Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Rahasia di Balik Sketsa

Hujan turun lebih deras saat Kirana melangkah keluar dari galeri.

Siapa pria itu?

Dan mengapa wajah Ares ada dalam lukisan Bramanta dua tahun sebelum mereka saling mengenal?

Ponselnya bergetar lagi ada pesan dari Ares.

"Maaf, tadi aku nggak sempat pamit. Tapi aku tahu kamu punya pertanyaan. Dan aku nggak bisa jawab di sini. Boleh kita bicara besok, di tempat pertama kali kamu lihat sketsa itu?"

Kirana menatap layar ponselnya lama.

Ia membalas singkat "Pukul tujuh".

Malam itu, tidur tak benar-benar datang. Ingatannya menari di antara masa lalu dan tanda tanya yang belum selesai.

Bramanta bukan hanya seniman.

Ia adalah rahasia yang hidup, menyisipkan makna dalam diam.

Kirana membuka sebuah kotak kayu yang selama ini ia hindari. Isinya tak berubah surat-surat Bramanta yang tak pernah dikirim, kliping usang tentang pameran seni, dan satu amplop kecil bersegel merah.

Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya ia membukanya perlahan.

Di dalamnya, selembar foto.

Bramanta berdiri bersama seorang pria bukan Ares, tapi sangat mirip. Di belakang mereka, tembok galeri lama yang kini sudah tak ada.

Di balik foto itu tertulis dengan tangan Bramanta

"Kalau aku tak kembali, ingatlah wajah ini. Dia bukan aku. Tapi dia tahu semua tentangku."

Pagi datang membawa kabut tipis. Kirana tiba di galeri lebih awal dari waktu yang dijanjikan.

Ares sudah berdiri di sudut ruangan, matanya tak lepas dari lukisan yang sama.

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana" ucapnya pelan

"Tapi wajah di sketsa itu memang aku. Dan aku baru tahu dua hari lalu  saat galeri ini dibuka kembali."

Kirana menatapnya lekat. "Kamu kenal Bramanta?"

Ares mengangguk pelan. "Secara tidak langsung. Ia pernah datang ke pameran lukisan ayahku. Tapi kami nggak pernah bicara langsung. Anehnya, begitu aku lihat sketsa ini, rasanya ada sesuatu yang mengikat."

Kirana duduk di kursi dekat jendela, mengusap embun di kaca.

"Bramanta nggak pernah menggambar wajah secara acak. Detailnya selalu punya alasan."

Ares lalu mengeluarkan buku catatan usang dari tasnya. Di halaman pertama tertulis nama Bramanta Arsa

Kirana terdiam. Matanya membulat.

"Buku ini aku temukan di toko buku tua di Yogya. Katanya, dititipkan seseorang yang nggak pernah kembali."

Ares membuka halaman tengah. Puluhan sketsa kecil memenuhi halaman itu. Di bawah salah satu gambar, tertulis

"Ares sang pengganti. Kirana harus memilih."

Kirana membeku. Napasnya berat. Perutnya terasa mual, seolah ia sedang membaca takdir yang tak pernah ia minta.

Ares menutup buku perlahan.

"Aku nggak tahu maksudnya. Tapi aku merasa aku bukan kebetulan dalam hidup kamu."

Kirana berdiri. Matanya basah.

"Bramanta pernah bilang, kalau ia menghilang... jangan percaya pada akhir."

Ares menatapnya dalam. "Dan kamu?"

"Aku belum siap percaya pada awal," bisik Kirana.

Mereka terdiam. Namun dari luar jendela, bayangan seseorang berdiri diam,

tak bergerak.

Hanya mengawasi.

Saat pintu dibuka, tak ada siapa pun di luar.

Yang tersisa hanya jejak hujan dan udara dingin yang menggigit.

Ares berjalan menuju lemari tua di pojok ruangan. Ia membuka salah satu laci, mengangkat map lusuh berisi sketsa wajahnya versi yang berbeda.

Wajah itu lebih gelap, mata penuh luka.

"Ini bukan sekadar lukisan," kata Ares lirih.

"Bramanta seperti tahu sesuatu sebelum semua ini terjadi."

Kirana menatap map itu. Di balik kertas sketsa, tersembunyi sebuah peta kecil.

Denah samar seperti menggambarkan lokasi yang familiar tapi tak bisa langsung dikenali.

"Kayak kode" gumam Kirana.

"Aku udah coba telusuri, tapi belum nemu apa-apa. Mungkin kamu bisa bantu. Kamu lebih dekat dengan dia."

Kirana mengangguk pelan. "Tapi kenapa lewat kamu?"

Ares menunduk. "Mungkin karena aku orang luar. Dan kadang mata yang tidak terlibat justru bisa melihat lebih jelas."

Kirana mengalihkan pandangan ke lukisan Bramanta. "Aku nggak tahu apakah aku mencintainya atau cuma mencintai kehilangan itu sendiri."

Dari arah belakang galeri, suara kayu retak mengusik. Ares memberi isyarat agar tetap tenang.

Mereka berjalan menuju ruang penyimpanan.

Lampunya padam.

Rak-rak lukisan berdiri bisu.

Di lantai, secarik kertas basah.

Tulisan tangan Bramanta

"Kalian mendekat pada jawaban. Tapi jangan cari aku. Cari alasan kenapa aku memilih hilang."

Kirana melipatnya, menyelipkan ke dalam buku Bramanta.

"Besok kita ke tempat di denah ini?" tanya Ares.

Kirana mengangguk.

Namun sebelum pergi, Kirana kembali memandangi sketsa Ares versi gelap. Ingatannya melayang pada satu percakapan dengan Bramanta tentang bayangan diri yang tak ingin ditemukan. Dulu ia mengira itu hanya filosofi. Kini terasa seperti peringatan.

"Ares, kamu pernah mimpi tentang tempat yang nggak kamu kenal tapi terasa familiar?"

Ares mengangguk. "Sering. Rumah di atas tebing. Setiap kali mimpi itu datang, aku berdiri di ambang pintu tapi nggak pernah masuk."

Kirana tercekat. "Aku pernah melukis tempat itu. Bukan dari ingatan. Tapi dari cerita Bramanta."

Sunyi mengalir di antara mereka. Hujan pun ikut menunduk.

"Mungkin ini bukan tentang masa lalu atau masa depan," ujar Ares. "Tapi tentang sesuatu yang belum selesai. Dan kita dipilih untuk menyelesaikannya."

Kirana tersenyum tipis. "Lalu kalau kita nggak ingin tahu akhirnya?"

"Maka kita harus siap menerima bahwa beberapa rahasia bukan untuk diungkap, tapi dimaknai."

Hujan mereda. Tapi gejolak dalam hati Kirana baru saja mulai.

Saat mereka melangkah keluar, Kirana merasa seperti sedang masuk ke dalam sketsa hidup yang belum selesai digambar. Dan setiap keputusan mereka, akan menggores garis-garis baru pada kisah yang belum usai.

Di jalan menuju tempat parkir, Kirana mendadak berhenti. Ia menoleh ke arah bangunan tua yang dulunya pernah menjadi ruang kerja Bramanta.

Jendela lantai dua tampak sedikit terbuka. Padahal selama ini, lantai itu dikunci rapat.

"Ares kamu lihat itu?" bisik Kirana, menunjuk ke atas.

Ares mengangguk pelan. Tapi saat mereka kembali menatap jendela itu, tak ada apa-apa. Jendela tertutup. Seolah tidak pernah terbuka.

"Apa mungkin ada orang lain di sana?" tanya Ares.

Kirana menggeleng pelan. "Kunci ruang atas dipegang Bramanta sendiri. Dan sejak ia hilang, tak pernah dibuka lagi. Aku yakin betul itu."

Mereka hanya saling berpandangan. Tak ada kata-kata, hanya pemahaman yang tumbuh dalam diam perjalanan ini tidak akan mudah. Dan mungkin, mereka bukan satu-satunya yang mencarinya.

Kirana menghela napas panjang. “Besok kita mulai semuanya. Tapi setelah itu, aku nggak yakin kita masih bisa kembali ke hidup yang lama.”

Ares menatapnya penuh keyakinan. “Kita memang nggak harus kembali. Mungkin, ini memang tentang menemukan versi baru dari diri kita yang dulu pernah hilang.”

Kirana tersenyum samar, meski matanya tetap menyimpan gelisah. "Kadang aku berpikir, apakah hidup ini cuma serangkaian sketsa kasar yang nggak pernah sempat selesai. Dan kita cuma bisa menebak, garis mana yang harus diikuti."

"Mungkin justru di situlah keindahannya," jawab Ares pelan.

"Garis-garis itu membawa kita ke tempat yang nggak kita duga. Bahkan pada orang yang seharusnya nggak kita temui."

Saat mereka hampir sampai di mobil, Kirana berhenti sekali lagi. Di aspal yang basah, ada jejak sepatu yang mengarah dari galeri ke arah seberang jalan tapi tidak ada siapa pun di sana.

Ia menunduk, memperhatikan bentuk tapaknya. Sepatu bot kulit, ukurannya jauh lebih besar dari kaki Ares.

"Aku rasa kita sedang diawasi," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.

Ares menatap sekeliling, lalu membuka pintu mobil. "Besok kita bawa kamera kecil. Kalau perlu, pasang juga alat perekam suara di galeri. Siapa tahu Bramanta meninggalkan lebih dari sekadar lukisan."

Kirana mengangguk tanpa berkata apa-apa. Di dalam hatinya, ia tahu malam itu telah membuka pintu ke tempat yang lebih dalam tempat yang selama ini ia kunci rapat. Dan sekali pintu itu terbuka, tak ada jalan untuk menutupnya kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel