Benih Rasa Penasaran
Aisha menatap layar ponselnya. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan Arka di taman, dan pria itu tidak mengirim pesan apa pun. Bukan berarti ia mengharapkannya. Tidak. Sama sekali tidak.
"Tapi… mungkin sedikit?"
Ia menghela napas, membanting tubuhnya ke sofa. “Astaga, Aisha, kamu ini kenapa?” gumamnya sambil menutup wajah dengan bantal.
Selama ini, hidupnya selalu berjalan dengan ritme yang teratur, bekerja di klinik, merawat hewan, sesekali bertemu teman-teman, lalu pulang ke rumah. Tapi sejak Arka muncul, ada sesuatu yang mengganggu kestabilan itu.
Tatapan pria itu. Cara dia mendengarkan. Cara bibirnya sedikit melengkung ketika Aisha menceritakan betapa menyebalkannya kucing pasien yang selalu berusaha menggigitnya.
Aisha menggeleng cepat. "Tidak, tidak. Dia tidak boleh mulai memikirkan hal-hal seperti itu."
Ia meraih ponselnya lagi dan menelusuri daftar chat. Tidak ada pesan dari Arka. Haruskah dia yang menghubungi lebih dulu?
“Enggak, Aisha. Enggak boleh. Jangan jadi desperate.”
Ia melempar ponselnya ke meja dan bangkit berdiri. “Oke! Aku harus melakukan sesuatu."
Hari itu, klinik cukup ramai. Seekor Golden Retriever masuk dengan perut kembung, seekor kucing Persia menolak diperiksa sampai harus dibujuk dengan sepotong ayam, dan seorang pelanggan panik karena hamster peliharaannya tidak mau makan.
Di tengah kesibukan, Aisha bersyukur pikirannya teralihkan. Namun, saat sedang membereskan meja setelah jam operasional selesai, sebuah suara menyapanya.
“Aisha.”
Ia menoleh dan mendapati Arka bersandar di pintu.
"Kenapa tiba-tiba rasanya udara di ruangan menjadi lebih tipis?"
Arka masih mengenakan jaket kulit hitamnya yang khas, dengan kaus gelap dan celana jeans. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti baru diterpa angin. Sorot matanya tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya, seperti badai yang masih tertahan.
Aisha berdeham, mencoba terdengar santai. “Oh. Kamu?”
Arka mengangkat alis. “Kamu kedengaran kecewa.”
“Enggak.” Aisha langsung menggeleng. “Hanya… kaget. Kamu ngapain di sini?”
Arka melangkah masuk, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. “Mau ajak kamu makan.”
Aisha mengerjap. “Apa?”
“Aku lapar,” jawabnya santai. “Dan aku males makan sendirian.”
Aisha mendengus. “Oh, jadi aku ini cadangan buat nemenin kamu makan?”
Arka mengangkat bahu. “Bisa dibilang.”
“Dasar nggak punya tata krama.” Aisha menggeleng sambil tertawa kecil, tapi di dalam hati, ia berusaha keras menutupi detak jantungnya yang tiba-tiba berirama lebih cepat.
“Aku traktir,” tambah Arka.
Aisha melipat tangan di dada, pura-pura berpikir. “Hmm… kayaknya aku harus pura-pura jual mahal dulu.”
Arka menatapnya dalam. “Aisha.”
Nada suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat Aisha kehilangan kata-kata sesaat.
“Baiklah, baiklah!” Aisha akhirnya mengangkat tangan menyerah. “Aku ikut. Tapi kalau makanannya nggak enak, aku bakal nyalahin kamu.”
Arka hanya mengangguk, ekspresinya tetap datar. Namun, di sudut bibirnya, ada sedikit lengkungan yang nyaris tidak terlihat.
Mereka akhirnya berakhir di sebuah warung makan sederhana, bukan restoran mewah atau kafe modern seperti yang Aisha bayangkan.
“Kamu nggak punya selera makan yang lebih fancy?” tanyanya sambil melihat sekeliling.
Arka menatapnya datar. “Makan di tempat mahal nggak bikin kenyang lebih lama.”
Aisha tertawa. “Punya filosofi makan yang menarik juga.”
Mereka duduk di meja dekat jendela. Pemilik warung, seorang ibu paruh baya, datang menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Mas Arka! Lama nggak mampir.”
