#Chapter 5
Langit di timur akhirnya cerah untuk pertama kalinya dalam tiga puluh malam.
Asap pertempuran telah lenyap, menyisakan puing-puing senjata yang patah dan tanah merah oleh darah. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kehancuran medan perang—melainkan hilangnya sosok yang tak semestinya berada di sana: Selira.
Di atas bukit batu tempat terakhir Selira berdiri, Kaelion berlutut dalam diam. Angin pagi menggoyangkan rambutnya yang panjang dan kusut. Jubah kebesarannya sudah kotor, pedangnya bersandar di sampingnya, tak lagi ia genggam.
Di tangannya, sebuah liontin perak kecil. Liontin itu terbuka, dan di dalamnya ada helaian rambut halus—emas pucat. Rambut Selira.
“Ini bukan kemenangan,” gumamnya pelan. “Hanya... kehilangan yang tertunda.”
Rael mendekat pelan, membawa kabar dari belakang garis pasukan.
“Yang Mulia,” suaranya serak. “Gerbang Timur aman. Penghimpun Bayangan telah lenyap seluruhnya.”
Kaelion tak menjawab.
Rael berdiri sejenak sebelum akhirnya menambahkan, “Pasukan Faresthia... telah mundur. Mereka mengaku salah menilai Anda. Mereka ingin membangun kembali perjanjian lama.”
Kaelion tertawa, pendek dan getir. “Mereka datang dengan ancaman dan pergi dengan janji. Dunia ini tak pernah berubah.”
Di istana Valtheris, suasana berubah cepat. Dalam balairung emas, Paman Lesthar berdiri kaku saat Kaelion kembali, tanpa pengawal resmi, tanpa upacara, tanpa dentang kemenangan. Hanya mata merah, suara yang dalam, dan wajah tak terbaca.
Lesthar ingin berbicara, namun Kaelion hanya lewat, berjalan di tengah balairung, lalu duduk kembali di atas takhta leluhurnya.
Satu kalimat meluncur dari mulutnya. Dingin. Tegas.
“Siapkan meja mahkamah. Kita akan bersihkan rumah ini.”
Dan satu demi satu, para bangsawan yang selama ini diam saat kegelapan menggerogoti kekaisaran, mulai dipanggil. Sebagian diasingkan, sebagian dihukum mati. Tapi Lesthar… tak disentuh.
Karena Kaelion tahu: pengkhianat yang hidup adalah bayangan paling panjang. Ia akan menunggu... sampai waktu yang tepat datang.
Di malam hari, Kaelion kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja kerja dan membuka satu surat lama yang tak pernah sempat ia baca.
Tulisan tangan Selira.
“Kaelion,
Jika kau membaca ini, maka artinya aku telah memilih.
Aku tak tahu apakah dunia akan menganggapku pengkhianat, iblis, atau martir. Tapi aku tak peduli, karena satu-satunya yang penting... adalah kau percaya padaku.
Aku mungkin bukan siapa-siapa saat pertama kali kita bertemu. Tapi di sisimu, aku merasa menjadi seseorang.
Jika aku tiada, berjanjilah padaku... jangan tenggelam dalam amarah dan kehampaan. Bangunlah dunia tempat cinta seperti kita tak perlu bersembunyi.
Bukan untukku. Tapi untukmu... dan untuk semua yang belum sempat memiliki kesempatan memilih.”_
Tangannya bergetar saat membaca. Air matanya jatuh membasahi ujung surat.
Sementara itu, jauh di utara, di balik pegunungan Es Tharol, seseorang berdiri di balik altar batu.
Seorang wanita tua menyambutnya. Rambutnya putih, matanya buta, namun ia tersenyum.
“Selira... kau datang.”
Sosok itu mengangguk pelan. Tubuhnya transparan, seperti kabut pagi, tapi wajahnya tetap utuh—indah dan damai.
“Aku belum sepenuhnya musnah, Ibu Altherin.”
Ibu Altherin mendekat. “Jiwamu tersebar, tapi masih berpijak pada tanah ini. Jika waktu mengizinkan, jika cinta tetap menjadi jembatan... maka mungkin, hanya mungkin, kau bisa kembali.”
Selira menatap ke kejauhan, ke arah selatan, ke arah istana emas yang dulu ia benci, lalu ia cintai.
“Aku akan menunggu,” ucapnya, “entah satu musim, entah seribu tahun.”
Kaelion berdiri di taman istana pada pagi hari berikutnya. Ia memerintahkan taman itu ditanami bunga putih baru—bunga yang hanya mekar dari tanah yang ia basahi dengan air dari liontin Selira.
“Bunga ini,” katanya pada Rael, “akan tumbuh setiap musim gugur. Dan jika suatu saat mereka mekar di musim semi... maka itu artinya dia... kembali.”
Rael terdiam. Tapi ia tahu satu hal: sang Kaisar belum menyerah pada cinta, meski dunia telah menyerah pada harapan.
Dan dari kejauhan, bunga pertama mekar. Satu kuntum kecil. Putih. Hangat.
Bunga Selira.
*
Langit barat mulai menampakkan warna yang tak biasa—merah darah dengan semburat ungu pekat. Para petani di perbatasan mulai berbisik tentang 'matahari jatuh terbalik', suatu pertanda dari kisah kuno bahwa batas antara dunia manusia dan bayangan mulai terkikis kembali.
Di menara tertinggi istana Valtheris, Kaelion berdiri seorang diri memandangi cakrawala yang jauh. Duka di wajahnya belum sirna. Matanya menyorotkan tanya, seolah dunia tak memberinya waktu untuk bernapas sejak kepergian Selira.
“Baginda,” suara Rael memecah keheningan. “Utusan dari barat baru tiba. Mereka membawa sesuatu yang... aneh.”
Kaelion mengangkat alisnya. “Aneh bagaimana?”
Rael ragu sejenak sebelum memberikan kotak logam hitam berukiran simbol-simbol kuno. Saat dibuka, sehelai kain robek terlipat rapi. Namun bukan kain itu yang membuat jantung Kaelion mencelos—melainkan potongan simbol di ujung kain itu:
Simbol pengikat jiwa—yang sama seperti yang pernah terpahat di leher Selira saat ia kerasukan Azhrath.
Di Balairung Hitam, para penasehat berkumpul. Ketegangan memenuhi ruangan saat kotak hitam itu ditaruh di tengah meja bundar.
“Barat telah lama diam sejak Perjanjian Kabut ditandatangani dua abad lalu,” ujar Jenderal Varn. “Jika simbol ini muncul kembali, berarti ada yang membangkitkan kembali aliran ilmu terlarang.”
Kaelion berdiri. “Kita harus menuju tanah barat. Aku sendiri yang akan menanganinya.”
Suara protes bermunculan, tapi Kaelion mengangkat tangan. “Aku bukan hanya kaisar yang duduk menunggu laporan. Aku adalah pewaris darah Vartheon. Jika kegelapan mengendap kembali, maka akulah yang harus menyambutnya di pintu.”
Perjalanan menuju barat memakan waktu enam hari. Mereka melintasi padang pasir Thalven, hutan berkabut Fessir, dan akhirnya tiba di Dataran Batu Runtuh—tempat yang dahulu dikenal sebagai Kota Ilahi Larkhan, kini hanya tinggal reruntuhan bisu.
Namun saat malam keempat tiba, Kaelion terbangun dari tidurnya dengan peluh dingin. Mimpi itu datang lagi. Tapi kali ini lebih jelas.
Ia berdiri di tengah danau merah. Di seberangnya... Selira.
Namun Selira itu berbeda—matanya bukan mata lembut yang ia kenal, melainkan hitam legam, kosong, seolah kehilangan jiwanya. Namun bibirnya berbisik: “Tolong aku... sebelum mereka memaksa tubuhku sepenuhnya lenyap.”
Kaelion terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya gemetar. Tapi tekadnya mengeras.
“Dia belum pergi.”
Mereka menemukan kuil bawah tanah tersembunyi di balik celah tebing. Lilin-lilin kuno masih menyala dengan api biru. Di altar utama, ada cermin obsidian besar yang memantulkan bayangan tak wajar—bukan siapa yang berdiri di depan cermin, tapi siapa yang hilang dari dunia ini.
Dan di sana, terlihat sekilas sosok Selira—berbalut gaun putih usang, terperangkap di dalam kabut yang menggulung.
“Dia hidup...” gumam Kaelion, suaranya tercekat.
Namun sebelum mereka bisa mendekat, suara berat bergema dari langit-langit gua.
“Jangan ganggu yang telah dikembalikan pada kami.”
Sosok berjubah hitam muncul dari balik kegelapan. Ia tinggi, tubuhnya dibalut kain ritual, dan wajahnya tersembunyi oleh topeng besi berukir.
“Aku adalah Pemanggil Ketiga. Dan tubuh perempuan itu adalah jembatan kami... ke dunia.”
Kaelion tak menunggu. Ia mencabut pedangnya, Serathil, dan aura emas menyala dari bilahnya.
“Tinggalkan tubuhnya, atau hancurlah bersama kegelapanmu!”
Pertarungan pun meletus. Rael dan dua prajurit setia menahan pasukan bayangan yang muncul dari dinding gua. Tapi Kaelion menghadapi Pemanggil Ketiga sendiri. Pedang bertemu dengan sihir kegelapan, cahaya dan bayang bertabrakan dalam percikan sihir yang mengguncang langit gua.
Namun saat Kaelion menusukkan pedangnya ke jantung musuhnya, Pemanggil Ketiga tertawa.
“Bukan aku yang kau lawan. Tapi waktu. Dan waktumu hampir habis, Kaisar muda.”
Tubuh Pemanggil itu lenyap menjadi debu, dan cermin obsidian retak perlahan, memperlihatkan segel darah di tengahnya—tanda bahwa tubuh Selira sedang dikorbankan perlahan untuk membuka gerbang kuno.
Kaelion terdiam.
Ia tahu… waktu benar-benar menipis.
Tapi di tengah reruntuhan itu, ia menemukan secarik kain lagi. Bukan milik musuh. Tapi milik Selira.
Di sana tertulis tulisan samar, dengan darahnya sendiri:
“Aku belum menyerah, Kaelion. Tapi mereka mulai melepas jiwaku dari kenangan tentangmu.
Cepatlah. Sebelum aku melupakan cintamu… dan menjadi milik mereka sepenuhnya.”
Tangannya mengepal.
"Selira... aku akan datang. Walau harus kubelah dunia ini."
Dan di luar kuil, matahari kembali memerah. Tapi kali ini… seolah marah.
