Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Jejak yang Tertinggal

Pintu kamar kos Kirana diketuk dua kali, cepat dan familiar. Lalu suara itu muncul, agak nyaring dan selalu terdengar seperti tak kenal beban hidup.

“Kiranaaaa… buka pintunya, ini aku, sahabat terbaik sejagat raya bawain gorengan dan kabar buruk!”

“Masuk aja, Din, nggak dikunci.”

“Kabar buruknya, tahu isi langganan kamu sekarang lebih banyak cabe daripada isi. Kabar baiknya aku tetap ganteng meski baru putus dua minggu lalu,” ucap Dino sambil menjatuhkan diri ke ranjang Kirana tanpa izin seperti biasa.

Kirana tak langsung tertawa. Ia duduk di tepi ranjang, menatap tembok.

“Aku ketemu orang aneh,” ucap Kirana pelan

“Cowok?”

Ia mengangguk.

Dino langsung duduk tegak. “Please jangan bilang kamu lagi jatuh cinta sama penjual lukisan setan atau cowok misterius yang punya kebun mawar di bawah tanah.”

“Namanya Ares.”

“Ares?” Dino mengernyit. “Siapa dia? Aku nggak pernah dengar kamu nyebut nama itu sebelumnya.”

“Dia... dateng ke galeri. Pertama kali kayak pengunjung biasa. Tapi dia tahu tentang lukisan itu, Din. Tentang sketsa tua yang nggak pernah aku pajang.”

Dino terdiam beberapa detik. Candanya langsung berhenti. “Tunggu. Kamu ngomongin lukisan itu? Yang kamu temuin di rumah lama? Yang kamu simpan di belakang rak buku?”

Kirana mengangguk lagi.

“Dan dia tahu isinya?” Dino mendekat. “Dia tahu apa yang kamu sendiri nggak ngerti selama ini?”

“Dia sebut nama. Nama yang nggak pernah aku cerita ke siapa pun. Bahkan ke kamu.”

Dino terdiam. Perlahan ia duduk kembali, kali ini tanpa gaya. Tangan kanannya meremas plastik gorengan tanpa sadar.

“Oke. Aku nggak suka arah cerita ini. Bukan karena aku cemburu ya meski sedikit boleh lah. Tapi karena ini mulai kayak naskah film thriller murahan.”

“Dia juga tahu sesuatu tentang Bramanta.”

Wajah Dino berubah. “Kir... kamu yakin dia bukan cuma orang iseng?”

“Aku juga mikir begitu awalnya. Tapi ada sesuatu di sorot matanya. Kayak dia tahu lebih dari yang dia ucapkan.”

“Oke. Kalau kamu mikir ini bukan kebetulan, aku ikut bantu. Tapi janji dulu, Kir. Kalau sesuatu terasa nggak beres, kamu tarik diri. Jangan sendirian.”

Kirana menoleh, dan untuk pertama kalinya sore itu, matanya terlihat sedikit basah. “Aku nggak tahu harus percaya siapa Din.”

“Percaya aku aja cukup,” jawab Dino cepat. Lalu menambahkan dengan cengiran kecil, “Soal urusan hati dan misteri, biar aku yang jadi sidekick kamu. Tapi jangan harap aku jadi lucu kayak di film aku lebih ke arah cowok setia yang takut hantu.”

Kirana tertawa pelan. Senyum itu muncul walau samar.

Dan di sanalah semuanya mulai terasa berbeda.

---

Keesokan harinya, langit Bandung masih menyisakan gerimis kecil, seperti perasaan Kirana yang belum juga reda.

Sepulang dari galeri, ia mendapati Ares sudah menunggunya di bawah pohon pinus dekat taman kecil depan kos.

Seolah tahu waktu dan suasana hatinya, Ares berdiri membelakangi matahari, menciptakan bayangan panjang yang memeluk tanah.

Ia hanya mengenakan jaket hitam dan celana jeans, tapi tatapan matanya seperti membawa petir dalam diam.

“Kamu selalu tahu di mana aku berada,” ujar Kirana pelan.

“Karena kamu selalu berjalan dalam pola yang sama. Hanya saja, kamu nggak pernah sadar,” jawab Ares tanpa senyum.

Dari kejauhan, Dino yang baru datang membawa dua bungkus kopi dari warung, langsung berhenti begitu melihat Kirana berbicara dengan pria asing. Ia menyipitkan mata.

“Oh, jadi ini yang namanya Ares?” gumamnya.

Dino mendekat dengan gaya santai, lalu menyelipkan satu bungkus kopi ke tangan Kirana dan satunya ia gigit, sambil berkata pelan, “Kalau cowoknya nggak punya jaminan kesehatan, aku tolak keras.”

Ares menoleh, menatap Dino dengan ekspresi datar. “Kamu siapa?”

“Dino. Sahabat. Bodyguard spiritual. Sering mimpi aneh kalau orang di sekitarku dalam bahaya.”

