
Ringkasan
[Area Dewasa 21+] Di malam pelelangan yang gelap—tempat harga manusia ditentukan oleh nafas putus asa—Hua Zhen diselamatkan oleh pria menyamar yang tak lain adalah Kaisar Shen Li Xuan sendiri. Namun pelarian mereka berubah menjadi takdir ketika keduanya terjebak dalam sebuah gua di malam bulan purnama—malam yang membawa kutukan turun-temurun bagi sang Kaisar: ia harus menyatu dengan seorang wanita agar darah keturunan kerajaan tetap mengalir. Jika tidak, ia akan menanggung penyakit mematikan sebagai konsekuensinya. Satu malam yang tak pernah diinginkan itu menanamkan lebih dari sekadar kenangan—ia meninggalkan benih kehidupan di rahim Hua Zhen. Tapi istana bukan tempat yang ramah. Permaisuri menolak kehadiran selir, dan Kaisar sendiri bersumpah tak akan mencintai selain sang permaisuri. Maka, Hua Zhen memilih pergi, menghilang tanpa jejak, membawa serta anak sang Kaisar yang belum lahir. Ketika Shen Li Xuan akhirnya mengetahui bahwa Hua Zhen mengandung darah dagingnya, ia dihantui oleh penyesalan dan keinginan untuk memperbaiki semuanya. Ia rela turun dari tahtanya, menanggalkan harga diri dan gelarnya—demi satu hal: memohon Hua Zhen kembali. “Aku mohon, Hua Zhen... kembalilah. Ikut bersamaku ke istana. Aku akan menjadikanmu selirku.” – Shen Li Xuan “Tidak, Yang Mulia. Sudah terlambat. Hamba tidak lagi menginginkan kedudukan itu. Hamba tidak akan kembali, bahkan jika itu berarti hamna harus mati bersama anak ini.” – Hua Zhen ❌️ Dilarang Plagiat ❌️ ? IG: @langit_parama
Bab 01 : Dijual di rumah Hiburan
Angin musim semi berembus lembut, membawa aroma manis dari bunga-bunga peony yang bermekaran di halaman belakang kediaman keluarga Zhao. Warna merah muda lembut, putih bersih, dan ungu pucat mewarnai taman, menciptakan lukisan hidup yang menenangkan mata. Di bawah pohon plum yang kelopaknya perlahan gugur, seorang gadis muda tampak tekun merangkai bunga ke dalam wadah bambu yang dikepang halus.
“Hua Zhen, bunga ini cocok tidak kalau dipasang di tengah?” tanya Meilan, sahabatnya, sambil mengangkat setangkai peony putih ke arah cahaya.
Hua Zhen menoleh. Senyum lembut menghiasi wajah ovalnya yang seputih porselen. Matanya bening laksana embun pagi, memantulkan cahaya mentari dengan indah. Rambut panjangnya disisir rapi dan dikuncir sederhana, beberapa helai membingkai wajahnya, memberi kesan anggun dan polos.
“Cocok. Warna putih bisa jadi penyeimbang warna merah yang di pinggir,” jawab Hua Zhen sambil menambahkan bunga itu ke tengah susunan. “Tapi jangan terlalu padat, agar bisa ‘bernapas’.”
Tawa kecil terdengar di antara para gadis muda yang berkumpul di taman itu. Suasana hangat, seperti musim semi yang memberi harapan baru. Namun ketenangan itu tiba-tiba terguncang.
Brak!
Terdengar suara gaduh dari depan rumah. Diikuti teriakan kasar yang membuat jantung Hua Zhen mencelus.
“Zhao An! Keluar kau! Tiga bulan kau janji bayar utang, sekarang waktunya lunas!”
Hua Zhen langsung berdiri. Tangan yang tadi menggenggam bunga kini gemetar. Wajahnya pucat.
“Ada apa itu…?” gumam Meilan dengan cemas.
Tanpa menjawab, Hua Zhen bergegas menuju pintu depan, diikuti Meilan yang tak kalah panik.
Di halaman depan, di balik gerbang kayu yang sudah lapuk, dua pria bertubuh besar mencengkeram kerah seorang pria paruh baya yang tampak lusuh dan panik—Zhao An, ayah tiri Hua Zhen. Wajahnya penuh keringat, bajunya kusut tak karuan. Di samping mereka berdiri seorang pria berusia sekitar empat puluhan, mengenakan jubah sederhana namun rapi. Matanya tajam, mulutnya melengkung sinis. Di tangan kirinya tergenggam buku catatan kecil—itulah Tuan Ma, rentenir dari kota.
“Tuan Ma… tolong beri aku waktu seminggu lagi,” Zhao An memohon. “Aku hampir dapat pekerjaan baru di kantor pengadilan kota…”
“Omong kosong!” bentak Tuan Ma. “Kau sudah janji tiga kali. Sekarang bayar, atau rumah ini jadi jaminan!”
Hua Zhen maju. “Tolong, Tuan Ma, jangan paksa Ayah saya… beliau baru sembuh dari demam tinggi. Tubuhnya masih lemah…”
Tatapan Tuan Ma menoleh padanya, tajam dan penuh perhitungan. Matanya mengamati Hua Zhen dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari jemari ramping yang masih menggenggam setangkai bunga, hingga wajah alami yang bersinar meski tanpa riasan.
Zhao An mendongak, dan seolah untuk pertama kalinya, menyadari sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya—putri tirinya sudah tumbuh menjadi gadis muda yang cantik luar biasa. Kulitnya halus, tubuhnya anggun, wajahnya bersih tanpa cacat… dan yang terpenting, belum ternoda.
“Apa urusannya dengan aku kalau ayahmu sakit atau tidak?” tukas Tuan Ma kasar. “Hutang tetaplah hutang. Aku tak peduli berapa alasanmu!”
“Saya tahu,” ujar Hua Zhen lirih, “tapi saya mohon… beri kami waktu satu bulan. Hanya satu bulan.”
Tuan Ma mengangkat alis. “Bulan lalu kalian juga berkata begitu. Harus kupercaya lagi, hah?”
“Kali ini berbeda, saya bersumpah. Kalau kami tidak bisa membayar dalam satu bulan…”
Hua Zhen belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Bugh!
Tendangan keras melayang ke arah Zhao An. Pria tua itu terjatuh ke tanah, mulutnya mengeluarkan darah. Hua Zhen berteriak kaget.
“Ayah!” jeritnya, berlutut di samping tubuh Zhao An yang menggeliat kesakitan.
“Tuan Ma, cukup!” suara Hua Zhen pecah. “Saya mohon, hentikan… Jangan sakiti Ayah saya!”
Tuan Ma meludah ke samping, lalu mendekat. “Satu bulan, ya? Kalau kau bisa jamin… mungkin aku bisa pertimbangkan. Tapi…”
Tatapannya tajam mengarah pada Hua Zhen. “Kalau sampai lewat satu hari saja dari waktu yang kau janjikan, aku akan ambil rumah ini—dan mungkin juga kau.”
Hua Zhen menatap Tuan Ma dengan mata membelalak, tapi tak berkata apa-apa. Hatinya menegang. Untuk pertama kalinya, dia merasa seperti seekor domba yang sedang dikelilingi serigala.
Dan di kejauhan, musim semi yang indah seolah mengejek ketakutan yang baru saja tumbuh di hatinya.
Setelah para penagih utang pergi meninggalkan ancaman terakhir, keheningan kembali menyelimuti halaman rumah keluarga Zhao. Hanya suara desir angin dan helaan napas berat yang tersisa. Hua Zhen memapah Zhao An masuk ke dalam rumah yang sederhana dan mulai rapuh dimakan waktu.
Ia mendudukkan sang ayah di bangku kayu dekat perapian, lalu mengambil kotak obat dari lemari tua. Dengan tangan cekatan, ia meracik ramuan herbal, menumbuk daun dan akar yang telah kering, mencampurkannya dengan sedikit air hangat hingga membentuk pasta pekat. Aroma segar khas tumbuhan memenuhi udara.
“Ayah… sakitnya di sini?” tanyanya lembut, mengangkat lengan Zhao An yang membiru karena tendangan tadi.
Zhao An hanya mengangguk pelan. Wajahnya meringis, tapi matanya tidak menatap luka itu—melainkan menatap gadis di depannya.
Hua Zhen mengoleskan ramuan ke kulit memar dengan hati-hati, seolah takut menyakiti. Setiap gerakannya penuh perhatian. Helaian rambutnya jatuh ke pipi, dan tangan kecilnya bergetar pelan saat menekan ramuan ke luka. Wajahnya cemas, tulus, dan tak menyadari bahwa sepasang mata sedang menelannya dalam diam.
Zhao An memandang Hua Zhen lama. Tatapan itu bukan tatapan seorang ayah kepada anak. Ada sesuatu yang berubah—dingin, hitung-hitungan, dan kejam. Seperti pedagang yang sedang menilai barang dagangan terbaiknya. Gadis ini… masih muda, cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya belum ternoda… dan yang lebih penting, ia belum tahu dunia luar.
Dalam benaknya, sebuah pikiran jahat mulai berakar: rumah hiburan di kota barat, pemiliknya kaya raya dan selalu mencari gadis muda yang belum tersentuh...
Bibir Zhao An mengatup rapat, menyembunyikan niat kotor yang perlahan menjalar di dalam dirinya. Ia tidak berkata apa-apa—belum saatnya.
“Sudah lebih baik, Ayah?” tanya Hua Zhen, menatapnya dengan polos.
Zhao An tersenyum samar, pura-pura lemah. “Iya, lebih baik… Kau anak yang baik, Zhen’er.”
Tapi di balik senyum itu, diam-diam ia merancang sesuatu. Sesuatu yang akan menghancurkan hidup anak yang baru saja menyelamatkannya.
Malam itu, saat seluruh kota telah terlelap dalam gelap dan sunyi, Zhao An menyelinap keluar dari rumah seperti bayangan. Langkahnya ringan tapi pasti, membawa dosa dalam diam menuju sudut kota Liucheng—ke sebuah bangunan tua dengan papan merah pudar bertuliskan "Yuefang", rumah hiburan paling terkenal di wilayah itu.
Ia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan sosok wanita tua dengan pakaian mencolok dan mata tajam menyambutnya—Yue Niang, sang mucikari yang dikenal karena bisa mencium uang dari kejauhan.
"Kau pernah bilang butuh gadis perawan untuk pelelangan besar bulan ini," kata Zhao An tanpa basa-basi.
Yue Niang menyipitkan mata, lalu menyeringai. "Memangnya kau punya stok langka?"
"Anak tiriku. Cantik. Kulitnya putih seperti giok. Lembut. Belum tersentuh," ucap Zhao An datar. Tak ada rasa bersalah dalam suaranya.
"Usianya?"
"Baru enam belas lewat dua bulan."
Yue Niang terkekeh rendah. "Manis sekali… Bawa dia ke sini tiga malam lagi. Hari itu para bangsawan datang. Kalau semurni yang kau bilang, harganya bisa lunasi utangmu… bahkan sisanya bisa buat hidup enak satu musim."
Zhao An hanya mengangguk. Hatinya tak bergetar sedikit pun. Seolah ia baru saja menjual seekor kambing, bukan seorang gadis yang memanggilnya ayah.
***
Tiga malam kemudian.
Zhao An menyeduh teh hangat di dapur sempit mereka. Asapnya mengepul, menyembunyikan cairan bening yang baru saja diteteskannya ramuan penenang dari kantong kecil kain. Ia mencampurnya hati-hati, mengaduk perlahan hingga larut sempurna.
"Zhen'er, kemari. Minum dulu sebelum tidur. Teh pahit ini bagus untuk kesehatanmu, terutama setelah kamu repot mengurus Ayah beberapa hari ini," katanya sambil tersenyum tipis.
Hua Zhen, yang tengah membereskan bantal dan selimut untuk tidur, mendekat tanpa curiga. Matanya lelah, tapi tetap penuh kasih. "Ayah juga harus istirahat. Luka ayah belum sembuh benar," ujarnya, lalu menerima cangkir itu.
"Ayah sudah minum duluan tadi. Minumlah, ini yang terakhir."
Gadis itu menyesap perlahan. Rasanya getir menusuk lidah, tapi ia tak mengeluh. "Pahit sekali, tapi... ya sudah lah," gumamnya sambil menghabiskan setengahnya. Setelah itu, ia meletakkan cangkirnya, lalu berbaring di kasur jerami.
Tak butuh waktu lama. Pandangannya mulai kabur. Dengung halus mengisi telinganya. Jantungnya berdebar tak menentu.
"Kenapa… ngantuk sekali…" bisiknya pelan, sebelum akhirnya kesadarannya runtuh ke dalam kegelapan.
Gelap. Dingin. Sakit.
Hua Zhen terbangun dengan kepala berdenyut hebat. Napasnya berat, tubuhnya terasa kaku. Ia mencoba mengangkat tangan, tapi tak bisa. Tali kasar melingkar erat di pergelangan tangannya. Kakinya pun terikat, dan ada kain membungkam mulutnya, hanya menyisakan suara erangan pelan.
Ia panik.
Matanya melotot, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya remang. Di sekelilingnya hanya dinding kayu yang berderak dan bau jerami kotor. Ia berada di dalam kereta, dan itu bukan kereta biasa. Suaranya berat, seperti membawa beban besar dan bergerak dengan arah tujuan yang ia tak tahu.
Dengan tubuh gemetar, ia menggeliat. Ia mencoba menggesek tali itu ke paku di lantai kereta. Luka lecet mulai terasa di kulitnya, tapi ia tak peduli. Ia mencoba dan mencoba—hingga suara hentakan kereta tiba-tiba berhenti.
Suara pintu dibuka. Cahaya merah dari luar masuk, menyilaukan matanya yang terbiasa dalam gelap. Udara lembab dan aroma dupa menyambut keras di hidungnya.
Dua tangan kuat menariknya keluar.
Hua Zhen terbelalak. Bangunan megah berdiri di depannya, tinggi dan penuh lentera merah. Musik kecapi terdengar, diselingi tawa laki-laki mabuk. Aroma wewangian menusuk hidung, dan perempuan-perempuan berpakaian terbuka berjalan di antara lorong-lorong bercahaya.
Ia tahu tempat ini. Rumah hiburan.
Tubuhnya menegang saat melihat sosok wanita tua berpakaian mencolok berdiri di pintu, tersenyum lebar—Yue Niang.
“Cantik sekali… Ah, kau memang membawa harta karun, Zhao An,” katanya dengan mata bersinar puas.
Hua Zhen menoleh, matanya mencari wajah yang dikenal.
Dan di sana… berdiri ayah tirinya. Di tangannya, sekantong koin emas. Kilau logam itu menusuk seperti belati.
Ia menggeliat lebih keras. Mulutnya bergerak di balik kain. Air mata mengalir deras dari matanya.
Zhao An menunduk sebentar. Tapi ia tidak mendekat.
“Mmhh!! Mmmhh!!” gumamannya makin kuat. Ia meronta, dan kain penutup mulutnya bergeser.
“A-Ayah… Aaaayah…?” suaranya pecah, gemetar.
Zhao An menatap sekilas, lalu membalikkan badan.
“Ayah! Jangan tinggalin aku! Jangan jual aku! AYAAAH!!”
Tangisnya pecah. Suaranya mengiris udara malam. Ia berusaha bangkit, berusaha mendekat, tapi dua pelayan lelaki menahannya dari kanan dan kiri.
"Aku mau pulang! Aku anakmu! Ayah, kumohon... aku tidak mau di sini!" jeritnya histeris.
Zhao An berhenti sebentar di ambang pintu. Bahunya berguncang. Mungkin hatinya terguncang. Tapi hanya sebentar.
Ia pergi. Tanpa menoleh.
Dan malam itu, dunia Hua Zhen yang kecil dan sederhana runtuh dalam sekejap. Tidak ada tempat untuk lari. Tidak ada orang yang mendengar jeritannya. Tidak ada tangan yang menyelamatkannya.
Yue Niang mendekat. Menepuk pipi gadis itu dengan lembut, namun senyumnya kejam. “Kau akan jadi bintang pelelangan. Para bangsawan menyukai yang polos-polos seperti dirimu. Bersiaplah, sayang kecil.”
Dan malam itu, nasib seorang gadis dijual demi segenggam emas.