Kebersamaan yang Menghangatkan
Langit sore mulai berubah jingga, meninggalkan semburat warna keemasan yang menghiasi jalanan kota. Udara terasa sejuk, dengan angin semilir yang membawa aroma kopi dari kedai kecil di sudut jalan.
Aisha menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap pria di depannya dengan tatapan penuh tanya. Arka duduk dengan posisi santai, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja kayu, sementara matanya fokus pada secangkir kopi hitam yang belum ia sentuh.
Keheningan di antara mereka cukup lama hingga akhirnya Aisha membuka suara.
"Kau memang selalu begini?" tanyanya, menyipitkan mata curiga.
Arka mengangkat alis. "Begini bagaimana?"
"Dingin, misterius, suka tiba-tiba muncul lalu diam seperti sedang menyusun rencana besar," Aisha mengaduk kopinya pelan, lalu menatapnya serius. "Kau ini mata-mata, ya?"
Sudut bibir Arka tertarik, tapi senyumnya hanya bertahan sepersekian detik sebelum ia kembali memasang ekspresi datar. "Kalau aku mata-mata, kau sudah tertangkap sejak dulu."
Aisha mendengus. "Astaga, kau bahkan tidak berusaha membantahnya."
Arka hanya mengangkat bahu, kemudian menyeruput kopinya. Mata tajamnya mengamati Aisha, seolah membaca sesuatu yang tidak terucapkan.
Di sisi lain, Aisha masih penasaran dengan semua yang ia dengar tentang pria itu. Arka disebut-sebut sebagai seseorang yang sulit didekati, tapi mengapa pria itu mau menghabiskan waktu dengannya? Apa yang membuatnya berbeda?
"Kenapa aku?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Arka menatapnya sekilas sebelum kembali menatap kopinya. "Maksudmu?"
"Kenapa kau memilih untuk berbicara denganku? Menurut kabar burung, kau lebih suka menyendiri, tidak membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupmu," Aisha meletakkan dagunya di telapak tangan. "Jadi, kenapa aku?"
Arka terdiam. Jemarinya mengetuk permukaan cangkir, seakan sedang menyusun kata-kata di kepalanya.
"Entahlah," jawabnya akhirnya. "Mungkin karena kau berbeda."
Aisha mengernyit. "Berbeda bagaimana?"
Arka menatapnya langsung kali ini. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan—sebuah kehangatan yang samar, terselip di balik sikap dinginnya.
"Kau terlalu penasaran untuk membiarkanku sendiri," ucapnya, setengah bercanda, setengah serius.
Aisha membuka mulut, hendak membantah, tapi ia sadar Arka ada benarnya. Sejak awal, ia memang selalu penasaran dengan pria itu.
"Mungkin," Aisha mengakui dengan mendesah. "Tapi itu bukan alasan. Kau bisa saja mengabaikanku, tapi kau tidak melakukannya."
Arka mengangkat bahu. "Mungkin aku juga penasaran denganmu."
Jawaban itu membuat Aisha terdiam sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, tapi ia menutupinya dengan menyeruput kopi.
Sejujurnya, ia tidak menyangka Arka akan berkata seperti itu.
Mereka menghabiskan beberapa menit berikutnya dengan obrolan ringan—tentang pekerjaan, tentang makanan favorit, bahkan tentang anjing peliharaan Arka yang semakin nakal.
Namun, di balik percakapan sederhana itu, Aisha bisa merasakan sesuatu.
Sebuah kenyamanan yang tumbuh perlahan.
Saat mereka berjalan pulang, malam sudah mulai turun. Lampu-lampu jalan menyala, menciptakan cahaya hangat yang menerangi trotoar.
Arka berjalan di samping Aisha, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Langkah mereka seirama, meskipun tidak ada yang mengatakan bahwa mereka harus berjalan bersama seperti ini.
"Aku masih penasaran," Aisha akhirnya angkat bicara.
Arka menoleh sekilas. "Tentang?"
"Tentang kau," jawab Aisha jujur. "Ada sesuatu yang kau sembunyikan, kan?"
Arka berhenti berjalan. Tatapannya mengunci Aisha di tempat.
Hawa di sekitar mereka terasa berubah, seolah-olah angin malam tiba-tiba membawa ketegangan yang tidak terlihat.
"Aisha," Arka berkata pelan, suaranya nyaris berbisik. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui."
Jantung Aisha mencelos. Ia tidak tahu apakah harus merasa tertantang atau justru khawatir dengan cara Arka mengatakannya.
"Kenapa?" tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap ringan meski rasa penasaran dalam dirinya melonjak naik.
Arka menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. Ia mengusap tengkuknya dengan tangan, ekspresi di wajahnya terlihat seperti seseorang yang sedang berjuang dengan pikirannya sendiri.
"Karena jika kau tahu, kau mungkin tidak akan melihatku dengan cara yang sama lagi," katanya akhirnya.
Aisha terdiam.
Ada sesuatu dalam suara Arka—sesuatu yang terdengar seperti peringatan, tapi juga seperti pengakuan.
Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Arka tiba-tiba tersenyum kecil.
"Tapi tenang saja," katanya, nada suaranya kembali lebih santai. "Aku bukan penjahat atau semacamnya. Belum, setidaknya."
Aisha melotot. "Astaga, Arka! Itu bukan sesuatu yang bisa kau katakan dengan santai!"
Arka terkekeh pelan. "Lihat? Kau masih bereaksi seperti biasa. Artinya aku masih aman."
Aisha memukul lengannya pelan. "Dasar menyebalkan."
Arka hanya tersenyum, tapi kali ini, senyumnya terasa lebih hangat dari biasanya.
Mereka kembali berjalan, dan meskipun banyak pertanyaan yang masih belum terjawab, Aisha tahu satu hal.
Arka memang memiliki sesuatu yang ia sembunyikan.
Dan ia semakin ingin mengetahuinya.
*******
Udara sore di taman terasa sejuk. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning. Suara burung bercampur dengan tawa anak-anak yang bermain, menciptakan suasana yang begitu kontras dengan ketenangan yang dirasakan Aisha saat ini.
Langkahnya ringan, tak terburu-buru. Seharian bekerja di klinik membuatnya ingin menikmati momen ini sejenak—berjalan santai, mendengar suara alam, dan memberi makan kucing-kucing liar yang selalu menunggunya.
Tapi langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang sudah tidak asing lagi—Arka.
Pria itu berdiri di dekat bangku kayu, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, wajahnya tetap dingin seperti biasa. Jaket hitam yang ia kenakan sedikit terbuka, memperlihatkan kaos putih yang melekat di tubuhnya. Cahaya senja menyorot dari samping, menciptakan siluet yang hampir seperti lukisan.
Apa dia sengaja ke sini? pikir Aisha. Atau ini hanya kebetulan?
Tatapan mereka bertemu. Arka mengangguk kecil—sebuah sapaan khasnya yang selalu tanpa kata.
Aisha tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah mendekat.
"Kebetulan?" tanyanya ringan, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang mendadak lebih cepat.
Arka menoleh sekilas, matanya yang tajam namun teduh mengamati Aisha sebelum kembali menatap taman. "Mungkin."
Jawaban yang khas. Tak menjelaskan apa pun, tapi juga tidak menutup kemungkinan apa pun.
Aisha hanya mendengus kecil, lalu berjalan di sampingnya. Tanpa banyak kata, mereka mulai menyusuri jalur setapak, membiarkan langkah mereka menyelaraskan diri.
Sesekali, Aisha berhenti untuk memberi makan kucing-kucing liar yang mereka temui. Ia mengeluarkan beberapa bungkusan kecil dari sakunya, mengulurkan tangan, dan tersenyum ketika seekor kucing belang tiga langsung mendekatinya.
Arka memperhatikannya dalam diam. "Kamu selalu bawa makanan kucing di kantong?"
Aisha menoleh dengan alis terangkat. "Ya, kenapa?"
Arka menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat samar. "Nggak ada. Cuma... nggak semua orang bakal repot-repot bawa makanan buat kucing liar."
"Aku suka mereka," jawab Aisha sambil mengelus kepala kucing itu. "Kadang mereka lebih bisa dipercaya daripada manusia."
Arka terkekeh kecil, suara tawa yang jarang terdengar darinya. "Jadi aku harus tersinggung sekarang?"
Aisha berpikir sebentar, lalu menggeleng dramatis. "Kamu belum masuk kategori manusia yang bisa dipercaya."
Arka mengangkat sebelah alis. "Oh, gitu?"
