Bab 3 Rumah di Ujung Ingatan
Kabut tipis masih menggantung saat Kirana dan Ares tiba di perbatasan kota.
Jalanan yang mereka lalui mulai berganti menjadi hamparan tanah berbatu, dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi yang menjulang seperti penjaga rahasia.
GPS di ponsel Ares berhenti bekerja sejak dua kilometer lalu, seolah mereka memang tidak diizinkan menemukan tempat ini lewat teknologi.
"Kita sudah dekat," ucap Ares sambil melirik denah lusuh yang mereka temukan di balik sketsa.
Kirana diam ada kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan.
Perasaan familiar tapi juga asing menyelimuti langkahnya. Seperti ia pernah datang ke tempat ini tapi dalam mimpinya.
Rumah itu muncul di balik kabut. Berdiri di atas tebing, menghadap langsung ke lautan yang liar.
Tua, usang, tapi kokoh. Seolah ia tidak menua oleh waktu, hanya menyembunyikan usia di balik cat pudar dan jendela kusam.
"Ini rumahnya?" bisik Kirana.
Ares mengangguk pelan. "Tempat dari mimpi itu."
Mereka melangkah mendekat. Daun pintu kayu retak di beberapa bagian, tapi tak terkunci. Ares mendorongnya perlahan. Derit kayu menyambut mereka, disusul oleh aroma debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang lebih samar bau kenangan lama.
Ruang utama penuh dengan barang-barang antik. Rak buku berderet, lukisan setengah jadi menggantung di dinding, dan sebuah piano tua berdiri di sudut ruangan.
Kirana mendekatinya, menyentuh tuts-nya yang berdebu.
"Pernah ada yang bermain di sini," gumamnya, seolah bicara pada diri sendiri.
Ares menelusuri rak buku, dan menemukan jurnal.
Di halaman pertama tertulis
"Untuk siapa pun yang menemukan ini jangan tanya kenapa aku menghilang. Tanyakan kenapa aku muncul."
Mereka bertukar pandang. Kalimat itu seperti ditujukan langsung kepada mereka.
Di tengah rumah, ada tangga kayu yang mengarah ke lantai dua. Kirana menahan napas saat menaikinya, setiap anak tangga seperti mengantar mereka ke dimensi yang berbeda.
Di atas, hanya ada satu ruangan.
Pintu terbuka sedikit. Saat Kirana mendorongnya penuh, ruangan itu penuh cahaya dari jendela besar yang menghadap laut.
Di dalamnya, sebuah kanvas besar berdiri tertutup kain putih.
Kirana maju perlahan dan membuka kain itu. Nafasnya tercekat.
Itu adalah potret dirinya. Tapi bukan Kirana yang sekarang. Itu Kirana dari tujuh tahun lalu. Wajahnya muda, polos, dengan mata yang belum mengenal kehilangan.
Tapi yang membuatnya menggigil adalah tulisan kecil di sudut bawah kanvas "Kirana, saat kau melihat ini aku mungkin sudah jadi bayangan. Tapi cintaku, tetap akan jadi cahaya."
"Bagaimana bisa dia melukis aku tujuh tahun lalu? Bahkan aku belum mengenalnya" ucap Kirana.
"Atau kamu lupa pernah mengenalnya," bisik Ares pelan
Kirana menatap Ares. "Apa maksudmu?"
Ares membuka lembaran lain dari buku catatan yang ia temukan. Ada tulisan:
"Ingatan manusia bisa dikunci. Tapi rasa? Tidak. Ia akan selalu mencari jalannya pulang."
Tiba-tiba, lantai kayu di dekat jendela berderit. Mereka berdua menoleh. Ada sebuah peti kecil di bawah papan lantai yang longgar.
Ares membukanya.
Di dalamnya, tumpukan surat yang tak terkirim.
Kirana mengambil satu dan membacanya
"Untuk Kirana. Jika suatu saat kamu kembali ke rumah ini, itu berarti kamu mulai ingat. Kamu pernah melukis tempat ini dalam tidurmu karena aku pernah mengajaknya bersamamu. Tapi kamu memilih melupakan demi menyelamatkan dirimu sendiri. Aku tak marah. Aku hanya berharap kamu bisa sembuh. Tapi jika kamu membaca ini, itu artinya kamu memilih untuk kembali terluka demi kebenaran."
