Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 04 : Diajak ke Istana

Di gang sempit yang sepi, cukup jauh dari gemerlap dan kebisingan Hong Lu Fang, langkah kaki mereka melambat. Hua Zhen menggigil pelan di balik jubah luar yang tadi disampirkan Shen Li Xuan ke pundaknya, sementara dua pengawal bayangan berjalan di belakang, siaga namun diam.

Tiba-tiba, Shen Li Xuan berhenti. Bahunya tegang.

“Kalian berdua,” katanya pelan namun tajam. “Siapa yang memberi izin untuk ikut diam-diam?”

Pengawal yang lebih tua menunduk. “Ampun, Yang Mulia. Kami hanya khawatir keselamatan Anda terancam. Kami... tidak bermaksud—”

“Dan sekarang, seluruh distrik tahu kalau Kaisarnya sedang menyamar malam-malam!” suara Shen Li Xuan sedikit meninggi. “Apa kalian sadar akibatnya? Besok pagi, semua orang akan berspekulasi. Rumah hiburan itu akan jadi sarang gosip, dan aku tak akan bisa menginjakkan kaki ke pasar tanpa dijaga seperti tawanan!”

Keduanya langsung berlutut. “Kami rela dihukum sesuai aturan istana...”

Shen Li Xuan menghela napas panjang, menekan amarahnya. “Kalian memang setia... tapi bodoh. Menyamar itu berarti tidak terlihat. Bukan unjuk kekuasaan.”

Dia memalingkan wajah, menatap Hua Zhen yang masih menunduk, matanya masih sembab dan pipinya memerah karena dingin serta sisa tangis. “Kalau bukan karena wanita ini... aku takkan membiarkan semuanya terbongkar begitu saja.”

Hua Zhen langsung tersentak, lalu menjatuhkan diri ke lututnya. Kedua tangannya terangkat dan menaut erat di depan dada, membentuk kepalan hormat. Suaranya bergetar lirih, penuh rasa bersalah.

“Ma-maaf, Yang Mulia... Maafkan hamba... Maafkan hamba yang telah menyeret Yang Mulia ke dalam kekacauan ini...”

Shen Li Xuan menghela napas panjang, pandangannya menyapu wajah gadis itu yang tak berani mendongak sedikit pun.

“Kau tidak perlu minta maaf,” katanya, nadanya tenang namun tegas. “Ini bukan salahmu. Aku sendiri yang memilih untuk membantumu. Hanya saja—”

“Justru karena itu...” sela Hua Zhen dengan suara nyaris berbisik, tapi penuh penyesalan. “Yang memaksa Yang Mulia untuk turun tangan... adalah hamba sendiri.”

Ada keheningan sejenak. Angin malam berembus lembut di antara mereka, mengangkat helaian rambut panjang Hua Zhen yang kusut dan menyentuh tanah.

Shen Li Xuan menatapnya lama, ekspresi wajahnya sulit dibaca. Tapi sorot matanya... ada sesuatu yang berubah.

“Kau rakyatku,” katanya akhirnya. “Sudah seharusnya aku melindungimu. Berdiri.”

Dengan cepat, Hua Zhen menurut. Ia berdiri meskipun lututnya masih lemas. Namun kepalanya tetap tertunduk dalam, tak sanggup menatap mata sang Kaisar.

Padahal, Shen Li Xuan tengah menantikan tatapan itu. Tatapan rusa ketakutan yang entah kenapa membuatnya... terusik. Ada sesuatu dalam mata itu yang membuat dadanya terasa berat.

“Kalian berdua,” ucapnya tiba-tiba pada kedua pengawal bayangannya, “Antar wanita ini ke rumahnya.”

“Tidak!” seru Hua Zhen spontan, langkahnya mundur setengah jengkal. Suaranya menggema di gang sepi itu.

Pengawal yang lebih muda langsung melangkah maju dengan wajah murka.