Aisha menoleh kaget. “Kamu sering ke sini?”
Arka mengangguk. “Makanan di sini enak.”
Aisha memandangnya curiga. “Jangan-jangan kamu ngajak aku ke sini biar bisa sekalian makan gratis?”
Arka menahan senyum. “Bisa jadi.”
Aisha menggeleng sambil tertawa kecil. Ada sesuatu yang aneh dari interaksi mereka. Sesuatu yang… nyaman.
Ketika makanan datang, Aisha terkejut melihat betapa lahapnya Arka makan. Pria itu makan tanpa basa-basi, seolah menikmati setiap suapan tanpa perlu berbicara terlalu banyak.
“Aku nggak nyangka kamu tipe yang doyan makan kayak gini,” komentar Aisha.
Arka hanya mengangkat bahu. “Kalau lapar, ya makan.”
“Duh, dalam banget,” sindir Aisha. “Besok-besok kamu bakal bilang, ‘Kalau ngantuk, ya tidur.’”
Arka menatapnya sekilas, lalu berkata dengan nada serius, “Kalau haus, ya minum.”
Aisha nyaris menyemburkan nasinya. “Kamu tuh…”
Arka akhirnya tersenyum tipis, dan untuk pertama kalinya, Aisha melihat sesuatu yang lebih dari sekadar ekspresi datar di wajah pria itu.
Mungkin… dia tidak sesulit ditebak seperti yang ia kira.
Setelah selesai makan, mereka berjalan keluar warung. Udara malam terasa sejuk, dengan angin yang berhembus lembut.
Aisha melirik Arka. “Jadi, kenapa tiba-tiba ngajak aku makan?”
Arka tidak langsung menjawab. Ia hanya memasukkan tangannya ke saku dan menatap langit.
“Karena aku mau,” katanya akhirnya.
Aisha mendesah. “Kamu ini selalu jawab dengan cara paling simpel, ya?”
Arka menoleh padanya. “Kamu lebih suka aku kasih jawaban rumit?”
Aisha terdiam sejenak, lalu tertawa. “Nggak juga, sih.”
Mereka berjalan dalam diam, tapi itu bukan jenis diam yang canggung. Itu adalah diam yang nyaman, yang membuat Aisha merasa tenang meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan seribu pertanyaan tentang pria di sampingnya.
Satu hal yang pasti—rasa penasaran itu semakin tumbuh.
Aisha menatap kotak teh herbal di tangannya, matanya menyipit penuh tanda tanya. Ia membaca ulang catatan kecil yang terselip di antara bungkus teh itu.
"Untuk membantu tidurmu lebih nyenyak. - A"
Sekilas, kalimat itu terdengar datar. Tidak ada tanda-tanda emosi yang berlebihan. Namun, justru kesederhanaannya yang membuat hati Aisha berdebar aneh.
"A?" gumamnya, meneliti tulisan tangan itu. "Bisa saja ini dari Aldi, tapi... dia bukan tipe orang yang peduli dengan hal-hal seperti ini."
Aldi adalah rekan kerjanya di klinik. Orangnya santai, kadang konyol, tapi perhatian dalam cara yang lebih... berisik. Sedangkan ini? Perhatian yang diam-diam, tenang, tanpa perlu banyak kata.
Arka.
Nama itu langsung muncul di benaknya, membuat perutnya terasa aneh. Bukan seperti kupu-kupu beterbangan, lebih seperti kucing yang berguling-guling di dalam sana.
"Tapi kenapa dia mengirim ini?" tanyanya sendiri.
Balkon kecil di kamarnya terasa lebih sepi dari biasanya. Aisha duduk bersandar pada pagar kayu, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ia menghirup aroma teh yang baru saja ia seduh, mencoba memahami apa yang terjadi dalam dirinya.
Sejak pertemuan mereka di taman, pikirannya terus kembali pada sosok Arka. Bukan karena pria itu terlalu ramah atau penuh pesona. Justru sebaliknya. Arka tidak banyak bicara, tatapannya sering sulit ditebak, dan ekspresinya hampir selalu datar.
Tapi ada sesuatu dalam ketenangan itu.
Sesuatu yang... menenangkan? Atau justru membuatnya semakin penasaran?
Aisha menghela napas, lalu memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia menyesap tehnya perlahan, membiarkan kehangatannya mengalir ke dalam tubuhnya.
Di sisi lain kota, Arka menatap ponselnya cukup lama sebelum akhirnya memasukkannya kembali ke dalam saku jaketnya. Ia duduk di dalam mobil, menatap ke luar jendela tanpa fokus.
Mengirim teh itu adalah ide impulsif. Bukan sesuatu yang biasa ia lakukan. Ia bahkan nyaris tidak mengenal Aisha lebih dari sekadar seseorang yang ia temui dalam keadaan tak terduga.
Tapi ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara tentang hewan-hewan yang ia rawat, dalam binar matanya saat menyentuh bulu anjing yang terluka malam itu.
Lembut. Tulus. Berbeda.
Arka menggerakkan jari-jarinya di atas setir, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul. Ia tidak terbiasa memikirkan seseorang terlalu lama. Apalagi mengkhawatirkan apakah seseorang itu cukup istirahat atau tidak.
"Lo ngapain, Ka?" gumamnya pada diri sendiri, menekan dahinya dengan tangan.
Sial.
Sejak kapan ia menjadi tipe pria yang mengirim teh untuk seseorang hanya karena mereka terlihat lelah?
Keesokan harinya, Aisha masih disibukkan dengan pasien-pasiennya di klinik. Seekor kucing belang tiga berbaring tenang di atas meja periksa, matanya setengah terpejam saat Aisha mengelus kepalanya.
"Baiklah, Mia. Kamu cuma kena flu ringan. Jangan kebanyakan main hujan, ya?" katanya lembut.
Pemilik kucing itu tersenyum lega. "Terima kasih, Dok."
Aisha membalas senyum itu sebelum melirik jam di dinding. Hampir pukul lima sore.
"Dok, paket kemarin dari siapa?" Aldi tiba-tiba muncul dari pintu belakang, menyandarkan bahunya pada kusen sambil menyilangkan tangan.
Aisha mengangkat alis. "Paket?"
"Teh herbal. Aku lihat di meja kerja kamu kemarin." Aldi menyeringai. "Dari gebetan, ya?"
Aisha mendengus. "Bukan. Cuma... perhatian kecil dari seseorang."
"Oh?" Aldi mendekat, mencondongkan tubuhnya ke meja. "Jadi ada seseorang yang perhatian sama kamu? Siapa?"
"Rahasia."
Aldi menghela napas dramatis. "Sial, selama ini aku kira aku satu-satunya pria di hidupmu."
Aisha tertawa, mendorong pundaknya pelan. "Kamu terlalu banyak nonton drama."
Namun, di dalam kepalanya, ia masih bertanya-tanya. Jika ini memang dari Arka, kenapa pria itu repot-repot?
Sore itu, setelah menutup klinik, Aisha memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman. Tempat yang sama di mana ia pertama kali berbicara dengan Arka.
Ia tidak berharap bertemu pria itu lagi, tapi—
"Apa kamu selalu datang ke sini setelah kerja?"
Suara berat itu menghentikan langkahnya.
Aisha menoleh dan mendapati Arka berdiri tidak jauh darinya, tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya.
Jantungnya langsung berdebar.
"Aku cuma... ingin menghirup udara segar," jawabnya, mencoba terdengar biasa saja.
Arka mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat. "Bagaimana dengan tehnya?"
Jadi memang benar dari dia.
Aisha berusaha menyembunyikan senyum kecil yang hampir muncul di wajahnya. "Lumayan membantu."
Arka menatapnya sebentar, lalu kembali menatap ke depan. "Bagus."
Hening.
Aisha menggigit bibirnya, lalu nekat bertanya, "Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa repot-repot mengirim teh untukku?"
Arka diam. Ekspresinya tetap datar, tapi Aisha bisa melihat rahangnya sedikit menegang.
"Aku cuma berpikir... kamu terlihat lelah waktu itu."
Jawaban yang sederhana. Datar. Seperti Arka.
Tapi entah kenapa, bagi Aisha, itu lebih dari cukup.
Sore itu, mereka berjalan beriringan, tanpa banyak kata. Udara dingin mulai menyelimuti, tetapi di antara mereka berdua, ada sesuatu yang perlahan menghangat. Sesuatu yang mungkin belum mereka sadari sepenuhnya.
Namun, satu hal pasti, perhatian kecil dari Arka telah menanamkan benih rasa yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
