
Ringkasan
Warning Mengandung Adegan 21+ Eksplisit. Setan apa yang telah merasuki pikiranku saat itu hingga tanpa rasa ragu dan takut sedikitpun aku meraih celana dalam wanita milik tetangga kosku di jemuran, mungkin ini semua disebabkan aku tengah dilanda masa puber pertama atau juga karena pengaruh adegan panas yang aku tonton di ponsel. “Ah... Beginikah aroma milik wanita dewasa?” gumamku sembari mencium celana dalam itu. Badanku terasa panas dingin bukan terserang demam melainkan karena birahi yang semakin menjalar di sekujur tubuhku, merasa tak puas sampai di situ aku pun melorotkan celana pendek yang aku kenakan berikut celana dalamku hingga milikku yang sejak tadi ereksi semakin terlihat tegang dan mengeras.
Bab 1. Kejamnya Tante Ira
“Praak..! Praang..!”
Suara piring pecah yang berasal dari ruangan dapur di mana di sana terdapak rak piring dan gelas, aku hentikan sejenak menyuap dan mengunyah nasi di dalam mulutku.
“Wah..! Apa yang terjadi di dapur? Sepertinya suara piring yang pecah itu bukan karena terjatuh melainkan dibanting?” gumamku dalam hati.
Aku yang masih berada di meja makan tak jauh dari dapur itu merasa penasaran, pasalnya tadi yang ada di dapur itu hanya Bi Asih seorang pembantu di rumah mewah milik Om ku itu.
“Enak aja makan minum di rumah ini secara gratis! Apa dia kira hidup di kota gampang!” terdengar suara wanita mengomel dan itu bukan Bi Asih melainkan suara Tante Ira.
Aku yang tadi bermaksud berdiri dan menuju ruangan dapur ingin melihat apa yang terjadi, tiba-tiba urungkan niatku itu. Selera makanku tiba-tiba hilang dan akupun menyudahi makan siang itu, lalu beranjak ke teras rumah dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
“Perasaanku jadi nggak enak, marahnya Tante Ira tadi pasti bukan ditujukan pada Bi Asih, pasalnya hanya aku yang saat itu makan siang,” gumamku dalam hati sembari menatap kosong ke arah halaman.
Aku merasa semakin tidak nyaman duduk berlama-lama di teras itu, hingga aku memutuskan untuk ke kamarku yang berada di lantai atas. Setibanya di kamar, aku baringkan tubuhku di ranjang berharap perasaan tak nyaman itu hilang.
Namun setelah beberapa saat berbaring bahkan memejamkan mata, perasaan tak enak hati itu masih saja menyelinap di hati hingga aku memutuskan untuk bangkit duduk di ranjangku itu.
“Aku yakin amarah Tante Ira tadi ditujukan padaku, pasalnya sejak aku datang dan tinggal di sini Tante Ira kerap menunjukan sikap sinisnya saat berpapasan jalan atau duduk bareng di dalam rumah ini,” aku berbicara sendiri di dalam kamarku itu.
“Tapi kenapa sikap Tante Ira itu hanya terlihat ketika Om Zul nggak ada di rumah? Atau Tante Ira emang takut dengan Om hingga sikap sinisnya itu ia tunjukan setiap kali Om Zul nggak ada? Ah, apa yang harus aku lakukan untuk menyikapi sikap Tante Ira itu padaku?” kepalaku jadi pusing memikirkan kejadian Tante Ira marah-marah di dapur tadi, hingga aku kembali rebahan berharap dapat pejamkan mata dan menenangkan pikiranku.
Hari berikutnya sepulang dari sekolah, seperti biasa setelah mengganti pakaian seragam sekolah di kamar langsung turun dan menuju meja makan untuk makan siang. Sebelum duduk di salah satu kursi di sela-sela meja makan itu, aku sempatkan dulu untuk mengitari pandangan mulai ke arah ruangan depan hingga ruangan dapur.
Setelah aku tak melihat sosok yang menjadi keinginanku untuk mencari tahu mengitari pandangan di dekat meja makan itu, akupun duduk lalu membuka penutup menu makanan yang ada di atas meja.
“Astaga..!”
