Pustaka
Bahasa Indonesia

Seven Shades of Love

201.0K · Tamat
Lilis Suryani
122
Bab
101
View
9.0
Rating

Ringkasan

Arka Adinata, seorang pria dengan tujuh kepribadian yang berbeda, hidup tenang hingga ia bertemu Aisha Kirana, seorang dokter hewan yang baik hati dan penyayang. Pertemuan mereka menimbulkan benih-benih cinta, dan mereka pun menikah. Kehidupan rumah tangga mereka tampak sempurna, hingga rahasia Arka terungkap: ia menderita gangguan kepribadian ganda. Aisha awalnya terkejut, namun cintanya yang tulus membuatnya tetap bertahan. Kehidupan mereka selanjutnya diwarnai dinamika yang kompleks. Tujuh kepribadian Arka – Ren yang romantis, Kaito yang misterius, Zero yang jahil, Rai yang pemarah, Sol yang ceria, Silas yang manipulatif, dan Sage yang bijaksana – masing-masing memiliki cara sendiri dalam memperlakukan Aisha. Aisha harus belajar untuk memahami dan menerima setiap kepribadian Arka, menghadapi tantangan dan konflik yang muncul dari perbedaan sifat mereka. Konflik-konflik tersebut tidak hanya berasal dari dalam diri Arka, tetapi juga dari lingkungan sekitar mereka yang tidak memahami kondisi Arka. Melalui berbagai cobaan dan kesabaran, Aisha membuktikan cintanya yang tak tergoyahkan. Dia belajar untuk mencintai setiap sisi Arka, dan membantu Arka untuk mengendalikan dan menerima semua kepribadiannya. Kisah ini mengisahkan tentang cinta, penerimaan, dan perjuangan untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri dan dalam hubungan. Akankah Aisha dan Arka mampu melewati semua tantangan dan mempertahankan cinta mereka?

RomansaMetropolitanDokterFlash MarriageSweetKehidupan SosialKepribadian GandaModernDrama

Awal yang Biasa

Suara bel kecil di atas pintu berbunyi nyaring ketika Aisha Kirana melangkah masuk ke dalam klinik hewan tempatnya bekerja. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi samar bulu hewan yang masih lembap memenuhi ruangan. Beberapa asisten sibuk dengan tugas masing-masing—ada yang mengganti perban pasien, ada yang mencuci kandang, sementara yang lain mencoba menenangkan seekor anjing kecil yang menggonggong tak henti-henti.

“Dok, kucing belang tiga yang infeksi kulit udah siap buat diperiksa,” kata Fajar, salah satu asisten seniornya, sambil melirik daftar pasien di tangannya.

Aisha mengangguk. “Baik, aku tangani sekarang.”

Dia berjalan menuju ruang pemeriksaan, di mana seekor kucing kecil dengan mata hijau terang duduk di atas meja, tampak tak nyaman dengan perban di kakinya. Pemiliknya, seorang wanita paruh baya, memandang Aisha dengan penuh harap.

“Bagaimana, Dok? Sudah membaik?” tanyanya cemas.

Aisha meneliti luka di kaki kucing itu, mengamati apakah ada tanda-tanda infeksi yang lebih parah. “Lukanya sudah mulai kering, tapi saya tetap akan memberikan salep antibiotik. Pastikan dia nggak menjilatnya ya, Bu.”

Wanita itu mengangguk berulang kali. “Terima kasih banyak, Dok. Saya selalu percaya sama klinik ini.”

Aisha tersenyum kecil. “Sama-sama. Jangan lupa kontrol lagi minggu depan, ya.”

Hari berlalu dalam ritme yang sibuk. Satu demi satu pasien datang dan pergi—anjing dengan infeksi telinga, kelinci yang kehilangan nafsu makan, dan bahkan seekor hamster yang tertelan sebutir anggur secara tidak sengaja. Setiap pasien membawa tantangan tersendiri, tapi Aisha selalu berusaha menangani mereka dengan hati-hati dan kasih sayang.

Ketika akhirnya jam menunjukkan pukul lima sore, Aisha menghembuskan napas panjang dan melepas sarung tangannya. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya, meregangkan bahu yang terasa pegal.

Langit di luar tampak mendung, awan kelabu menggantung berat, menandakan hujan akan segera turun. Ia mengambil jaketnya dan melangkah keluar. Baru saja ia membuka pintu, angin dingin langsung menerpa wajahnya.

“Hari ini pasti hujan deras,” pikirnya sambil merapatkan jaket ke tubuhnya.

Saat berjalan menuju mobil, rintik hujan mulai turun. Namun, sebelum ia sempat masuk, matanya menangkap sesuatu di pinggir jalan.

Sebuah sosok kecil tergeletak di trotoar.

Aisha menyipitkan mata. "Anjing?"

Ia mendekat, jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat tubuh mungil itu gemetar hebat. Bulunya basah kuyup, kotor oleh lumpur, dan—oh tidak—ada luka berdarah di kakinya.

Tanpa pikir panjang, Aisha berjongkok dan menyentuh tubuhnya dengan lembut. Anjing itu membuka mata sayunya, lalu meringkuk ketakutan.

“Hai, tenang ya... Aku nggak akan menyakitimu.”

Anjing itu hanya meliriknya dengan tatapan penuh waspada.

Aisha menggigit bibir. Ia tahu anjing liar sering kali takut pada manusia. Tapi melihat kondisinya, meninggalkannya di sini sama saja dengan membiarkannya mati kedinginan.

“Oke, nggak ada pilihan lain,” gumamnya. Dengan hati-hati, ia menyelipkan tangannya di bawah tubuh mungil itu. Begitu mengangkatnya, anjing itu mengeluarkan suara lirih, seperti erangan lemah.

“Maaf ya, pasti sakit,” bisik Aisha.

Hujan semakin deras. Dalam beberapa detik, rambut Aisha sudah basah, air menetes dari jaketnya, tapi ia tak peduli. Ia berlari kembali ke klinik dengan anjing itu dalam pelukannya.

Begitu masuk, salah satu asistennya, Dita, menatapnya dengan mata membelalak. “Dok, kok balik lagi? Dan... astaga, itu anjing dari mana?”

“Trotoar. Luka di kakinya cukup parah. Siapkan ruang perawatan.”

Dita langsung bergerak tanpa banyak bertanya.

Aisha membawa anjing itu ke meja pemeriksaan dan meletakkannya perlahan. Bulunya yang basah membuat meja ikut basah, dan ia masih menggigil.

“Kasihan banget,” gumam Dita sambil mengeringkan tubuh anjing itu dengan handuk. “Kira-kira kenapa dia bisa sampai kayak gini?”

Aisha mengamati luka di kakinya. “Mungkin tertabrak atau terinjak. Bisa juga kena benda tajam.”

Saat ia mulai membersihkan luka, anjing itu mengejang dan merengek pelan.

“Shh... santai, ya. Aku janji nggak akan menyakitimu lebih dari ini.”

Hatinya mencelos ketika menyadari betapa ringan tubuh anjing itu. Terlalu kurus. Entah sudah berapa lama ia bertahan di jalanan tanpa makan yang cukup.

Setelah luka dibersihkan dan diperban, anjing itu masih tetap menggigil.

“Kita butuh selimut,” kata Aisha.

Dita mengangguk dan segera mengambilnya.

Saat menyelimuti tubuh kecil itu, Aisha menghela napas dalam. “Hari ini aku cuma mau pulang dan tidur... Tapi sepertinya semesta punya rencana lain.”

Dita terkikik. “Ya, Dok, kayaknya semesta memang suka bikin kejutan buat dokter hewan baik hati.”

Aisha memutar mata. “Jangan mulai, Dit.”

Dita mengangkat tangan. “Aku nggak bilang apa-apa!”

Mereka berdua tertawa kecil. Tapi kemudian Aisha kembali menatap anjing itu. Perlahan, kelopak matanya menutup, napasnya mulai stabil.

"Duh, kecil banget kamu," gumam Aisha, suaranya setengah gemetar. "Siapa yang ninggalin kamu di luar hujan-hujan begini?"

Ia menyentuh bulu anjing itu—basah, kotor, dan terasa lebih kurus dari yang seharusnya. Saat ia menyeka tubuhnya dengan handuk, anjing itu mengeluarkan erangan kecil, matanya yang cokelat keemasan terbuka sedikit, lalu menutup lagi.

"Oh, jangan gitu dong," Aisha bergumam panik. "Aku udah keburu sayang, masa kamu mau pergi begitu aja?"

Ia bergerak cepat. Dengan cekatan, ia menyiapkan infus, membersihkan luka di kakinya, dan membungkusnya dengan perban steril. Setiap gerakannya hati-hati, seolah anjing ini bisa pecah kapan saja jika ia terlalu kasar.

Setelah beberapa menit, hewan kecil itu tampak lebih tenang. Meski napasnya masih lemah, tubuhnya mulai terasa lebih hangat di bawah selimut yang Aisha berikan.

"Nah, sekarang istirahat ya. Aku juga butuh ganti baju sebelum masuk angin," katanya sambil mengusap kepala anjing itu pelan.

Ia melangkah mundur, menatap hewan kecil itu sejenak, lalu beranjak ke ruang ganti. Ia belum tahu siapa pemilik anjing ini, tapi satu hal yang pasti—anjing ini bukan liar. Ada sesuatu pada pola bulunya yang unik, seolah ia berasal dari ras yang mahal dan terawat.

—Keesokan Paginya—

Suasana di klinik sudah ramai sejak pagi. Beberapa pasien sudah berdatangan—seekor kucing dengan flu, seekor anjing yang perlu vaksinasi, dan seorang pemilik yang panik karena kelinci peliharaannya menolak makan.

Aisha masih sibuk mencatat laporan ketika pintu klinik terbuka, dan seorang pria masuk.

Langkahnya mantap. Auranya tenang. Seakan ruangan itu secara otomatis mengakui keberadaannya.

Ia tinggi, tegap, dan berpenampilan rapi. Setelan jas hitamnya terlihat mahal, jam tangannya mengilap di bawah cahaya klinik. Rambutnya tertata sempurna, dan ekspresinya… datar.

Aisha yang sedang menyesap kopi hampir tersedak. "Uhuk!"

Aisya buru-buru menaruh gelasnya dan berpura-pura sibuk dengan dokumen di depannya. Tapi, diam-diam, ia melirik pria itu.

"Selamat pagi," suara pria itu rendah, dalam, dan sedikit serak. Ia berbicara pada resepsionis dengan nada santai, tapi ada ketegasan di baliknya. "Saya datang untuk mengambil anjing saya."

Aisha menoleh, alisnya terangkat. "Jadi dia pemiliknya?"

Resepsionisnya tampak sedikit kaget, lalu buru-buru mencari data. "Oh, anjing kecil yang ditemukan tadi malam, ya? Tunggu sebentar, saya panggil dokter Aisha."

Tanpa menunggu, Aisha berjalan mendekat, menyilangkan tangan di depan dada. "Anda pemiliknya?" tanyanya langsung.

Pria itu menoleh padanya, matanya menatap lurus tanpa ekspresi. "Ya."

Jawaban satu kata. Singkat. Dingin.

Aisha mengerutkan kening. "Anjing Anda hampir mati kedinginan di pinggir jalan semalam."

Pria itu tidak bereaksi. "Saya tahu."

"Anda tahu?" Aisha hampir tertawa. "Kalau tahu, kenapa Anda baru mencarinya sekarang?"

Pria itu akhirnya menghela napas, lalu menatap Aisha lebih dalam. "Itu bukan urusan Anda."

Aisha berkedip, lalu menyilangkan tangannya lebih erat. "Oh, saya rasa itu urusan saya. Saya yang menemukannya. Saya yang menyelamatkannya. Saya yang terjebak hujan dan hampir masuk angin gara-gara menyelamatkan anjing Anda."

Mata pria itu sedikit menyipit, seakan menilai Aisha lebih dalam. "Saya menghargai usaha Anda."

"Wow. Terima kasih atas apresiasinya yang sangat… ekspresif," balas Aisha, sarkastis.

Pria itu tidak bereaksi. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu melangkah mendekati kandang tempat anjingnya dirawat. Begitu melihatnya, tatapannya berubah sekilas—hanya sesaat, tapi cukup bagi Aisha untuk menangkapnya.

Kekhawatiran.

Pria itu berlutut di depan kandang, membuka pintunya perlahan, lalu menyentuh kepala anjing itu dengan gerakan yang… lembut.

Anjing kecil itu membuka matanya, lalu menggerakkan ekornya pelan.

Aisha melipat tangannya. Hah. Jadi bisa juga dia perhatian.

"Apa dia sudah cukup kuat untuk dibawa pulang?" tanya pria itu tanpa menoleh.

Aisha menghela napas, lalu berjalan mendekat. "Kondisinya sudah lebih baik, tapi kakinya masih luka. Anda harus pastikan dia tetap tenang dan jangan terlalu banyak bergerak. Oh, dan…"

Ia berhenti, lalu menatap pria itu tajam. "Kalau Anda benar-benar peduli, jangan sampai dia terlantar lagi. Saya tidak akan selalu ada untuk menyelamatkannya."

Pria itu akhirnya menoleh, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit ekspresi di wajahnya. Sudut bibirnya naik… hampir seperti senyum, tapi terlalu samar untuk dikatakan benar-benar tersenyum.

"Baiklah, dokter Aisha," katanya pelan. "Saya akan memastikan itu tidak terjadi lagi."

Lalu, tanpa menunggu, ia menggendong anjing kecilnya dengan hati-hati, membawanya pergi tanpa menoleh lagi.