
Ringkasan
Di balik tembok-tembok megah Istana Zhurong, hidup seorang pemuda bernama Kaelion, yang sejak lahir diramalkan akan menjadi kaisar terkuat sepanjang sejarah Kekaisaran Arvathia. Namun kekuasaan bukanlah takdir yang indah baginya—melainkan kutukan. Tahta yang diwarisi dari ayahnya adalah warisan berdarah, dipenuhi pengkhianatan, pemberontakan, dan janji-janji kekuasaan yang mematikan. Kaelion naik tahta dalam usia muda setelah kematian mendadak ayahnya, Kaisar Varrien, yang ternyata dibunuh oleh orang dalam istana. Dikelilingi para jenderal licik, penasihat bermuka dua, dan keluarga kerajaan yang menginginkan kehancurannya, Kaelion harus memilih—menjadi monster yang ditakuti, atau pemimpin bijak yang mungkin akan cepat dijatuhkan. Di tengah kekacauan istana, muncul seorang wanita misterius bernama Selira, seorang tabib yang membawa luka masa lalu dan rahasia tentang nasib Kekaisaran. Bersamanya, Kaelion perlahan membuka konspirasi kuno tentang para kaisar terdahulu yang telah membuat perjanjian gelap dengan makhluk abadi. Kisah ini adalah perjalanan seorang pemuda yang harus menjadi raja, dan seorang kaisar yang harus memilih antara hati dan mahkota. Akankah Kaelion menulis sejarahnya sendiri? Ataukah ia akan menjadi bagian dari kutukan kekaisaran yang telah berlangsung selama ribuan tahun?
#Chapter 1
Langit di atas ibu kota Zhurong tampak kelabu, seakan turut berduka atas wafatnya Kaisar Varrien. Di sepanjang jalan menuju Kuil Api Agung, rakyat berlutut dalam keheningan. Asap dupa membumbung tinggi dari ribuan lentera yang menyala, sementara lonceng kematian bergema dari menara-menara istana.
Namun, di balik semua kesedihan itu, istana tengah mendidih oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya: perebutan kekuasaan.
Di aula pertemuan utama, para bangsawan, jenderal, dan penasihat berkumpul. Semua mata kini tertuju pada satu sosok—Kaelion, putra tunggal Kaisar Varrien. Tubuhnya tegap meski baru berusia delapan belas tahun, dan sorot matanya tajam menembus keheningan ruangan.
Di hadapannya, berdiri Jenderal Harthon—panglima tertua dan paling berpengaruh di Arvathia. Wajahnya penuh bekas luka, dengan tangan kanan yang digantikan oleh tangan baja berukir lambang naga emas.
"Yang Mulia, rakyat butuh pemimpin," ucap Harthon. Suaranya dalam, berwibawa. "Tahta tak bisa dibiarkan kosong terlalu lama. Penobatan harus segera dilakukan."
Kaelion diam. Ia tahu betul, ini bukan sekadar permintaan. Ini adalah perintah yang dibungkus kesopanan. Dan jika ia menolak, maka yang menunggu bukanlah musyawarah—melainkan penggulingan.
Dari sudut aula, Penasihat Agung Theoris—pria tua dengan jubah merah darah—tersenyum tipis, seakan menikmati ketegangan yang menggantung. Ia telah menjadi penasihat bagi tiga kaisar, dan tidak ada satupun yang naik takhta tanpa campur tangannya.
Kaelion menatap mereka semua. Hatinya bergolak. Ia tahu ayahnya tidak mati karena sakit seperti yang diumumkan. Tiga malam lalu, ia menyelinap ke kamar jenazah dan melihat sendiri luka tusukan di dada Kaisar Varrien. Luka itu rapi, terarah—bukan hasil penyakit, tapi pembunuhan.
Dan seseorang di ruangan ini pasti terlibat.
"Aku akan dinobatkan besok saat fajar," ucap Kaelion akhirnya. Suaranya dingin. Tegas. Tak ada keraguan. "Tapi ketahuilah ini—aku bukan boneka."
Beberapa bangsawan saling berpandangan. Ada yang mencibir. Ada pula yang tertawa pelan. Tapi Harthon menatap Kaelion lama, lalu tersenyum samar.
"Begitu seharusnya, Yang Mulia. Tapi takhta adalah pedang bermata dua. Semoga tanganmu cukup kuat untuk menggenggamnya."
Malam itu, Kaelion duduk di ruang kerjanya, memandangi lukisan tua kaisar-kaisar Arvathia yang bergantian memerintah. Semuanya tampak agung, namun ia tahu: tak satu pun dari mereka mati dengan tenang. Kekaisaran ini dibangun di atas darah dan pengkhianatan.
Suara pintu kayu tua berderit. Masuklah seorang wanita muda, membawa nampan teh hangat. Ia mengenakan pakaian pelayan istana, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lain.
"Kaelion," katanya lirih, tak menyapa dengan gelar. "Aku datang bukan membawa teh, tapi kebenaran."
Kaelion menatapnya curiga. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Selira. Anak dari penjaga kuil yang dibunuh saat ayahmu menolak menyetujui Perjanjian Darah dua belas tahun lalu. Dan aku tahu siapa yang membunuh ayahmu."
Nafas Kaelion tertahan. Ia menegakkan badan. "Bicara."
Selira membuka gulungan kain dari dalam bajunya, memperlihatkan lambang terlarang—sebuah lingkaran berisi tiga garis melengkung, lambang kuno dari Perjanjian Darah, perjanjian terlarang antara kaisar dan makhluk abadi dari dunia bawah.
"Perjanjian itu dibuat agar kekaisaran tetap bertahan. Tapi sebagai gantinya, satu kaisar dari tiap generasi harus menyerahkan jiwanya—atau orang yang dicintainya."
Kaelion menatap lambang itu, kemudian wajah Selira.
"Dan kau yakin ayahku menolak?"
Selira mengangguk. "Itulah sebabnya ia dibunuh. Dan giliranmu akan segera datang."
Diam-diam, dari luar jendela, sepasang mata mengintip percakapan mereka. Seorang pria bertudung gelap berlari ke arah halaman belakang istana, membawa kabar penting bagi tuannya.
Pagi berikutnya, saat matahari masih menyembunyikan wajahnya di balik awan, Kaelion melangkah ke altar penobatan. Di hadapan ribuan rakyat dan bangsawan, ia berdiri dengan jubah kebesaran berwarna hitam emas. Di tangannya, pedang warisan Kaisar Pertama—Vartheon Sang Penakluk.
Penasihat Theoris membacakan sumpah suci, namun saat pedang diturunkan ke pundaknya, Kaelion tak memejamkan mata seperti tradisi. Ia menatap semua yang hadir dengan tajam.
"Aku bersumpah bukan hanya untuk melindungi Arvathia, tapi juga untuk menghancurkan semua pengkhianat yang bersembunyi di balik tembok istana ini."
Kata-katanya menusuk. Para jenderal dan bangsawan tampak gelisah. Sementara itu, dari kejauhan, Selira berdiri di antara kerumunan, memperhatikan Kaelion dengan sorot mata yang tak biasa—antara harapan dan ketakutan.
Kaelion kini adalah Kaisar Arvathia, tapi musuh-musuhnya telah lebih dulu menebar racun.
Dan malam penobatannya akan menjadi malam pertama dari permainan takhta yang berdarah.
*
Langit ibu kota Zhurong yang semula muram kini diselimuti kabut tipis. Penobatan telah usai. Rakyat berpesta. Lentera-lentera berwarna emas bergantung di jalan-jalan, menggantung harapan baru pada sosok kaisar muda mereka.
Namun di balik tembok-tembok istana, angin berhembus membawa bau darah dan konspirasi.
Kaisar Kaelion berdiri sendirian di balkon istana barunya. Di bawah sana, sorak sorai rakyat menggema. Tapi di hatinya, hanya sunyi yang menggeliat. Ia kini kaisar, namun kekuasaan yang melekat di pundaknya terasa seperti belenggu dingin.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar pelan di belakangnya. Kaelion tak berbalik. Ia tahu suara itu.
“Penasihat Theoris,” ucapnya datar. “Tak biasanya kau mengunjungiku malam-malam begini.”
Penasihat Agung Theoris melangkah mendekat, jubah merah darahnya berkibar halus diterpa angin malam. Wajah keriputnya menyimpan senyum yang tak pernah tulus.
“Yang Mulia,” katanya dengan suara lirih, “penobatanmu sempurna. Tapi sekarang saatnya membicarakan hal-hal yang lebih... penting.”
Kaelion akhirnya menoleh, menatap pria tua itu tajam. “Katakan saja maksudmu.”
Theoris menghela napas perlahan, seolah memainkan adegan. “Kekaisaran ini dikelilingi musuh. Di luar dan di dalam. Satu langkah keliru, dan kepala akan menggelinding.”
“Apakah itu ancaman?” tanya Kaelion tanpa ragu.
“Peringatan,” jawab Theoris, menyipitkan mata. “Kau muda, cerdas, dan keras kepala. Tapi kau juga... sendirian.”
Kaelion menggenggam pegangan balkon erat-erat. "Aku tidak sendirian."
Theoris tertawa pelan, bagai suara ular mendesis. “Oh? Maksudmu gadis pelayan itu? Selira, ya? Yang mencuri masuk ke kamarmu malam sebelum penobatan?”
Mata Kaelion menyipit. Ia tidak pernah memberitahu siapa pun soal percakapannya dengan Selira. Bahkan pengawal pribadinya tidak tahu.
“Bagaimana kau tahu?” bisiknya.
“Sudah saatnya kau tahu, Yang Mulia,” ucap Theoris pelan. “Di istana ini, tidak ada yang luput dari mata-mata kami.”
Ia mencondongkan tubuh ke arah Kaelion, menyentuh bahunya dengan tangan gemetar namun penuh kuasa.
“Kekuasaan bukan soal siapa yang duduk di takhta, Kaelion. Tapi siapa yang mengendalikan informasi. Dan sejauh ini, semua informasi—ada di tanganku.”
Sementara itu, jauh dari istana, di ruang bawah tanah Kuil Api Agung, Selira berdiri di hadapan dinding batu besar. Di tangannya, sebuah lentera kecil menyala redup, menyoroti ukiran kuno yang hanya bisa dibaca oleh keturunan Penjaga Kuil.
Ia membaca dengan suara nyaris berbisik:
"Dan dari rahim malam, akan lahir Kaisar terakhir. Darahnya akan membangunkan yang tidur di bawah dunia, dan kekaisaran akan memilih: hidup abadi, atau kehancuran kekal."
Matanya gemetar. Ia memegang gulungan tua yang ia curi dari Perpustakaan Istana Lama. Gulungan itu menyingkap kebenaran tentang Perjanjian Darah—perjanjian rahasia yang dibuat oleh Kaisar Pertama, Vartheon, dengan makhluk dari dunia bawah bernama Azhrath.
Perjanjian itu memberikan kekuasaan mutlak bagi keturunan Vartheon, tapi dengan harga yang mengerikan: satu pengorbanan jiwa murni setiap satu generasi.
Selira menatap lentera. “Dan kali ini... mereka akan meminta Kaelion. Atau seseorang yang dicintainya.”
Di istana, Kaelion mengurung diri di ruang arsip pribadi. Ia telah memerintahkan para pengawal untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk. Di hadapannya tergeletak sebuah jurnal tua milik Kaisar Varrien.
Buku itu disegel dengan lilin kerajaan, dan di dalamnya tersimpan catatan pribadi sang ayah yang tak pernah diterbitkan.
Kaelion membuka halaman pertama. Tangannya gemetar.
"Hari ini aku mendengar desisan bayangan. Mereka datang padaku saat tidur, membisikkan tentang azab dan kutukan. Aku menolak menandatangani perjanjian ulang. Jika aku mati, maka anakku akan menjadi target mereka berikutnya. Dan jika ia membaca ini, ketahuilah: jangan percayai siapa pun di istana, bahkan orang yang paling kau hormati sekalipun."
Kaelion menutup jurnal itu dengan keras. Dadanya sesak.
Seseorang di dalam istana telah bersekutu dengan bayangan. Dan kemungkinan besar... Penasihat Theoris adalah bagian dari perjanjian itu.
Tengah malam, dentang lonceng dari Menara Utara membelah keheningan. Tanda bahaya.
Kaelion bangkit dari kursinya. Saat ia keluar dari ruang baca, pengawal pribadinya, Sir Davir, sudah berdiri di depan pintu.
“Yang Mulia, ada penyusup. Mereka menyusup ke sayap timur istana. Dua pengawal tewas.”
Kaelion menatapnya lekat. “Apa tujuan mereka?”
Sir Davir menggigit bibirnya. “Mereka mencari seseorang... seorang gadis pelayan. Selira.”
Napas Kaelion tercekat. Ia berlari tanpa menunggu pengawal lain, menuju paviliun timur tempat para pelayan tinggal.
Tapi ia terlambat.
Paviliun itu sudah hangus sebagian. Api membakar kayu dan atap, asap menebal. Dari celah reruntuhan, tubuh-tubuh pelayan tergeletak tak bernyawa. Di tengah-tengahnya, selembar jubah pelayan berlumuran darah, dan... sebuah liontin.
Kaelion memungut liontin itu. Di dalamnya, ukiran kecil berbentuk mata—lambang rahasia dari Ordo Bayangan, kelompok pembunuh rahasia yang diyakini telah lenyap seratus tahun lalu.
“Selira...” gumam Kaelion. “Apakah mereka menangkapmu? Atau kau melarikan diri?”
Matanya kini dipenuhi amarah.
“Kalian menyentuh seseorang yang aku lindungi. Maka mulai malam ini, aku akan memburu kalian... dan menghancurkan semua yang ada dalam kegelapan istana ini.”
Dan demikian, perang rahasia dalam istana dimulai. Di satu sisi, sang kaisar muda yang haus akan kebenaran. Di sisi lain, kekuatan kuno yang telah mencengkeram takhta selama berabad-abad.
Di tempat lain, jauh di bawah tanah Kuil Gelap, Penasihat Theoris berdiri di hadapan patung besar Azhrath, makhluk abadi dari dunia bawah. Di sekelilingnya, para pemuja berlutut dalam kegelapan.
“Sudah waktunya kita memetik darah kaisar,” bisiknya. “Kaelion akan segera menjadi persembahan berikutnya.”
Dan patung itu... tersenyum.