“Hei, kau! Beraninya menolak perintah Yang Mulia!” serunya sambil menarik pedang setengah dari sarungnya. “Kau mau dihukum mati karena lancang?!”

Namun sebelum pedang itu benar-benar terhunus, Shen Li Xuan mengangkat tangannya dengan tegas. Satu gerakan kecil darinya sudah cukup membuat mereka menghentikan niat.

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Hua Zhen perlahan mendongak, dan mata mereka bertemu.

Dan saat itulah... Shen Li Xuan kembali merasakannya. Hentakan kecil dalam dadanya. Sorot mata itu—basah, bulat, tak bersalah—menatapnya seperti rusa kecil yang tersesat dan memohon keselamatan di hadapan pemangsa.

Ia tak menyukai hal seperti ini. Tapi matanya tak mau berpaling.

Nafas Shen Li Xuan terasa tertahan. Jemarinya mengepal di balik lengan bajunya yang longgar.

Wanita ini... mengapa membuatnya merasa seperti ini?

“Kenapa?” suara Shen Li Xuan terdengar tegas dan dalam, mengiris malam yang hening. Tatapannya tajam menembus wajah gadis di depannya.

Hua Zhen menelan ludah, dadanya sesak oleh ketakutan dan luka lama yang belum sembuh. “Hamba... tidak mau kembali ke rumah di mana orang yang seharusnya melindungi hamba justru menjual hamba, Yang Mulia. Jika hamba kembali, ayah tiri hamba akan menyeret hamba lagi ke rumah hiburan. Atau... menjual hamba pada pria yang lebih buruk lagi.”

Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan luka tak kasatmata di antara mereka.

Shen Li Xuan menyipitkan mata, tak langsung membalas. Angin malam menyusup ke sela pakaiannya, namun tak sedingin perasaannya saat mendengar kenyataan itu.

“Lalu?” tanyanya pelan, tapi dalam. “Kau mau ke mana?”

Hua Zhen terdiam. Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun menyakitkan karena ia sendiri tak tahu jawabannya. Ke mana seorang gadis buangan seperti dirinya harus pergi?

Wajahnya menegang. Jika dia pulang, maka Zhao An akan memukulinya. Memaksanya menari lagi di depan pria-pria hidung belang. Atau menjualnya pada lelaki yang lebih bengis dari yang pertama.

“Hamba...” suaranya nyaris tak terdengar, “akan pergi... tapi tidak akan kembali ke sana lagi.”

“Tepatnya, kau akan ke mana?”

Hua Zhen menggigit bibir bawahnya. Keras. Sampai sedikit berdarah. Ia menunduk makin dalam, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.

“Hamba... akan pergi ke desa sebelah. Mungkin... akan mencoba menjadi pelayan di rumah orang. Atau bekerja di ladang.”

Shen Li Xuan menarik napas panjang. Sorot matanya meredup. Jika bukan karena memikirkan permaisurinya yang lembut dan penuh kesetiaan, mungkin ia akan membawa wanita ini ke istana—menjadikannya selir dan melindunginya dengan seluruh kekuasaan yang ia punya.

Tapi ia tahu, hidup tidak sesederhana itu.

Ia memandang gadis itu sejenak. Tubuhnya ringkih, tapi matanya menyimpan keberanian yang jarang terlihat.

“Kau...” katanya akhirnya, “mau jadi pelayan di istana?”

Hua Zhen tersentak. Ia mendongak cepat, matanya melebar. “Pe-pelayan istana?” ulangnya tak percaya. “Hamba... jadi pelayan istana? Apa itu benar-benar bisa?”

“Jika kau mau,” jawab Shen Li Xuan, datar. Namun di balik nada suaranya yang tenang, terselip keputusan yang tak main-main.

Hua Zhen tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Air matanya menggenang lagi, kali ini bukan karena kesedihan, tapi kelegaan.

