Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pertemuan Kedua

Aisha duduk di meja kliniknya, menatap secangkir kopi yang hampir tak tersentuh di depannya. Ruangan itu tenang, hanya diisi oleh suara ketikan tuts keyboard para asisten yang sibuk, suara lembut hewan-hewan yang mengeluh, dan desiran udara yang merembes lewat ventilasi. Namun, meski suasana klinik itu familiar, pikirannya melayang kembali pada pria yang datang beberapa hari lalu—Arka Adinata. Bayangannya tak kunjung hilang.

"Apa yang aneh dengan diriku?" gumam Aisha, menggigit ujung pensil yang tergeletak di meja. "Kenapa aku masih teringat padanya?"

Di luar, hujan kembali turun deras, mengetuk kaca jendela dengan ritme yang stabil, namun hatinya gelisah. Tatapan Arka yang tajam, langkah mantapnya yang tanpa ragu, semuanya terukir dalam benaknya, meski mereka hanya bertemu sekejap.

"Aisha!" Suara asisten klinik memanggilnya, membawa Aisha kembali ke kenyataan. "Ada pasien baru, kucing kesurupan lagi. Kamu mau lihat?"

Aisha menggelengkan kepala. "Nggak dulu, aku perlu istirahat sebentar." Ia berdiri, menyusuri lorong klinik dengan langkah lelah, merasa sedikit cemas. Apa aku terlalu banyak mikirin orang yang tidak ada urusannya denganku? pikirnya, menurunkan kepala ke arah lantai, menghindari pandangan orang lain.

Paginya berlalu dengan kesibukan yang biasa, namun perasaan aneh itu terus menghantui. Aisha mencoba menenangkan dirinya dengan melakukan rutinitas lainnya: merawat hewan, membersihkan ruang perawatan, dan menyapa pasien yang datang. Namun, hati kecilnya tak bisa menepis rasa penasaran yang semakin dalam tentang pria itu.

Akhirnya, di akhir pekan, Aisha memutuskan untuk bertemu dengan temannya yang sudah lama tak ia jumpai, Delisha, untuk makan siang di sebuah kafe yang nyaman di pusat kota. Kafe itu memiliki suasana tenang, dengan temaram cahaya lampu, aroma kopi yang menggoda, dan musik akustik yang mengalun pelan. Tempat yang sempurna untuk melupakan segala kegelisahan—termasuk Arka.

Namun, begitu ia melangkah masuk, matanya langsung menangkap sosok yang begitu familiar di sudut ruangan.

Arka.

"Oh tidak..." Aisha berpikir, berhenti sejenak di pintu kafe. Apa dia sedang duduk di sini? Pikirannya mulai bercampur antara kejutan dan ketidakpastian.

Tanpa bisa menahan diri, ia melangkah maju. Mungkin, ini kebetulan. Aku cuma harus duduk dan santai, ini cuma pertemuan biasa.

Arka tidak melihatnya datang, tampaknya terlalu tenggelam dalam ponselnya. Pakaian jas rapi yang biasanya ia kenakan sudah digantikan dengan t-shirt hitam yang sederhana, dan jeans. Pemandangan yang cukup santai, lebih jauh dari kesan dingin dan serius yang ia tunjukkan saat pertama kali bertemu.

Apakah aku harus menghampirinya? pikir Aisha sambil mengamati tubuhnya yang kaku sejenak. Tapi pandangannya tak bisa mengalihkan diri dari Arka. Sesaat, pandangan mereka bertemu, dan untuk detik yang sangat singkat, dunia terasa hening. Ada sesuatu dalam tatapan itu—entah apa, tapi ada pengakuan, entah itu kebetulan atau takdir.

Aisha menyeringai, walaupun agak canggung. Aduh, kenapa aku merasa seperti ini? Ini bukan pertama kali aku melihat orang asing di tempat umum.

"Hei," ujar Arka dengan suara tenang, tersenyum saat melihatnya. Tidak ada rasa kaku, justru lebih natural daripada pertemuan pertama mereka.

Aisha menelan ludah. "Oh, kamu…" kata-katanya terhenti. Ia mencoba untuk tidak terlihat terkejut, meski hatinya berdebar.

"Sepertinya ini bukan kebetulan, ya?" Arka bertanya, matanya berkilat sedikit, seperti mengenali bahwa Aisha merasa canggung. "Mau bergabung?" tawarnya, mengangguk ke kursi kosong di depannya.

Aisha mengangkat bahu, berpura-pura santai. "Kenapa tidak?" ia tersenyum lebar. "Aku kira kamu tidak suka tempat ramai seperti ini."

"Biasanya memang begitu," jawab Arka dengan santai, mengangkat cangkir kopinya dan menghirupnya perlahan. "Tapi, hari ini aku pikir akan lebih baik berada di sini."

Aisha duduk di kursi yang dihadapkan kepadanya, masih merasa sedikit janggal. Apa aku terlalu cepat memikirkan hal-hal aneh? Namun, seiring berjalannya percakapan, rasa canggung itu perlahan menghilang. Mereka mulai membicarakan hal-hal ringan: cuaca, kafe yang mereka kunjungi, dan makanan favorit masing-masing.

Arka tampaknya lebih santai kali ini, tidak seformalnya saat pertama kali bertemu. Ia tertawa ringan ketika Aisha menceritakan kisah konyol tentang pasien anjing yang mengunyah sepatu botnya, membuat Aisha merasa sedikit lebih nyaman.

"Kalau begitu, mungkin saya akan bawa anjing itu lagi kalau butuh pengobatan," Arka berkata dengan nada bercanda, namun matanya tetap memancarkan ketegasan yang tak bisa disembunyikan.

Aisha tertawa kecil, tetapi rasa penasaran itu kembali menggelitik. Siapa sebenarnya dia? Apa yang dia sembunyikan?

Percakapan berlanjut, meskipun ada beberapa jeda. Ada sesuatu dalam diri Arka yang membuatnya sulit dipahami, seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Dia tampak sangat terbuka, namun ada ketajaman dalam setiap kalimat yang diucapkannya, seolah-olah ia tahu lebih banyak daripada yang terlihat.

Ketika percakapan mulai mengalir lebih lancar, Aisha mulai merasakan kenyamanan yang aneh. Meskipun mereka sudah berbicara selama beberapa menit, tetap ada sesuatu yang menggantung—perasaan bahwa ini bukanlah pertemuan biasa.

"Jadi, kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Arka, memandang Aisha dengan ekspresi serius. "Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan."

Aisha mengerutkan dahi. Bicara apa? Tapi ia tahu, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari. "Mungkin…" jawabnya, sedikit ragu. "Suatu hari nanti."

Dan dengan itu, mereka berpisah dengan senyum penuh makna, meskipun Aisha merasa seakan-akan mereka hanya memulai perjalanan yang lebih panjang.

Aisha menatap layar ponselnya, alisnya berkerut samar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal muncul di sana.

Arka: Punya waktu luang besok? Aku ingin bicara sebentar.

Aisha mengerjapkan mata. Butuh beberapa detik sebelum otaknya mencerna bahwa ‘Arka’ yang mengirim pesan ini adalah pria yang baru saja ia temui lagi di kafe beberapa hari lalu.

Bicara? Tentang apa? pikirnya.

Tangannya melayang di atas layar, ragu-ragu sebelum akhirnya ia membalas.

Aisha: Tergantung. Bicara soal apa?

Balasannya muncul cepat.

Arka: Bukan sesuatu yang berat. Hanya ngobrol. Besok sore di taman kota?

Aisha menggigit bibirnya, mempertimbangkan. Ia tidak punya rencana esok hari selain membaca buku dan mungkin mencuci pakaian. Lagipula, rasa penasaran mulai menggelitiknya.

Aisha: Baiklah.

Setelah mengirim pesan itu, ia menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mendengus.

“Kenapa aku merasa ini seperti janji temu?”

Ia menggeleng, mengusir pikirannya sendiri.

---

Keesokan harinya, Aisha tiba lebih awal di taman kota. Matahari sore menggantung rendah di langit, menyinari pepohonan rindang yang bergoyang lembut tertiup angin. Di sekelilingnya, anak-anak berlarian, pasangan muda duduk di bangku taman, dan seorang pria tua memberi makan burung merpati.

Ia menarik napas dalam, menikmati aroma rumput segar dan udara sore yang sejuk.

“Datang terlalu cepat?” gumamnya pada diri sendiri.

Tak lama, langkah berat mendekat. Aisha menoleh dan mendapati Arka berjalan ke arahnya dengan langkah santai. Kali ini, pria itu mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Meski berpakaian kasual, aura tenangnya masih sama.

“Maaf membuatmu menunggu.”

“Tidak masalah.” Aisha tersenyum kecil. “Jadi, kita bicara tentang apa?”

Alih-alih langsung menjawab, Arka mengisyaratkan ke bangku taman kosong di bawah pohon. “Duduk dulu.”

Aisha mengangkat alis, tapi tetap menurut. Begitu mereka duduk, Arka menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata,

“Kau ingat anjingku, Nero?”

Aisha mengangguk. “Tentu. Apa dia baik-baik saja?”

“Dia sehat,” Arka mengangguk. “Tapi aku ingin menanyakan sesuatu. Tentang cara melatihnya lebih baik.”

Aisha berkedip, tidak menyangka pria ini akan menemuinya hanya untuk menanyakan hal itu.

“Melatih dalam hal apa?”

Arka terlihat berpikir sejenak. “Dia sedikit… keras kepala. Susah diatur. Kadang terlalu agresif saat melihat orang asing.”

Aisha mengangguk paham. “Itu bisa diatasi dengan latihan dan disiplin. Tapi anjing tidak akan patuh kalau pemiliknya sendiri tidak punya hubungan kuat dengannya.”

Ia menatap Arka dengan pandangan penuh selidik. “Kau sudah mencoba membangun kepercayaan dengannya?”

Arka menatapnya, lalu mengangkat bahu. “Aku memberinya makan. Mengajaknya jalan-jalan. Cukup?”

Aisha menahan tawa. “Jelas tidak.”

Arka menatapnya seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Anjing tidak seperti mesin yang bisa diprogram. Mereka butuh kasih sayang dan interaksi,” kata Aisha, nada suaranya sedikit menggoda. “Kau sering mengelusnya? Bermain dengannya?”

Arka terdiam sejenak, lalu menjawab jujur, “Tidak sering.”

Aisha menatapnya tajam. “Kalau begitu, jangan heran kalau dia sulit diatur.”

Arka menghela napas pelan, tampak mempertimbangkan kata-kata Aisha. “Jadi, harus lebih sering menghabiskan waktu dengannya?”

“Ya. Bukan cuma memberi makan dan melatih. Tapi benar-benar berinteraksi. Anjing bisa merasakan apakah pemiliknya peduli atau tidak.”

Sejenak, keheningan melingkupi mereka. Aisha bisa melihat bahwa Arka benar-benar memikirkan kata-katanya.

Lalu, tanpa diduga, pria itu bertanya, “Kau bisa membantuku?”

Aisha terkejut. “Apa?”

“Melatih Nero.”

Aisha mengerjapkan mata, tidak menyangka permintaan itu.

“Kau mau aku… melatih anjingmu?”

Arka mengangguk santai. “Tentu saja, kalau kau tidak keberatan.”

Aisha mengerutkan kening. “Kenapa aku?”

Arka menatapnya tanpa ekspresi. “Kau dokter hewan.”

“Banyak dokter hewan lain di luar sana.”

“Tapi aku sudah kenal kau.”

Aisha mengerutkan bibir. Jawaban pria ini selalu to the point dan tanpa basa-basi, tapi justru itu yang membuatnya penasaran.

Ia menimbang sejenak. Ia memang menyukai hewan, dan Nero adalah anjing yang menarik. Plus, rasa penasarannya terhadap Arka belum benar-benar hilang.

Setelah beberapa detik, ia akhirnya menghela napas. “Baiklah. Tapi aku tidak gratis.”

Arka mengangkat satu alis. “Berapa?”

Aisha menyeringai. “Kau harus mentraktirku kopi setiap selesai sesi latihan.”

Arka menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Deal.”

Aisha sedikit terkejut melihat senyum itu. Meski kecil dan hanya bertahan beberapa detik, itu adalah pertama kalinya ia melihat ekspresi pria ini yang lebih… manusiawi.

Ia tersenyum kecil. “Baiklah, Arka Adinata. Siap-siap, karena aku pelatih yang cukup galak.”

Arka menghela napas, lalu berdiri. “Kita lihat saja nanti.”

Mereka berjalan keluar dari taman bersama, percakapan ringan terus mengalir di antara mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel