Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 4

Tiga minggu telah berlalu sejak Kaelion menutup segel kegelapan dengan darahnya sendiri. Namun, dunia tidak memberi waktu bagi sang Kaisar Muda untuk pulih. Kekaisaran Valtheris kini seperti tubuh berdiri tanpa tulang belakang—dan para musuh merasakannya.

Langit di timur tak pernah kembali biru. Sejak insiden di Kuil Pelindung Langit, kabut kelabu menggantung abadi di sana. Di balik kabut itu, pasukan berkuda hitam—yang disebut sebagai Penghimpun Bayangan—telah menyerbu tiga benteng luar kekaisaran. Desa-desa dibakar, anak-anak diculik, dan para imam dibantai tanpa ampun.

Di Balairung Emas, pusat istana, Kaelion kembali berdiri di hadapan para bangsawan dan panglima, tubuhnya masih diperban, tetapi sorot matanya tak lagi muda.

“Pasukan kita tak cukup untuk menahan dua serangan dalam waktu bersamaan,” kata Jenderal Salren, dengan suara serak. “Gerbang Timur terbuka. Dan kini kami menerima kabar... bahwa pasukan Kerajaan Faresthia dari utara juga mulai bergerak.”

“Faresthia?” Kaelion menyipitkan mata. “Mereka sekutu kita. Mereka bersumpah setia di bawah sumpah darah lima puluh tahun lalu.”

Penasihat tua, Torien, menunduk. “Maafkan hamba, Yang Mulia… tapi Faresthia mengirim surat berisi pengakuan. Mereka menganggap darah Kaisar yang sekarang—anda—sudah ternoda oleh bayangan.”

Kaelion menggenggam sandaran takhta. “Artinya... mereka telah memutus perjanjian suci.”

Dari sudut ruangan, seseorang tiba-tiba berbicara. Suaranya tenang, namun penuh ancaman. “Mungkin... karena perjanjian itu memang tak pernah benar-benar setia pada satu darah.”

Semua mata menoleh. Seorang pria berdiri, tinggi dan mengenakan jubah bangsawan warna perak tua, rambutnya sebahu, dan di dadanya tersemat lambang elang merah—lambang Keluarga Altven, keluarga ibunda Kaelion.

“Paman Lesthar,” Kaelion menyipitkan mata.

Lesthar tersenyum. “Aku datang bukan untuk memberontak, Kaelion. Tapi untuk menawarkan sesuatu yang tak kau miliki—legitimasi yang tak ternoda. Rakyat mulai ragu pada Kaisar yang berdarah iblis dan melindungi wanita yang menjadi kunci kegelapan. Mereka butuh pemimpin yang bersih.”

Rael yang berdiri di belakang Kaelion menggenggam pedangnya. “Beraninya kau... menyebut darah kaisar ternoda, padahal kau sendiri berdiri karena nama besar sang ayah!”

Lesthar menatapnya dengan dingin. “Aku hanya mengatakan apa yang dibicarakan rakyat. Jika Kaelion tak bisa menundukkan pasukan dari timur, maka izinkan aku memimpin—dan menggantikan namanya.”

Kaelion berdiri.

“Jika kau ingin takhta, Paman, datanglah dengan pedang terbuka, bukan lidah beracun. Aku akan menjawabmu di medan perang.”

Malam itu, Kaelion berdiri di balkon atas menara tertinggi, memandang benteng-benteng yang mulai gelisah. Cahaya api unggun para prajurit berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil yang mencoba melawan malam.

Laerena muncul dari balik bayangan.

“Kau tak bisa melawan dua perang dalam satu waktu.”

“Aku tak akan,” jawab Kaelion lirih. “Karena perang yang satu... sudah kutahu siapa pemenangnya.”

Laerena menatapnya dalam. “Kau akan membiarkan Pamanmu menguasai kekaisaran?”

Kaelion menoleh. “Tidak. Tapi aku akan membiarkan mereka menunjukkan wajah mereka sendiri. Aku tak akan menumpahkan darah bangsaku sendiri... belum sekarang.”