"Yep." Aisha bangkit berdiri, menepuk-nepuk tangannya. "Kamu masih misterius, masih sering tiba-tiba menghilang, dan... masih terlalu susah dibaca."
Arka terdiam sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, seakan mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan nada santai, ia berkata, "Kalau aku gampang dibaca, kamu masih bakal tertarik?"
Aisha berkedip. Tertarik? Apa itu berarti Arka sadar kalau selama ini dia...
"Tertarik sebagai teman, maksudnya." Arka menambahkan cepat, seperti membaca pikirannya.
Aisha mendecak. "Kamu sengaja bikin kalimat itu terdengar ambigu, kan?"
Arka menyeringai samar. "Mungkin."
Aisha mendesah panjang. "Kamu terlalu sulit ditebak."
"Apa itu buruk?"
Aisha meliriknya. Pria ini memang misterius, tapi bukan dalam cara yang membuatnya menjauh. Justru sebaliknya. Rasa penasaran Aisha semakin tumbuh, seperti ada lapisan demi lapisan yang ingin ia kuak.
"Enggak buruk," katanya akhirnya. "Cuma bikin penasaran aja."
Arka tersenyum kecil. "Bagus."
Mereka kembali berjalan dalam diam. Langit semakin jingga, memantulkan cahaya hangat ke wajah mereka.
Kenapa dia tiba-tiba ada di sini? pikir Aisha.
Biasanya, Arka lebih suka tempat-tempat sepi. Kafe yang tidak terlalu ramai, jalanan yang tidak banyak orang lewat, atau pojok klinik tempat ia duduk diam sambil memperhatikan anjingnya.
Tapi sekarang, dia ada di taman—di tempat yang lebih terbuka dan ramai.
"Aku sering ke sini," tiba-tiba Arka berkata, seolah menjawab pertanyaan yang belum diucapkan.
Aisha menoleh. "Serius?"
Arka mengangguk. "Dulu, sering ke sini malam-malam."
"Sendiri?"
"Kadang."
Aisha mengernyit. "Ngapain?"
Arka mengangkat bahu. "Mikir."
Jawaban yang terlalu singkat, terlalu sederhana untuk seseorang seperti Arka.
Aisha tahu ada lebih dari sekadar 'mikir' di balik kebiasaan itu, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Bukan karena tidak penasaran, tapi karena ia tahu Arka akan memberitahunya jika memang ingin berbagi.
Sebuah kucing kecil melompat ke pangkuan Aisha, mengeong manja. Aisha tertawa kecil, mengelus bulu lembutnya.
"Kamu tahu nggak," katanya tiba-tiba. "Kucing ini mirip kamu."
Arka menatapnya dengan ekspresi bingung. "Apa?"
"Kucing ini suka tiba-tiba muncul, nggak terlalu suka disentuh, tapi diam-diam menikmati perhatian."
Arka mendengus. "Jadi aku kucing sekarang?"
Aisha mengangguk serius. "Tapi bukan sembarang kucing. Kamu kucing yang butuh waktu buat percaya sama orang lain."
Arka terdiam. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit diartikan. Lalu, setelah beberapa detik, ia berkata pelan, "Mungkin."
Angin malam mulai bertiup lebih dingin. Taman semakin sepi, hanya tersisa beberapa orang yang berjalan santai seperti mereka.
Arka melirik jam tangannya. "Udah mulai malam. Aku antar kamu pulang."
Aisha mengangkat alis. "Sejak kapan kamu jadi sopan?"
Arka menatapnya tanpa ekspresi. "Sejak kamu nggak sadar udah di taman selama dua jam dan udara mulai dingin."
Aisha memutar bola matanya, tapi tidak menolak. Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Saat mereka sampai di depan motor Arka, Aisha melirik pria itu dengan senyum iseng. "Kalau kamu kucing, aku harus kasih kamu nama."
Arka menatapnya skeptis. "Jangan."
"Kayaknya cocok kalau namanya... si Kucing Galak."
Arka mendesah panjang. "Aisha."
Aisha tertawa kecil, menikmati bagaimana Arka akhirnya terlihat sedikit kesal.
Malam itu, saat Arka mengantarnya pulang, Aisha menyadari satu hal—bersama pria ini, bahkan momen sederhana pun bisa terasa begitu berarti.
