Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pertemuan yang Tidak Disengaja

Langit sore di pusat kota dipenuhi semburat oranye keemasan, menyelimuti jalanan yang mulai dipadati orang-orang yang pulang kerja. Udara masih hangat, dengan angin lembut yang sesekali berhembus membawa aroma kopi dari kafe-kafe kecil di sepanjang trotoar.

Aisha menelusuri jalan dengan langkah santai, membiarkan dirinya menikmati waktu senggang yang jarang ia dapatkan. Setelah hari-hari yang padat di klinik, ia merasa butuh sesuatu yang menenangkan—dan toko buku favoritnya adalah pilihan yang tepat.

Begitu memasuki toko, aroma khas kertas dan tinta menyambutnya. Rak-rak kayu tinggi dipenuhi buku-buku dari berbagai genre, menciptakan suasana tenang yang selalu ia sukai. Ia menarik napas dalam, membiarkan dirinya larut dalam ketenangan itu, sebelum mulai menjelajahi rak demi rak.

Saat tangannya menyentuh sebuah novel klasik, sudut matanya menangkap sosok yang tidak asing.

Di sudut ruangan, duduk di dekat jendela besar dengan cahaya sore yang menyorot wajahnya, ada Arka.

Pria itu mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang digulung sampai siku, memperlihatkan urat-urat halus di lengannya. Rambutnya yang sedikit acak tampak kontras dengan ekspresi fokusnya. Ia tengah membaca sebuah buku tebal, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mencerna setiap kata di halaman itu dengan serius.

Aisha sempat ragu. Haruskah ia menyapa? Atau berpura-pura tidak melihat?

Namun sebelum ia sempat mengambil keputusan, seolah memiliki radar tersendiri, Arka mendongak.

Tatapan mereka bertemu.

Mata gelap pria itu menatapnya dengan datar sejenak, sebelum akhirnya ia memberikan anggukan kecil. Bukan senyum, bukan sapaan hangat, hanya gestur kecil yang entah kenapa terasa begitu khas Arka.

Aisha tersenyum tipis. Mungkin ini kesempatan bagus untuk mengenalnya lebih jauh.

Ia melangkah mendekat. “Lagi baca apa?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

Arka menutup bukunya sedikit dan memperlihatkan sampulnya. "Psikologi Sosial."

Aisha menaikkan alis, lalu menatap pria itu dengan ekspresi geli. “Serius banget. Bacaannya berat.”

Arka mengangkat bahu ringan. “Menarik.”

“Menarik?” Aisha tertawa pelan. “Aku lebih suka novel misteri atau fantasi. Yang bisa bawa kita kabur dari kenyataan.”

Arka menatapnya sebentar, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Terkadang, memahami kenyataan lebih menarik daripada melarikan diri darinya.”

Aisha berpikir sejenak. “Mungkin. Tapi terkadang, terlalu banyak memahami kenyataan malah bikin stres.”

Arka menghela napas pendek. “Benar juga.”

Untuk sesaat, keduanya terdiam. Suasana di toko buku itu terasa nyaman, hanya ada suara halaman buku yang dibalik dan musik jazz instrumental yang mengalun pelan.

Aisha menarik kursi dan duduk di hadapan Arka tanpa diminta. “Kalau boleh tahu, kenapa kamu kasih aku teh waktu itu?”

Arka menatapnya dalam, seolah sedang menimbang-nimbang jawabannya. “Kamu kelihatan butuh sesuatu yang menenangkan.”

Aisha sedikit terkejut. “Hah? Dari mana kamu tahu?”

Pria itu mengangkat bahu santai. “Kelihatan aja.”

Aisha mengerjapkan mata. Bagaimana pria ini bisa melihat hal yang bahkan ia sendiri baru sadari?

Arka melihat ekspresi bingungnya dan menambahkan, “Waktu di taman, kamu kelihatan... lelah. Tapi tetap pura-pura baik-baik saja.”

Aisha terdiam. Ia tidak menyangka bahwa ada seseorang yang benar-benar memperhatikannya sedetail itu.

“…Terima kasih,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Arka mengangguk, lalu menyesap kopinya yang mulai dingin. “Jadi… apa tehnya enak?”

Aisha terkekeh. “Lumayan. Aku masih hidup setelah meminumnya, jadi kupikir aman.”