Aku terperanjat saat aku melihat di atas meja makan itu hanya ada sepiring nasi bercampur kerak yang telah diremas-remas sedemikian rupa hingga antara nasi dan kerak itu sudah tak dapat disisihkan lagi, lalu di dekat piring itu ada secuil sambal tanpa lauk yang ditaruh di piring kecil.
Aku ingin sekali menemui Bi Asih yang tadi aku lihat berada di ruangan belakang, untuk menanyakan kenapa di meja makan hanya ada sepiring nasi bercampur kerak dan secuil sambal tanpa lauk di atas piring kecil, akan tetapi aku urungkan karena aku tak ingin memperburuk situasi.
Akupun duduk dan memandang sepiring nasi campur kerak dan secuil sambal itu, karena perutku memang sudah lapar sejak tadi akhirnya aku makan saja. Ketika beberapa suap nasi bercampur kerak itu aku makan, tiba-tiba hatiku merasa sedih dan mataku langsung berkaca-kaca.
“Untuk pertama kalinya aku makan nasi kerak dengan secuil sambal ini, sesusah-susahnya di desa tinggal dengan kedua orang tuaku, aku nggak pernah mengalami hal seperti ini. Kalaupun nggak ada lauk pauk dan hanya makan dengan sambal serta rebusan sayur, akan tetapi nasinya nggak pernah dicampur dengan kerak seperti ini,” gumamku di sela-sela terus mengunyah nasi kerak itu agar rasa laparku segera hilang dan aku bisa menghentikan makan.
Ku sudahi makan siang itu ketika rasa lapar di perutku mulai berkurang, aku kemudian berdiri dan memutuskan untuk langsung ke lantai atas di mana di sana kamarku berada.
Ketika aku hampir tiba di tangga, tiba-tiba aku berpapasan dengan Bi Asih.
“Mas Ray,” sapa Bi Asih.
“Ya Bi, ada apa?” tanyaku.
“Mas Ray diminta menemui Nyonya di luar di samping kanan rumah,” jawab Bi Asih.
“Baik Bi, aku akan ke sana sekarang,” ujarku, meskipun dengan perasaan tak enak namun aku beranikan diri untuk menemui Tante Ira di samping rumah yang dikatakan Bi Asih itu, di sana aku melihat Tante Ira tengah berdiri berkacak pinggang sambil melihat ke arah selokan yang berada di sisi kanan di seberang pagar rumah mewah itu.
“Ada apa, Tante?” sapa ku saat aku telah berdiri di samping Tante Ira.
“Enak sekali ya, jadi kamu! Pergi sekolah di kasih uang jajan! Pulang sekolah makan, lalu tidur-tiduran di kamar!” seru Tante Ira dengan nada ketus, aku hanya tundukan kepala mendengar perkataannya itu.
“Hidup di kota ini nggak ada yang gratis! Semua orang harus bekerja keras agar bisa mendapatkan uang untuk makan! Nah, karena kamu udah diberi uang jajan tadi pagi oleh Mas Zul sekarang harus kamu bayar dengan membersihkan selokan di sepanjang perkarangan rumah ini!” tutur Tante Ira dengan sorot mata yang tajam penuh kebencian.
“Baik Tante, sekarang juga aku akan bersihkan selokan ini.” ujarku sembari menunjuk selokan yang dimaksud Tante Ira itu, kemudian aku mencari peralatan seperti cangkul yang terdapat di gudang di belakang rumah mewah itu.
“Dasar tak tahu diri! Enak saja tinggal di rumah ini secara gratis! Di kasih jajan lagi!” gerutu Tante Ira sambil melangkah masuk ke dalam rumah, hal itu terdengar jelas olehku karena Tante Ira menggerutu dengan lantang.
“Bruuuuuuk...!”
Saat hendak melangkah ke gudang, aku terkejut mendengar suara sesuatu dari dalam rumah...
Setelah aku selidiki rupanya suara itu berasal dari suara kursi beradu saat Tante Ira menendangnya tadi ketika masih menggerutu memaki-makiku, akupun kembali menuju gudang mencari peralatan yang ku butuhkan untuk membersihkan selokan.