Sementara itu, jauh di pegunungan barat, Selira duduk dalam ruangan batu yang hangat oleh nyala perapian. Di sekelilingnya terdapat wanita-wanita tua berselubung abu. Mereka bukan penyihir. Mereka adalah Penjaga Garis Ibu, keturunan terakhir dari para pelindung sang Ratu Pertama.

“Aku... tidak tahu siapa diriku,” gumam Selira.

Seorang wanita tua yang disebut Ibu Altherin, memegang tangannya. “Darahmu adalah darah dua dunia. Ayahmu adalah dari suku bayangan. Tapi ibumu... adalah putri dari garis Vartheon. Kau adalah kunci.”

“Kunci untuk membuka Azhrath?” tanya Selira getir.

“Tidak,” jawab Ibu Altherin. “Kunci untuk mengikat kembali dunia sebelum semua tercerai-berai.”

Selira menggeleng. “Tapi Kaelion... dia terluka. Dunia membencinya karena mencintaiku. Aku membawa kehancuran.”

Ibu Altherin menatapnya dengan senyum lembut. “Kau membawa pilihan. Dan itu lebih menakutkan daripada kematian.”

Di saat yang sama, dari balik dinding batu kuil, bayangan mengintip—mata-mata Azhrath, mendengar setiap kata, dan mengirimnya kembali ke jantung kegelapan.

Keesokan harinya, pertempuran pecah di Gerbang Timur.

Pasukan Kekaisaran yang dipimpin Jenderal Salren menghadapi serbuan besar dari Penghimpun Bayangan. Mereka datang tanpa suara, tak memiliki wajah, dan setiap tebasan mereka membekukan darah.

Kaelion akhirnya turun ke medan perang sendiri.

Dengan Serathil di tangan, ia memimpin pasukan di tengah hujan abu dan mantra-mantra pelindung yang meledak di langit.

“Jangan mundur!” teriaknya. “Kita bukan hanya melindungi tanah! Kita melindungi arti menjadi manusia!”

Pertempuran itu brutal. Tiga jam, lima jam, sepuluh jam. Saat malam hampir turun, tanah penuh darah.

Dan di tengah semuanya... Selira muncul.

Ia datang dari langit, turun dalam cahaya keperakan. Matanya kini tak lagi ungu gelap. Tapi berkilau dua warna—emas dan biru.

Kaelion menghentikan langkahnya. Musuh pun ikut membeku, melihat sang wanita bersinar turun di medan perang.

Selira berdiri di antara dua kubu. “Cukup!” teriaknya. “Aku akan menyerahkan diriku… tapi hanya jika semua darah dihentikan malam ini!”

Azhrath muncul dalam pusaran asap di langit.

“Begitu mudah, Selira,” suaranya merayap di telinga semua orang. “Berikan dirimu, dan dunia tak perlu dibakar. Mereka akan menyambutmu sebagai ratu—di bawah malam abadi.”

Kaelion maju. “Jangan dengarkan dia. Selira, aku percaya padamu!”

Selira menutup mata.

Dan ia berkata, “Maka percayalah padaku sekali lagi.”

Dia menyerahkan dirinya.

Azhrath menyerap tubuhnya dalam pusaran hitam. Tapi saat itu juga, jebakan terpicu.

Selira—yang selama ini diajari oleh Penjaga Garis Ibu—telah menyulam sihir pengikat jiwa di dalam dirinya. Saat Azhrath mencoba menyatu, jiwanya tertangkap dalam lingkaran balik.

Azhrath meraung, terperangkap. “Kau mengkhianatiku!!”

Selira tersenyum lemah. “Aku memilih... cahaya.”

Dan tubuhnya meledak dalam cahaya putih, melenyapkan seluruh pasukan bayangan di medan perang.

Kaelion berlari, mencari di antara debu dan cahaya.

Tapi yang tersisa hanya... liontin perak milik Selira, dan luka yang tak bisa disembuhkan oleh pedang atau sihir apa pun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel