisi lain, Aisha tidak bisa menahan diri untuk menggoda pria itu sesekali.
“Arka, kamu benar-benar sedang mengetik pesan sekarang? Atau ada asisten rahasia yang melakukannya untukmu?”
Balasannya selalu singkat, tapi cukup untuk membuat Aisha tertawa kecil.
“Lucu.”
Tentu saja, ia bisa membayangkan ekspresi datarnya saat mengetik itu.
Suatu malam, Aisha tidak bisa menahan diri lagi dan mengetik pesan panjang.
“Serius, Arka. Kenapa tiba-tiba rajin mengirim pesan? Kamu tidak biasanya begini.”
Balasannya datang lebih cepat dari yang ia duga.
“Karena aku mau.”
Aisha terdiam.
Jantungnya kembali berdebar tanpa alasan yang jelas. "Apa itu tadi?"
Ia menatap layar, lalu menarik napas panjang. Oke, Arka benar-benar membuatnya bingung.
Tapi anehnya… ia tidak keberatan.
Sebaliknya, ia mulai menantikan pesan-pesan itu. Dan tanpa ia sadari, hubungan mereka mulai berubah—perlahan, tetapi pasti.
Langit sore mulai berwarna jingga ketika Aisha berjalan keluar dari klinik hewan tempatnya bekerja. Angin sore menyapu lembut rambutnya yang terurai, membawa aroma tanah basah setelah hujan siang tadi. Hari ini melelahkan, tapi ada sesuatu yang membuatnya tetap tersenyum kecil, pesan dari Arka.
"Udah makan?"
Pesan singkat seperti biasa. Dingin, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa hangat. Seperti perhatian yang diberikan diam-diam, tanpa berlebihan, namun cukup untuk membuat hatinya terasa ringan.
Aisha mengetik balasan dengan santai.
"Baru selesai kerja. Belum makan. Kamu?"
Ia berjalan menuju halte, menunggu bus sambil menggenggam ponselnya. Matanya melirik layar berkali-kali, seakan menunggu balasan yang datang terlalu lama.
Ting!
"Lagi di luar."
Hanya dua kata. Kening Aisha berkerut. "Lagi di luar? Di mana?" gumamnya, mengerutkan bibirnya. Ia menimbang apakah harus bertanya lebih jauh atau membiarkan obrolan berakhir di sana.
Tapi sebelum ia sempat mengetik apa pun, suara seorang pasien yang ia temui tadi siang terngiang di kepalanya.
"Arka? Oh, dia itu tipe orang yang sulit ditebak. Dingin, misterius... hampir nggak ada yang benar-benar tahu tentang dia."
Aisha menggigit bibirnya. Ia mengingat bagaimana Arka selalu mengirim pesan singkat tanpa basa-basi, tapi di sisi lain juga selalu memastikan mereka tetap berkomunikasi. Lalu, jika benar dia tertutup dengan orang lain, kenapa dia tetap menghubunginya?
Ting!
Satu pesan baru muncul di layar.
"Lagi di dekat klinik."
Aisha menegakkan punggungnya. Matanya membulat.
"Serius? Buat apa?" balasnya cepat.
"Mau ketemu."
Detak jantungnya langsung naik satu tingkat. Tanpa berpikir panjang, Aisha menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang mungkin berdiri tidak jauh darinya. Dan benar saja, beberapa meter dari tempatnya berdiri, seorang pria bertubuh tegap dengan jaket hitam bersandar di dekat pohon, satu tangannya berada di saku celana.
Tatapan mereka bertemu sesaat. Aisha sempat ragu apakah harus melambaikan tangan atau pura-pura tidak melihat. Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, pria itu sudah berjalan mendekat dengan langkah santai khasnya.
"Apa kamu selalu tiba-tiba begini?" tanya Aisha begitu Arka berhenti di depannya.
Arka hanya mengangkat bahu. "Nggak selalu."
Aisha menyipitkan mata, mencoba mencari alasan di balik sikap pria itu. "Terus, kenapa tiba-tiba ke sini?"
Arka diam sebentar, lalu menjawab dengan datar, "Kamu bilang belum makan."
Aisha mengerjap. Butuh beberapa detik untuk menangkap maksud dari kata-kata itu.
"...Jadi kamu ke sini cuma buat ngajakin makan?" tanyanya dengan sedikit tak percaya.
Arka tidak menjawab, hanya menatapnya dengan ekspresi netral yang entah kenapa malah membuat Aisha ingin tertawa.
"Kamu serius?"
"Tidak kelihatan serius?"
Aisha memutar mata sambil menghela napas. "Astaga, kamu itu..."
Tapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, perutnya tiba-tiba berbunyi. Keras.
Keheningan langsung terasa canggung.
Arka menoleh padanya dengan alis sedikit terangkat. "Itu jawabanmu," katanya santai.
Aisha merona, buru-buru melipat tangan di perutnya. "Bukan. Itu cuma... kebetulan."
Arka menahan senyum. "Ayo makan."
Aisha mendesah pasrah. "Baiklah. Tapi aku yang pilih tempat."
Restoran kecil di sudut jalan dipenuhi aroma gurih dari masakan yang sedang dimasak. Lampu-lampunya berpendar hangat, memberikan kesan nyaman. Mereka duduk di meja dekat jendela, di mana hujan gerimis mulai turun lagi, menari di atas aspal.
Aisha menyeruput teh hangatnya, sesekali melirik Arka yang sibuk dengan makanannya.
"Jadi..." Aisha meletakkan cangkirnya. "Apa kamu selalu seperti ini?"
Arka menatapnya sekilas. "Seperti apa?"
Aisha mengangkat bahu. "Pendiam, tiba-tiba muncul, dan ngajak orang makan tanpa banyak penjelasan?"
Arka menaruh sumpitnya, menatapnya dengan tenang. "Aku nggak pendiam."
Aisha terkekeh. "Ya ampun, kamu bercanda?"
"Aku jawab serius," balasnya datar.
Aisha mendengus geli. "Oke. Jadi, kalau bukan pendiam, kamu ini orang seperti apa?"
Arka tidak langsung menjawab. Dia menatap ke luar jendela sebentar sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak tahu."
Jawaban yang entah kenapa membuat dada Aisha terasa sedikit sesak.
Arka kemudian melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Aku nggak terbiasa bicara banyak. Jadi kalau aku bicara... mungkin itu berarti aku memang ingin bicara."
Aisha terdiam. Matanya menelusuri wajah pria itu, mencoba membaca apa yang ada di balik tatapan gelapnya.
"Jadi... kamu nggak bicara ke banyak orang, tapi kamu masih menghubungi aku?" tanyanya hati-hati.
Arka mengangkat bahu. "Mungkin."
Hening sebentar. Aisha memiringkan kepalanya, berpikir keras. "Apa kamu punya sesuatu yang kamu sembunyikan?"
Arka menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Aisha hampir menahan napas.
Lalu, pria itu tersenyum kecil, samar, hampir tidak terlihat.
"Mungkin."
Jawaban itu membuat Aisha semakin penasaran. Tapi ia tahu satu hal. Arka tidak akan memberitahunya dengan mudah. Dan anehnya, ia semakin ingin tahu lebih banyak.
Tanpa sadar, benang tipis yang menghubungkan mereka semakin kuat. Sesuatu sedang terbentuk di antara mereka, sesuatu yang belum bisa Aisha definisikan.