Surat itu mengguncang Kirana. Ia terjatuh di kursi tua, matanya memanas.
"Aku pernah ke sini bukan dalam mimpi tapi beneran," bisiknya.
Ares duduk di sampingnya. "Mungkin kamu memilih menghapus semuanya. Tapi kenapa? Apa yang bisa membuatmu melupakan seseorang seperti Bramanta?"
Kirana memejamkan mata. Potongan-potongan kenangan mulai muncul fragmentasi samar yang selama ini ia pikir hanya mimpi. Tangan Bramanta menggenggamnya di tepi tebing.
"Ada yang terjadi di sini," gumamnya. "Sesuatu yang besar. Dan aku memutuskan untuk menghilangkannya. Tapi Bramanta tidak. Ia menyimpan semuanya."
Ares mengangguk perlahan. "Dan sekarang dia ingin kamu mengingatnya."
Tiba-tiba, suara petir menggema dari luar. Langit berubah kelam. Angin menampar jendela dengan liar.
"Kita harus pergi," ucap Ares.
"Tempat ini mulai terasa seperti jebakan."
Tapi sebelum mereka beranjak, Kirana melihat satu lukisan kecil tergantung di balik pintu. Wajah Ares. Tapi berbeda lebih tua, lebih gelap, dan penuh luka.
"Kamu pernah ke sini sebelum aku," ucap Kirana.
Ares menggeleng. "Aku tidak pernah."
Kirana memandangi lukisan itu. Di sudutnya, tertulis:
"Dua wajah. Satu takdir. Tapi hanya satu yang bisa memilih."
Mereka meninggalkan rumah itu dalam diam. Tapi hati mereka bising. Terlalu banyak pertanyaan, terlalu sedikit jawaban. Namun satu hal pasti mereka tidak bisa mundur.
Karena kini, bukan hanya kenangan yang mengejar mereka. Tapi juga kebenaran yang sudah lama menunggu untuk ditemukan.
Di luar rumah, hujan mulai turun deras. Petir menyambar laut, menyinari sekejap rumah tua itu dari kejauhan. Kirana dan Ares berdiri di jalan setapak, membiarkan tetes hujan mengguyur kepala mereka. Diam-diam, Kirana menoleh ke belakang, ke rumah itu tempat rahasia masa lalunya tersembunyi.
Tapi kini, ia tahu ia tak bisa terus lari.
Langkah mereka berlanjut, membelah kabut dan gemuruh malam. Di ujung jalan, dunia menunggu. Tapi di balik bahu mereka, masa lalu masih mengintai, menanti untuk dihadapi.
Dan jauh di atas mereka, petir menyala satu kali lagi, seolah memberi isyarat. Bahwa kisah ini belum selesai. Bahwa takdir masih menulis lembarannya sendiri.
Sementara itu, di dalam rumah, surat terakhir dari Bramanta terbuka oleh angin. Tertulis:
"Jika kamu membaca ini, artinya kenanganmu telah kembali. Tapi jangan percaya semua yang kamu lihat.
Sebab sebagian rahasia disembunyikan bukan untuk dilupakan melainkan untuk dilindungi."
Langit semakin pekat, dan suara gemuruh tak kunjung mereda. Namun di balik semuanya, langkah Kirana kini terasa lebih mantap.
Ia tak tahu apa yang akan ia hadapi selanjutnya, tapi ia tahu satu hal ia sudah siap. Siap untuk membuka kembali pintu masa lalu, dan menghadapi setiap rahasia yang selama ini terkunci.
Karena hanya dengan begitu, kisah mereka bisa benar-benar dimulai kembali.
Dan mungkin, pada akhirnya, mereka akan menemukan bahwa cinta tidak selalu datang dari masa lalu yang sempurna, tapi dari keberanian untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan.
Karena dari situlah, mereka akan benar-benar tahu apakah cinta itu layak diperjuangkan.
Langkah mereka pun makin jauh. Tapi bisikan dari rumah itu tak benar-benar menghilang.
Dalam hati Kirana, ia tahu apa pun yang akan mereka temui nanti, semuanya sudah dimulai dari sini. Dari rumah itu. Dari kebenaran yang perlahan terbuka.
-- Bersambung ke Bab 4 --