Sudut bibir Arka terangkat sedikit, hampir seperti senyum, tapi tidak sepenuhnya.

Aisha memperhatikannya dengan saksama. Pria ini sulit ditebak. Dingin, pendiam, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa hangat—sesuatu yang membuat Aisha ingin mengenalnya lebih jauh.

Ia mengambil napas dalam dan memutuskan untuk bertanya lagi. “Kamu sering ke sini?”

Arka mengangguk. “Tempatnya tenang.”

Aisha tersenyum. “Sama. Aku sering ke sini kalau butuh waktu buat diri sendiri.”

Arka hanya mengangguk kecil, tapi tatapannya tidak lagi setajam tadi. Ada sedikit kehangatan di sana, hampir seperti… ketertarikan?

Mungkin. Atau mungkin Aisha hanya terlalu banyak membaca novel romantis belakangan ini.

Tiba-tiba, pintu toko terbuka, dan suara lonceng kecil bergemerincing. Seorang pegawai toko muncul, membawa setumpuk buku, lalu tanpa sengaja tersandung kabel lampu kecil di dekat meja Arka.

Arka bergerak refleks.

Dengan cepat, ia menangkap salah satu buku yang hampir jatuh ke lantai, sementara pegawai itu panik meminta maaf.

Aisha menatapnya dengan takjub. “Refleksmu keren juga.”

Arka menghela napas dan meletakkan buku itu kembali ke meja. “Insting.”

Aisha mengangguk-angguk. “Aku makin penasaran, Arka. Kamu sebenarnya kerja di mana sih? Polisi? Agen rahasia?”

Arka menatapnya tanpa ekspresi. “Dokter.”

Aisha membeku. “Serius?”

Arka mengangguk.

Aisha melongo. “Jangan bercanda.”

Arka mengangkat alis. “Keliatan bercanda?”

Aisha tertawa. “Gak sih, tapi tetap susah dipercaya. Kamu dokter apa?”

Arka menyeruput kopinya. “Bedah.”

Aisha semakin terpana. “Kamu pasti bercanda. Dengan sikap dingin begini, gimana caranya pasien gak ketakutan?”

Arka menatapnya sekilas. “Aku gak ngobrol sama pasien. Aku cuma memperbaiki mereka.”

Aisha melangkah keluar dari toko buku, perasaan aneh menyelubungi dirinya. Pertemuan dengan Arka, meskipun singkat sepertinya lebih bermakna dari yang ia kira. Pria itu, yang biasanya tampak tertutup dan sulit dijangkau, tiba-tiba menunjukkan sisi yang lebih manusiawi. Mungkin ada harapan bahwa, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang lebih banyak yang ingin ia bagikan.

Saat mereka berpisah di depan pintu toko buku, Arka melangkah beberapa langkah lebih jauh sebelum berhenti, seolah mempertimbangkan sesuatu. Aisha berdiri diam, menunggu, meski hatinya sedikit ragu.

“Eh… Aisha,” suara Arka terdengar lebih rendah dari biasanya, seakan ada beban yang melatarbelakanginya. “Bagaimana kalau kita makan malam bersama?”

Aisha terkejut. Ia menatap Arka, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Makan malam?” jawabnya, suaranya hampir terjebak di tenggorokan.

Arka mengangguk, wajahnya serius namun ada sedikit kehangatan yang terpancar. "Ya, hanya makan malam... tidak ada yang aneh."

Aisha menunduk, mencoba menilai ajakan itu dalam hati. Makan malam, dengan Arka, di luar pekerjaan atau pertemuan yang tak terduga… Kenapa tidak?

"Baiklah," jawabnya akhirnya, ragu namun ingin tahu. "Tapi jangan terlalu banyak membuat janji, ya?" ia menambahkan dengan sedikit tawa.

Arka tersenyum tipis, senyum yang begitu langka, dan Aisha hampir tak percaya bahwa ia melihatnya. "Aku akan berusaha," katanya, lalu berjalan menuju mobilnya.

Malam itu, suasana restoran sangat kontras dengan kebisingan kota. Lampu temaram menerangi ruang makan dengan lembut, memberikan kesan hangat. Aisha duduk di meja yang dipilihkan Arka, menikmati aroma makanan yang menggoda di udara. Tembok kayu yang indah dan jendela besar yang menghadap taman luar menambah kenyamanan suasana.

Arka duduk di hadapannya dengan tenang, matanya tampak fokus pada menu, tapi Aisha bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Pria itu tidak terburu-buru. Ia memperhatikan setiap detail, setiap kata yang keluar dari mulutnya. Setiap kali ia berbicara, Arka memberikan perhatian yang lebih dari biasanya, matanya tidak hanya sekedar melihat, tapi seakan-akan berusaha memahami.

“Aku ingat kamu bilang suka masakan Italia. Bagaimana kalau pasta ini?” tanya Arka, dengan nada yang hampir... lembut.

“Ah, pasta? Aku suka banget, terutama dengan saus krim,” jawab Aisha sambil tersenyum, sedikit terkejut dengan perhatian Arka yang begitu spesifik.

Tanpa banyak kata, Arka memanggil pelayan dan memesan untuk mereka berdua. Ketika makanan datang, suasana mereka terasa lebih santai, namun tetap ada ketegangan tipis di udara—seperti dua orang yang baru mulai mengenal satu sama lain.

Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, tentang pekerjaan, hobi, dan musik. Aisha merasa semakin nyaman, meski hatinya masih merasa ada bagian dari Arka yang tidak bisa dijangkau.

Namun, di tengah percakapan yang mengalir, Aisha memperhatikan ekspresi Arka yang tiba-tiba berubah. Tiba-tiba saja, tatapan matanya terfokus pada titik di luar jendela, jauh di luar jangkauan pandangan Aisha. Hening sejenak, dan untuk pertama kalinya, Aisha merasakan jarak yang nyata di antara mereka.

Arka terdiam begitu lama, hingga Aisha hampir tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia menunduk, menyentuh gelas airnya dan mengambil napas, mencoba mengalihkan perhatian dari perubahan yang baru saja terjadi.

“Ada yang salah?” Aisha akhirnya bertanya, meski ia takut itu terlalu mengganggu.

Arka mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya sejenak, dan tersenyum tipis. Namun senyumnya terasa berbeda—seperti senyum yang dipaksakan. “Tidak, hanya sedikit mengingat hal lama,” jawabnya datar, kemudian menundukkan kepalanya lagi, melanjutkan makan.

Aisha mengerutkan kening. Apa yang baru saja ia lihat? Sepertinya ada sesuatu yang lebih dalam, jauh lebih dalam daripada yang ia duga. Ada kisah yang belum ia ketahui, sebuah kenangan atau masa lalu yang mengganggu Arka.

"Kenapa aku merasa seperti ada lebih dari sekadar pria pendiam di hadapanku?" pikir Aisha dalam hati. Namun, ia menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin ini bukan saat yang tepat.

Setelah beberapa menit yang canggung, Arka kembali mengangkat wajahnya dan melanjutkan pembicaraan. Ia bercerita tentang pekerjaannya, meskipun masih ada ketegangan yang tersisa.

Makan malam berlanjut, tetapi Aisha tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Semakin lama, semakin ia ingin tahu lebih banyak tentang pria ini.

Arka tiba-tiba berbicara lagi, suaranya lebih rendah dan serius, “Aisha, aku… senang kamu bisa datang malam ini. Aku pikir, kita berdua sudah terlalu lama sibuk dengan rutinitas masing-masing. Mungkin kita bisa meluangkan waktu untuk lebih mengenal satu sama lain.”

Aisha menatapnya, ragu. “Kita?” gumamnya, heran. “Apa maksudmu?”

Arka hanya menatapnya dengan mata yang sedikit lebih terbuka dari sebelumnya. Ada sedikit keresahan di matanya, tetapi juga sebuah harapan yang tidak bisa disembunyikan. “Aku rasa kita bisa mulai dari sini.”

Aisha tidak tahu harus berkata apa. Kejutan itu menumbuhkan kebingungannya. “Mungkin…” katanya akhirnya, tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti.”

Makan malam itu berakhir dengan suasana yang lebih ringan, tetapi benak Aisha tetap dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Arka? Apa yang selama ini ia sembunyikan? Dan kenapa setiap pertemuan dengan pria itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara malam, seperti aroma makanan yang masih tersisa di udara. Aisha tidak tahu bahwa ini baru permulaan dari cerita yang jauh lebih rumit antara mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel