Bab 4
"Bajumu kenapa?" tanya Biyung. Perempuan yang telah melahirkanku. Aku ini anak tunggal.
Anak tunggal kalau di TV, hidupnya serba waow, di manja, kemana-mana naik mobil, beda sekali denganku. Yang hidupnya hanya seperti inilah. Sekolah juga tak tinggi, hanya sebatas SMA. Tak apalah, Biyung dan Bapak hanya sanggup sampai di situ menyekolahkanku. Alhamdulillah.
Aku menatap ke arah bajuku. Memang gelepotan donat. Karena tadi tanganku langsung meremas dan tidak cuci tangan dulu. Bajulah untuk kain lapnya. Karena langsung tancap gas pulang. Apes memang. Uang donat tak dapat, baju kotor.
"Habis nganterin donat, numplek, Yung," balasku asal. Tak mungkinlah, aku jujur kalau habis duel sama pasangan yang sama-sama sekilo kurang.
Ya, nggak nyangka saja, kalau suami Mbak Yuyun sama-sama kayak dia. Ah, cerminan jodoh tak jauh dari diri kita itu, kayaknya benar.
Tuh, buktinya, Mbak Yuyun dan suaminya, sama-sama sekilo kurang, makanya di jadikan satu, jadi klop sekilo genap.
"Lah ... minta ganti dong?" tanya Biyung.
"Nggak, Yung! Aku gratiskan saja. Malas buat lagi. Aku ingin istirahat," jawabku seolah tak terjadi apa-apa. Biyung terlihat manggut-manggut.
"Yaudah, sana istirahat! Mukamu layu gitu. Adonan donat yang belum kamu goreng, sudah Biyung selesaikan. Lama tadi kamu keluarnya. Jadi adonan donatnya ngembang kayak badanmu," ucap Biyung. Tak ada senyum di bibirku. Karena masih dongkol dengan pasangan suami istri yang aneh itu.
"Makasih, ya, Yung!" jawabku.
"Iya," balas Biyung.
Entahlah, aku tak memikirkan lagi laba ruginya penjualan donatku hari ini. Karena mood ambyar dan belum pulih kembali.
Untung ada Biyung. Kalau masalah donat, Biyung memang ahlinya. Karena aku belajar juga dari beliau.
Karena badan terasa lengket, aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Biar fresh jadi terasa nyaman.
******
Niat hati mau tidur. Tapi mata tak bisa terpejam. Akhirnya aku keluar dari kamar.
Banyak pesanan donat yang masuk lewat pesan chat. Tapi untuk besok. Jadi hari ini aku mau santai dulu. Lagian hati masih kacau. Sekacau donat yang aku remas tadi.
"Mbak Ul ... Mbak ...." teriak Mbak Salamah. Ya, aku hafal sekali nada suaranya. Karena setiap hari mendengar. Dan kemana-mana dialah partnerku. Sama-sama belum menikah.
Cuma bedanya, Mbak Salamah ramping. Aku bundar. Dia di sini ikut Bapaknya yang udah menikah lagi. Tapi sering juga main ke rumah emaknya. Karena tak jauh juga.
"Ada apa, Mbak Mah?" tanyaku. Karena nada suaranya terdengar ada sesuatu yang membahayakan.
"Lihat ini!" Mbak Mah menyodorkan gawainya. Karena raut wajahnya terlihat panik, akhirnya aku menerima gawai itu juga dengan kilat.
"Allahu Akbar!" ucapku reflek saat melihat sesuatu yang memalukan di dunia sosial Media.
Ya, aku melihat Mbak Yuyun memposting foto mereka berdua. Foto dia sama suaminya yang masih awut-awutan sama donat, dengan caption yang cukup menarik kembali emosiku.
[Akibat ulah si penjual donat yang sayang-sayangan sama suami saya. Dia yang ngelabrak. Harusnyakan aku yang ngelabrak dia.]
Seperti itulah ulah si Yuyun.
"Sabar! Sabar! jangan keluar tanduk dulu! Jangan baca doa makan dulu!" ucap Mbak Salamah, sambil ngelus-ngelus lenganku.
Hu hu hu hu, pengen nangis aku rasanya. Apalagi saat aku lihat isi komentarnya.
[Hajar Mbak Yun! Pelakor jangan kasih kendor!]
[Resiko punya suami ganteng Mbak Yun! Sabar! Ha ha ha ha]
[Penjual donat siapa Mbak Yun? Kalau butuh bantuan ngelabrak aku siap! Timpuk pakai penggorengan donat,]
Seperti itulah komentar yang pro dengan dia. Tapi ada juga yang kontra.
[Mbak urusan rumah tangga jangan di umbar di sosmed.]
[Istigfar, Mbak Yun! Pelakor berani ngelabrak itu nggak mungkin.]
[Kalau pelakor ngelabrak, harusnya Mbak Yuyun aja yang di onyo-onyo. Ini dua-duanya. Kayaknya bukan pelakor, deh, tapi penagih kredit. Kaabooorrr!]
Membaca komentar yang pro kontra, rasanya napas dan dada naik turun. Rasanya tak terkontrol lagi. Ingin makan orang. Mau baca doa makan lagi. Hu hu hu.
Mbak Salamah terus mengusap-usap lenganku. Seolah menenangkan hati yang bergemuruh hebat.
Tapi tak ngaruh. Aku tetap emosi. Wajahku terasa panas.
"Aku harus bagaimana, Mbak?" tanyaku. Otak rasanya berhenti berpikir.
"Emmm ... gimana, ya?" jawab Mbak Salamah. Raut wajahnya seolah lagi berpikir. Dan aku masih terus mengontrol emosi yang naik turun.
"Chat kamu sama si Yuyun masih?" tanya Mbak Salamah. Aku mengangguk dengan cepat.
"'Masih," balasku.
"Nah ... manfaatkan itu!"
"Maksudnya?"
"Diakan udah share dan membawa masalah ini ke dunia maya. Share juga chat kamu sama dia ke dunia maya. Biar netijen mikir sendiri. Mana yang sekilo kurang, mana yang sekilo genap," jelas Mbak Mah.
Seketika otakku cair kembali. Aku faham betul maksud Mbak Salamah.
"Ok Mbak! Aku faham!" ucapku dengan napas yang masih naik turun. Mbak Salamah manggut-manggut.
Mbak Yuyun yang terhormat, perang di sosial Media kita mulai! Aku layanin!
*******