“Ya, Yang Mulia!” serunya sambil membungkuk dalam. “Hamba mau! Hamba sangat bersedia tinggal di istana meski hanya sebagai pelayan. Setidaknya, hamba tidak akan lagi dijual di rumah hiburan... tidak lagi diperlakukan seperti barang.”

Shen Li Xuan menatapnya sesaat—lama, diam, dan penuh makna. Lalu ia mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa, dan membalikkan tubuh.

Jubahnya berkibar ringan saat ia melangkah pergi, perlahan namun pasti, menuju jalan kembali ke istana Negeri Langit.

Malam itu, di bawah langit gelap dan temaram cahaya lentera, satu takdir berubah arah. Seorang gadis biasa akan menapaki gerbang istana, bukan sebagai tamu, bukan sebagai selir—tapi sebagai seseorang yang kelak mungkin akan mengguncang hatinya yang beku.

Perjalanan menuju istana Negeri Langit tak semegah bayangan Hua Zhen. Mereka berjalan kaki melewati jalan setapak yang semakin sunyi, ditelan kegelapan hutan malam. Ranting-ranting patah berserakan, dan kabut tipis mulai turun, menyesaki udara dengan aroma tanah basah dan dedaunan lembap.

Shen Li Xuan berjalan di depan dengan jubah hitam panjangnya yang nyaris menyatu dengan malam. Dua pengawal bayangan setia mengikutinya tanpa suara, langkah mereka nyaris tak terdengar. Hua Zhen menggenggam lengan bajunya sendiri, dingin menusuk hingga ke tulang, tapi ia tak berani mengeluh.

Tiba-tiba langkahnya terhenti.

“Yang Mulia...” bisiknya pelan.

Shen Li Xuan menoleh. “Kenapa?”

Hua Zhen menajamkan pendengarannya. Suara gemeretak roda kayu—pelan tapi semakin jelas—menembus keheningan malam. Seperti... kereta. Ya, kereta yang sedang melaju cepat dari arah belakang mereka.

“Ada kereta...” katanya sambil menoleh ke arah gelap di ujung jalan, “mendekat ke arah kita.”

Salah satu pengawal mengernyit. “Kami tidak mendengar apa pun.”

“Aku yakin,” ucap Hua Zhen lirih, “aku mendengarnya. Kita bisa meminta tumpangan. Setidaknya lebih cepat sampai ke istana...”

Shen Li Xuan sempat terdiam, menimbang. Ia memang sedang menyamar. Berhenti dan menunggu kereta bisa jadi berisiko, tapi berjalan kaki semalaman di hutan ini juga bukan pilihan bijak.

Akhirnya ia mengangguk. “Baik. Kita tunggu di balik semak itu. Jangan langsung muncul sebelum kita tahu siapa mereka.”

Mereka semua mundur, bersembunyi di balik gelapnya semak dan bayangan pepohonan tinggi. Suara kereta itu makin jelas. Roda besar bergesekan dengan tanah bebatuan, suara kuda meringkik, dan derap langkah cepat—semakin dekat. Terlalu cepat untuk kereta biasa.

Cahaya lentera dari kereta itu mulai tampak. Namun... sesuatu terasa aneh.

“Lampunya merah?” gumam salah satu pengawal dengan alis menurun.

Kereta itu akhirnya berhenti, tepat beberapa meter dari tempat mereka bersembunyi. Pintu kayunya terbuka dengan suara berderit keras... dan dari dalamnya keluar pria-pria berbaju gelap, berpenutup wajah, bersenjata lengkap.

“Keluar kau, Raja Palsu!” salah satu dari mereka berteriak keras. “Kami tahu kau di sini!”

Hua Zhen menahan napas. Matanya membelalak. Shen Li Xuan menyipitkan mata tajam.

Salah satu penjahat mengangkat tangan, memberi aba-aba. Dan dalam sekejap...

SRETTT!

Anak panah melesat menembus udara—langsung mengarah ke tempat mereka bersembunyi!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel