Bab 4. Uang Kiriman Ayah
“Ya udah kalau gitu Om akan bantu bayar listriknya setiap bulan,” ujar Om Zul dan kali ini aku tak berani menolak kuatir nanti Om Zul berubah pikiran lalu tak memberi izin aku ngekos.
Dua hari setelah aku minta izin untuk ngekos, Om Zul mengantarku ke kos-kosan yang aku maksudkan itu. Awalnya aku ditawari tempat tidur berikut kasurnya oleh Om Zul karena di lihatnya di ruangan itu tidak ada, akan tetapi aku mencari alasan menolaknya dan memilih untuk tidur beralaskan tikar saja.
Om Zul tetap bersikeras, setelah mencari cara untuk menolak akhirnya aku terima kasur kecil tanpa ranjang melainkan dialaskan tikar saja.
Dua minggu sudah aku tinggal di kos-kosan itu, dari segi kebutuhan memang takan semewah serta selengkap saat aku tinggal di rumah Om Zul, akan tetapi dari segi kenyaman aku benar-benar merasa betah tinggal di sana meskipun segala sesuatunya aku kerjakan sendiri.
Untuk menuju ke sekolah, seperti biasa aku menggunakan angkot dengan ongkos Rp. 1.500,- yang selalu hilir mudik di jalan raya depan gang masuk ke kos-kosan itu, sementara jika berangkat menggunakan bus kota hanya Rp. 1.000,- sampai ke tujuan sekali jalan.
****
Tak terasa satu semester sudah aku selalu melaksanakan rutinitas ke sekolah menggunakan angkot maupun bus kota itu, kadang masuk pagi terkadang pula masuk siang seperti yang telah ditentukan dan keputusan pihak sekolah untuk bergantian antara kelas A1 dan A2 di SMK itu.
Siang itu sepulang dari sekolah aku tak langsung menuju kos, aku singgah dulu ke Bank untuk menukarkan mengambil uang yang ditransfer dari orang tuaku di desa. Aku mengambil uang Rp. 300.000,- dari Rp. 350.000,- yang ada di rekeningku itu.
“Jika aku bayar SPP dan biaya lainnya bulan ini Rp. 120.000,- itu berarti uang ini hanya tersisia Rp. 180.000,- saja, sewa kos bulan ini yang biasa datang setiap tanggal 10 nggak akan bisa aku bayar karena untuk kebutuhan sehari-hari di kos serta ongkos angkot nantinya. Aku nggak punya saudara di kota ini selain Om Zul,” gumamku yang cukup membuatku pusing berfikir akan uang yang dikirim Ayah barusan.
Untuk diketahui pada saat itu sekolah belum gratis dan masih dikenakan SPP setiap bulannya, hingga uang Rp. 300.000,- yang dikirim Ayah masih kurang untuk membayar listrik dan juga kos-kosan.
“Aku nggak mungkin menemuinya di kantor apalagi di rumahnya, Om Zul juga nggak akan mau dipinjami uangnya justru dia akan memberi lebih begitu saja. Aku nggak mau Tante Ira mendatangiku lagi di kos ini, memaki-maki aku seperti dulu. Aku bukan pengemis seperti yang ia katakan, mungkin sebaiknya besok aku singgah di pasar sepulang dari sekolah siapa tahu saja ada orang yang mau menerimaku berkerja di luar jam sekolah. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menutupi kekurangan biaya hidupku bulan ini, dan bisa membayar sewa kos-kosan dengan segera,” gumamku kembali dan merasa yakin dengan hal yang akan aku lakukan besok.
Hari itu tepatnya tanggal 10, sepulang dari sekolah aku langsung menuju kantor untuk membayar SPP bulanan dan biaya sekolah lainnya. Seperti yang telah aku rencanakan, sekembalinya dari ruang kantor sekolah aku tak langsung pulang menuju kos. Aku singgah di pasar induk kota itu, tujuanku ke sana mencari tempat usaha yang bisa menerimaku untuk bekerja di luar jam sekolah.
Cukup lama aku mengitari pasar sentral itu, namun tak kunjung jua aku temui toko-toko atau tempat lainnya yang bisa menerimaku bekerja di sana. Karena lelah aku duduk di kursi panjang milik pedagang yang menjual air perasan tebu, di samping haus aku juga tak enak hanya menumpang duduk saja di sana dan dengan uang Rp. 1.000,- aku pun membeli segelas air tebu dari pedagang itu.
Sambil meminum air tebu pandangan aku arahkan ke sekeliling, di mana pasar sentral siang itu sangat ramai oleh pengunjung yang berlalu-lalang dan para pedagang berbagai macam jenis dan keperluan. Mataku tiba-tiba terfokus pada sebuah ruko tak jauh dari tempat aku duduk, di ruko itu ada beberapa orang yang tengah bekerja sebagian menarik kuli angkat.
Hatiku pun tiba-tiba tergerak untuk menghampiri ruko itu, siapa tahu saja aku bisa diterima bekerja di sana, aku segera menghabiskan air tebu di genggamanku kemudian melangkah menuju ruko itu.
“Permisi Kak,” sapaku pada pekerja yang ada di ruko kecil itu.
“Ya ada apa Dik?” sahut salah seorang dari pekerja itu.
“Boleh aku bertemu dengan pemilik ruko ini?” tanyaku.
“Pemilik ruko ini lagi ke toilet umum, sebentar lagi juga kembali. Adik tunggu saja di situ!” tutur salah seorang pekerja sambil menunjuk bangku panjang yang ada di ujung ruangan ruko itu.
Ruko itu tergolong besar, sementara ruko-ruko atau toko di samping kiri dan kanannya berukuran lebih kecil. Tak beberapa lama aku duduk di dalam ruko itu, tiba-tiba datang seorang pria berumur 50 tahunan. Aku duduk di kursi yang di depannya ada meja berukuran setengah biro, aku sudah menduga kalau sosok pria setengah baya itulah pemilik dari ruko itu hingga aku segera menghampirinya.
“Maaf Pak, Apa boleh aku bertanya?”
“Ya silahkan, Nak.” ucap pria setengah baya itu ramah.
“Apakah Bapak yang punya ruko dan usaha ini?” tanyaku yang baru saja dipersilahkan duduk berhadap-hadapan dengan pria setengah baya itu.
“Ya benar.”
“Nama ku Ray, Pak. Aku ingin bertanya apakah Bapak masih menerima pekerja di sini?” tanyaku, pria setengah baya itu kaget karena memang saat aku bertanya aku masih mengenakan pakaian seragam sekolah.
“Apa kamu nggak masuk sekolah, hari ini Nak?” pria setengah baya itu balik bertanya.
“Aku baru saja pulang, Pak. Minggu ini aku masuk pagi, makanya siang ini aku udah pulang,” jawabku.
“Oh begitu, aku kira kamu masuk siang dan mencoba untuk bolos dari sekolah.” ujar pria setengah baya itu.
“Bagaimana Pak? Apakah Bapak masih menerima pekerja di sini?” tanyaku.
“Aku nggak menerima pekerja lagi, jumlah pekerja di sini udah cukup. Apalagi dengan orang yang masih sekolah seperti kamu, Nak.” Jawabnya.
“Tolonglah Pak, aku bekerja untuk membantu orang tuaku yang lagi kesusahan di desa. Mereka hanya bisa mengirim uang untuk membayar SPP ku saja, sementara aku di sini tinggal ngekos dan uang sewa kosku bulan ini masih kurang,” mohonku, pria setengah baya itu terdengar menarik nafas berat.
