
Ringkasan
Di kota yang basah oleh hujan dan kenangan, Kirana Ayunda mencoba menjalani hidup biasa setelah menyimpan sebuah masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Ia adalah perempuan tenang yang menyimpan luka dalam lukisan, dan cinta dalam jurnal yang tak pernah dibaca siapa pun. Tapi ketika Ares Wicaksono muncul semua penuh teka-teki dalam hidupnya, masa lalu itu perlahan menggeliat kembali. Belum selesai ia memahami perasaannya, Bramanta Putra datang membawa badai dari masa lalu pria yang dulu menjadi dosen nya dan kekasih dalam bayang-bayang. Dikelilingi oleh sahabat yang menyimpan rahasia sendiri dan keputusan-keputusan yang selalu datang terlambat, Kirana terjebak dalam pusaran cinta yang tak pernah sederhana. Karena di balik kata-kata, ada rahasia. Dan di balik senyuman, ada luka yang belum benar-benar sembuh. Ini bukan sekadar cerita cinta. Ini tentang luka yang mencari pulang, dan rahasia yang ingin tetap tersembunyi bahkan setelah senja tak pernah selesai.
Bab 1 Senja yang Diam
Langit sore itu tampak seperti luka yang belum sembuh. Warna jingganya menyebar perlahan, menyentuh setiap sisi kaca jendela apartemen Kirana.
Di balik tirai tipis, perempuan itu duduk diam di hadapan kanvas kosong. Tubuhnya nyaris tak bergerak. Hanya matanya yang hidup, menatap permukaan putih yang belum tersentuh cat sedikit pun.
Sudah tiga hari ia duduk di situ. Tangannya menggenggam kuas, tapi hatinya menggenggam terlalu banyak hal lain.
Ia melukis senja hampir setiap minggu, tapi tak ada satu pun yang selesai. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang ikut macet setiap kali kuas itu menyentuh kanvas.
Sebuah perasaan aneh yang menggantung di antara jari-jari dan pikirannya.
Di sudut ruangan, tepat di atas rak buku tua, sebuah kotak kayu kecil berdiri sendiri.
Terkunci.
Usang.
Tapi masih kokoh, seperti kenangan yang dipaksa tetap hidup. Kirana jarang menoleh ke arah kotak itu.
Tapi akhir-akhir ini, entah kenapa, pandangannya terus tertarik ke sana.
Angin sore menyelip masuk melalui celah jendela. Membawa aroma hujan yang belum turun dan bunyi daun yang terseret waktu.
Kirana memejamkan mata, berharap udara bisa membersihkan pikirannya. Tapi suara itu kembali datang.
Kalimat itu.
"Terkadang, yang paling sulit bukan melupakan, tapi berpura-pura tidak pernah mengingat."
Itu bukan suara nyata. Bukan pula bisikan hati. Itu adalah kutipan yang diucapkan oleh Ares seorang pria asing yang ia temui empat hari lalu di sebuah diskusi sastra kampus.
Pria yang terlalu tenang. Terlalu peka. Dan terlalu tepat memilih kata.
Ares berdiri di antara banyak mahasiswa lain hari itu, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan cokelat yang nyaris tak terlihat.
Suaranya pelan, tapi punya daya dorong seperti magnet. Saat ia mengutip kalimat itu, Kirana merasa seluruh tubuhnya beku.
Itu kalimat yang pernah ditulis oleh Bramanta. Seseorang yang pernah mengisi hidupnya dan kemudian menghilang tanpa jejak, meninggalkan luka yang tidak bisa sembuh, hanya bisa didiamkan.
Yang membuat semuanya lebih aneh adalah kalimat itu tidak pernah dipublikasikan.
Itu hanya ada dalam salah satu surat Bramanta. Surat yang ia simpan dalam kotak kayu itu.
Kirana berdiri. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya gelisah. Ia berjalan menuju dapur, menuang air putih, lalu kembali duduk di hadapan kanvas.
Tapi kali ini, tangannya tidak mencoba melukis. Ia justru mengambil ponsel.
Ada satu notifikasi.
Nomor Tidak Dikenal “Jangan percaya siapa pun, bahkan dirimu sendiri.”
Kirana terdiam.
Tangannya gemetar.
Napasnya pendek.
Ia menghapus pesan itu seketika, lalu menyalakan ulang ponselnya, berharap itu hanya kesalahan sistem. Tapi dalam hatinya, ia tahu pesan itu bukan kebetulan.
---
Di tengah malam yang senyap, Kirana tidak bisa tidur. Cahaya remang dari lampu meja menyinari ruangan dengan tenang.
Di samping tempat tidurnya, kotak kayu itu kini berada di atas meja kecil. Ia tidak ingat kapan ia memindahkannya ke situ. Mungkin otaknya bekerja tanpa sadar. Atau mungkin ia memang ingin membukanya lagi, meski hatinya menolak.
Tangan Kirana menyentuh permukaan kayu yang dingin.
Ada ukiran kecil di sisi atasnya sebuah simbol matahari terbenam, separuh tertutup kabut.
Itu lambang yang dulu Bramanta suka gambar di setiap kertas suratnya.
Entah kenapa, ia selalu bilang, "Senja adalah waktu paling jujur, karena langit akhirnya berhenti berpura-pura jadi biru."
Dengan kunci kecil yang tergantung di kalungnya, Kirana membuka kotak itu.
Aroma kertas tua menyeruak, membawa kenangan yang ingin ia kubur. Di dalamnya ada beberapa surat, satu bundel kecil lukisan, dan sebuah jurnal kulit berwarna gelap.
Ia membuka halaman pertama jurnal itu. Tulisan tangan Bramanta langsung terasa familiar. Miring sedikit, rapi, dan penuh tekanan di setiap akhir kalimat.
Di sudut atas halaman tertulis:
“Jika suatu hari kau membuka ini, berarti aku sudah kehilangan kendali. Jangan percaya siapa pun. Termasuk aku.”
Tangannya mulai berkeringat. Ia membalik halaman demi halaman, dan semakin banyak pertanyaan muncul di kepalanya.
Ada catatan-catatan yang seolah seperti ramalan. Seperti Bramanta tahu sesuatu yang belum terjadi. Seperti ia... sedang menyusun petunjuk.
Dan kemudian, Kirana berhenti di halaman keempat belas.
Sebuah sketsa wajah.
Bukan wajah Bramanta.
Itu adalah wajah Ares.
---
Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia menatap gambar itu lama, mencoba meyakinkan diri bahwa ia salah lihat. Tapi tidak. Lekuk rahang, tatapan mata, hingga garis hidungnya semuanya adalah milik pria yang ia temui beberapa hari lalu.
Pria yang bicara seolah tahu apa yang pernah ia sembunyikan.
Tapi bagaimana mungkin Bramanta menggambar seseorang dua tahun sebelum ia mengenalnya?
Atau apakah semuanya memang bukan kebetulan?
Kirana menutup kotak itu perlahan, menguncinya kembali, lalu menyembunyikannya di bawah tempat tidur.
Tapi tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari pikirannya sendiri.
Saat ia mencoba tidur, pikirannya justru membisikkan kemungkinan-kemungkinan baru.
Apa Ares mengenalnya sejak lama?
Apa Bramanta pernah mengenalnya lebih dalam daripada yang ia kira?
Dan yang paling mengganggu siapa sebenarnya musuh dalam kisah ini?
Sebelum akhirnya tertidur, satu pikiran menempel kuat di benaknya:
“Jika senja ini belum selesai, berarti ada sesuatu yang belum ia ketahui dan sesuatu itu sedang bergerak pelan mendekatinya.”
Kirana menatap layar laptop yang kosong. Pikirannya tak bisa fokus. Malam ini terlalu hening, tapi hatinya ribut.
Di luar, senja telah tenggelam, menyisakan langit keabu-abuan yang seolah menyimpan rahasia.
Ia membuka laci kecil dan mengeluarkan kotak kayu tua. Di dalamnya, ada surat dan beberapa sketsa peninggalan Bramanta.
Salah satunya membuat napasnya tercekat wajah seorang pria yang terasa familiar meski ia tak tahu dari mana.
Kalimat di secarik kertas kecil masih tertulis jelas
“Tak semua luka harus disembuhkan. Beberapa hanya perlu dibiarkan bicara lewat senja.”
Ponselnya tiba-tiba bergetar.
Pesan dari nomor asing
“Sketsa itu belum selesai. Temui aku di galeri yang lama, malam ini.”
Darah Kirana berdesir. Galeri lama adalah tempat terakhir ia bertemu Bramanta, dua tahun lalu sebelum pria itu menghilang tanpa jejak.
Tanpa pikir panjang, Kirana mengenakan jaket dan bergegas pergi, ditemani suara angin malam dan keraguan yang menumpuk.
Di dalam galeri, semuanya tampak sama. Tapi ada satu sketsa baru tergantung di dinding.
Wajah itu Ares.
Pria yang baru ia temui beberapa hari lalu, tapi rupanya sudah dilukis oleh Bramanta sejak lama.
Langkah pelan terdengar dari arah tangga.
Seorang pria muncul dari bayangan, matanya menatap lurus ke arahnya.
“Siapa kamu?” tanya Kirana
Pria itu tersenyum samar
“Aku bagian dari cerita yang seharusnya tidak kamu buka.”
Dan malam itu, Kirana tahu senja yang dulu tak selesai
“Senja selalu menyembunyikan hal-hal yang tak ingin kita ingat, ya?” ucap pria itu, nadanya tenang, namun menyisakan sesuatu yang membuat bulu kuduk Kirana berdiri.
“Maaf, kita pernah bertemu?” tanyanya pelan
“Kita hanya saling melintas dalam cerita, kadang dalam hidupmu, kadang dalam lukisanmu,” jawabnya, masih tanpa memandang Kirana
“Siapa kamu sebenarnya?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Kirana sebentar, lalu berkata dengan suara rendah
“Jangan biarkan yang hilang jadi beban. Kadang sesuatu menghilang karena sedang menunjukkan jalan pulang.”
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan jejak aroma kayu dan hujan yang samar.
Kirana masih berdiri di sana, tatapannya kosong.
Ada yang bergeser dalam dirinya, tapi ia belum tahu apa.
Dan senja, seperti biasa, hanya diam.