Ares tak merespon. Ia hanya mengangguk pelan. Tapi tatapannya menajam ke arah Dino, seperti sedang mengukur niat seseorang dari napas dan gerak matanya.

“Dia bukan bahaya,” kata Kirana tiba-tiba, mengalihkan arah. “Dia yang nunjukin hal-hal yang selama ini kupikir cuma imajinasi.”

Dino mengerutkan kening. “Tapi dia belum bilang siapa dia sebenarnya, kan?”

Ares menatap Kirana sejenak, lalu berkata, “Aku bagian dari masa lalu yang kalian pikir sudah mati.”

“Dramatis banget,” celetuk Dino. “Kamu pasti suka nulis puisi gelap waktu SMA, ya?”

Kirana hampir tertawa, tapi ada keseriusan di wajah Ares yang menahannya. Ia merasa bahwa meski Dino berusaha meringankan suasana, ada sesuatu di balik kata-kata Ares yang perlu digali lebih jauh.

Ares lalu mengeluarkan sebuah kertas kusam dari sakunya.

Ia menunjukkannya pada Kirana. Di atasnya tertera gambar yang sama seperti sketsa di lukisan lamanya garis lengkung yang membentuk siluet seseorang berdiri di tepi jurang, dengan latar senja membara.

“Lukisan ini bukan cuma lukisan. Ini rekaman. Jejak. Ada orang yang ingin kamu lupa tentang ini. Tapi kamu sendiri, Kirana, adalah bagian dari alasan kenapa semuanya belum selesai.”

Dino perlahan menurunkan kopinya. Ia diam. Untuk pertama kalinya, humor yang ia andalkan runtuh oleh tekanan atmosfer yang makin pekat.

“Apa maksudmu?” tanya Kirana nyaris berbisik.

Ares menatap ke langit mendung. “Ayahmu tidak mati karena serangan jantung. Dan ibumu Kirana, kamu harus siap menerima bahwa dia bukan seperti yang kamu bayangkan.”

Ucapan itu seperti palu menghantam dada Kirana. Ia menarik napas dalam, seolah dunia di sekelilingnya mendadak jadi sempit.

Dino menggenggam lengan Kirana. Lembut, tapi pasti. “Hei, apa pun yang bakal kita hadapi kita hadapi bareng. Oke?”

Untuk sesaat, Kirana merasa tenang. Tapi hanya sesaat.

Ares menambahkan, “Kita harus mulai dari Rumah Tua di Lembang. Malam ini.”

“Kenapa malam ini?” tanya Dino, agak waspada.

“Karena seseorang sedang menuju ke sana juga. Kalau kita terlambat, semua bukti bisa hilang.”

Dino mengangkat alis. “Rumah Tua di Lembang? Astaga, tempat itu nggak ada sinyal, jalannya rusak, dan konon ada suara perempuan menangis tiap malam Jumat.”

“Justru karena itulah tempat itu tak pernah dijamah,” kata Ares dengan nada tegas.

Kirana menatap dua laki-laki itu silih berganti. Di satu sisi Ares begitu serius dan terikat masa lalu, sementara Dino meski cengengesan ternyata lebih cepat paham suasana hati. Perpaduan mereka seperti dua kutub yang saling menekan, tapi justru membuatnya merasa aman.

“Kalau memang penting, kita berangkat malam ini. Tapi aku butuh tahu siapa sebenarnya kamu, Ares?” tanya Kirana, menatapnya lurus.

“Aku pernah jadi bagian dari rencana ayahmu. Tapi saat semuanya kacau, aku menghilang. Bukan karena takut. Tapi karena jika aku tetap di sana kamu mungkin nggak akan selamat.”

Kirana menunduk. Nafasnya tercekat. Kata-kata Ares seperti membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.

Dino memutar bola matanya. “Oke, oke. Ini udah kayak adegan drama jam tujuh malam. Tapi serius, kalau kamu bohong atau nyakitin Kirana, aku nggak akan segan lempar kamu pakai Tupperware isi batu bata.”

Ares menoleh, akhirnya tersenyum tipis. “Kamu lucu.”

“Dan kamu terlalu serius. Cocoknya jadi aktor sinetron kejar tayang,” balas Dino cepat.

Kirana tertawa kecil. Untuk pertama kalinya hari itu, tawanya terdengar tulus. Ia menyandarkan tubuhnya sebentar ke bahu Dino.

“Terima kasih, Din. Kamu selalu tahu kapan harus bikin suasana jadi nggak nyesek.”

Dino menatapnya sebentar, lalu dengan suara pelan, “Aku selalu tahu kapan kamu butuh tempat bersandar. Tapi kayaknya, sekarang kamu mulai punya dua bahu untuk dipilih.”

Kirana menoleh padanya, lalu ke arah Ares. Untuk sesaat, senyumnya hilang, diganti dengan raut bingung yang dalam. Tapi ia tahu, apapun yang menantinya malam ini di Rumah Tua Lembang, bukan hanya misteri yang akan ia hadapi melainkan juga bagian dari dirinya yang selama ini ia sembunyikan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel