Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 6

Udara di sekitar lembah Tuar’meth terasa seperti menyimpan napas—diam dan pekat. Burung pun enggan berkicau, seolah takut membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.

Di hadapan Kaelion dan rombongannya terbentang kuil kuno, dibangun dari batu-batu gelap yang sudah retak oleh waktu. Di atas gerbangnya terpahat kata-kata dalam bahasa yang telah lama dilupakan:

"Dalam rahim kegelapan, lahirlah cahaya yang ditukar dengan nyawa."

Rael berbisik, “Tempat ini disebut-sebut hanya dalam dongeng. Tidak ada catatan yang mengonfirmasi keberadaannya.”

Kaelion tak menjawab. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat—ia merasa… Selira ada di dalam sana. Jiwanya, tubuhnya… atau apa pun yang tersisa dari perempuan yang telah ia cintai dan lepaskan dalam pengorbanan berdarah.

Saat mereka melangkah ke dalam, lorong kuil mulai berubah wujud. Batu-batu di dinding mengalir perlahan, seperti cairan hitam yang mencoba menelan keberadaan mereka. Aroma darah kering dan dupa memenuhi udara. Langkah kaki terasa berat, seakan mereka sedang berjalan di dalam mimpi buruk yang disulam oleh para penyihir kuno.

Tiba-tiba, Rael menggenggam bahu Kaelion.

“Baginda. Lihat.”

Di tengah lorong terdapat ukiran mural yang menggambarkan seorang wanita berpakaian seperti pendeta, sedang menggendong bayi yang dikelilingi oleh api dan kabut. Tapi yang membuat Kaelion menahan napas adalah wajah wanita itu...

Wajahnya mirip Selira.

Tiba-tiba, dinding di belakang mereka tertutup. Batu besar jatuh dari langit-langit, memisahkan Rael dan dua pengawal dari Kaelion. Lorong di depan Kaelion menyala pelan dengan nyala api biru, mengarah ke satu ruangan berbentuk lingkaran.

Kaelion tak punya pilihan selain berjalan ke depan.

Ruang itu seperti perut dunia.

Di tengah ruangan berdiri singgasana batu, dan di atasnya… duduk Selira.

Namun tubuhnya terpaku. Matanya tertutup. Jubah putih yang dikenakannya kini bersimbah garis merah—simbol sihir darah yang terus hidup di kulitnya.

Kaelion maju, namun suara menggema menghentikannya.

“Langkah lebih jauh, dan jiwanya akan hilang untuk selamanya.”

Seseorang berdiri dari balik bayangan. Seorang lelaki tua, dengan jubah pendeta kuno dan kalung dari tengkorak kecil yang memanjang sampai dada.

“Aku adalah Yir Velith, penjaga gerbang kelahiran terbalik. Dan perempuan ini—wadah terakhir yang masih utuh, nyaris sempurna. Tapi rasa dan kenangan menodainya.”

Kaelion mencabut Serathil, pedang warisan para leluhur. Namun Velith tak gentar.

“Kau kira bisa menyelamatkannya dengan besi dan tekad, Kaisar muda? Dia kini terikat pada lingkaran sihir lama—cinta dan rasa hanya akan mempercepat kehancurannya. Jika kau benar-benar mencintainya… pergilah. Biarkan dia lenyap dalam tenang.”

Kaelion menggenggam gagang pedangnya lebih erat. Dadanya sesak.

“Jika cinta bisa menghancurkan, kenapa dia tetap memanggilku bahkan dalam keterikatannya?” suara Kaelion rendah tapi tajam. “Kenapa dia menulis surat itu? Kenapa dia masih... ingat aku?”

Yir Velith mendesis. “Itulah kelemahannya. Dan itu akan kuhancurkan terakhir.”

Kaelion menebas segel sihir yang melingkari lantai. Api biru menyembur. Segel runtuh sebagian, tapi tubuh Selira justru bergetar. Darah mulai menetes dari mata dan mulutnya.

Ia menggeliat… dan membuka mata.

Matanya masih hitam. Tapi di dalamnya, Kaelion melihat—air mata.

“Kaelion…” suara itu parau dan pelan, “kau datang...”

Velith berteriak, “Terlambat!”

Ia melemparkan tongkat hitam ke tanah dan bayangan tebal menyeruak dari lantai. Dari dalam bayangan itu muncul sosok-sosok tak bernama—jiwa-jiwa lama yang terjebak dalam lingkaran sihir kelahiran terbalik.

Kaelion terdesak. Tapi ia berdiri di depan Selira. “Jika dia harus lenyap, maka aku akan lenyap bersamanya.”

Dan di detik itu—Selira tersentak. Mata hitamnya perlahan berubah. Hitam itu menghilang… digantikan warna matanya yang asli. Abu-abu pucat.

“Kaelion…” ujarnya, kini sadar penuh. “Jangan... mati... bersamaku. Hancurkan cermin itu.”

Kaelion melihat ke belakang singgasana. Cermin besar berlapis kabut darah. Cermin yang menampung roh-roh kegelapan yang selama ini menjaga tubuh Selira.

Kaelion menerjang. Bayangan menyerangnya, tapi Serathil bersinar. Dengan satu teriakan panjang, ia mengayunkan pedangnya dan—

Cermin itu hancur.

Teriakan Yir Velith memenuhi ruangan, sebelum tubuhnya mencair menjadi abu dan menghilang.

Saat kabut lenyap, Selira ambruk. Kaelion menahan tubuhnya.

Ia masih hidup.

Tapi tubuhnya… lemah. Sangat lemah. Kulitnya pucat, nadinya nyaris tak terasa.

“Aku... tak bisa kembali sepenuhnya, Kaelion,” bisiknya. “Tapi aku bisa... mengingatmu. Itu cukup.”

Kaelion menggenggam tangannya. “Tidak. Kau akan pulang. Aku akan mencari pengobatan, bahkan jika harus membongkar langit dan bumi.”

Selira tersenyum samar. “Jika dunia ini pernah memiliki tempat yang pantas disebut rumah... itu adalah saat aku di sisimu.”

Beberapa hari kemudian, rombongan kembali ke Valtheris. Tapi kabar buruk menyambut mereka:

Paman Lesthar telah menyatakan dirinya sebagai Pemangku Takhta.

Ia menyebarkan berita bahwa Kaelion telah terbunuh dalam misi ke barat, dan kini rakyat menanti penguasa baru.

Dan Kaelion berdiri di gerbang istana, memandang megahnya menara yang pernah menjadi simbol kuasa dan cahaya.

Matanya kini tak hanya menyimpan luka. Tapi juga bara.

“Jika mereka ingin perang… aku akan beri mereka perang.”

*

Hujan deras mengguyur Valtheris malam itu, seolah langit pun murka atas peristiwa yang terjadi di dalam dinding istana. Api tak lagi hanya berkobar di perapian, tetapi di hati rakyat yang terpecah antara kebenaran dan kepalsuan.

Paman Lesthar berdiri di balkon utama istana, berseru kepada massa yang berkumpul di lapangan kerajaan. Jubahnya merah darah, mahkota sementara terpasang di atas kepala yang penuh ambisi.

“Kaelion telah gugur di perbatasan barat!” suaranya menggema. “Tapi kerajaan ini tak akan runtuh bersamanya. Aku, darah bangsawan sejati, akan menjaga Valtheris dari kehancuran!”

Sorak-sorai terdengar, tapi banyak yang menggertakkan gigi dalam diam. Sebagian tahu, sebagian curiga. Tapi rakyat telah diajarkan untuk percaya pada apa yang mereka lihat dan dengar.

Dan yang mereka lihat malam itu… adalah bayangan Kaelion sendiri yang berjalan ke arah gerbang utama istana.

Rombongan Kaelion berhenti di ujung tangga batu. Hanya seratus pasukan yang setia padanya berhasil kembali dari misi ke barat. Tapi mereka membawa panji emas dengan lambang naga bersayap terbuka—lambang Kaisar sah.

Rakyat mulai gempar.

“Bukankah dia sudah mati?!”

“Apakah ini tipu daya sihir?!”

“Tidak… itu dia! Dia hidup!”

Kaelion berjalan pelan, tubuhnya masih lelah. Di belakangnya, Rael menopang Selira yang masih belum pulih sepenuhnya. Tapi yang membuat rakyat terdiam… adalah sorot matanya.

Mata seorang pemimpin yang telah melihat kematian… dan menolak tunduk.

Paman Lesthar berdiri dari singgasananya, wajahnya kaku.

“Kaelion,” katanya keras, “apa ini? Kau kembali dengan tubuh dan cerita yang tak bisa dibuktikan. Apakah ini sandiwara?”

Kaelion menatapnya tajam. “Jika kau ingin sandiwara, Lesthar, maka mari kita beri rakyat panggung yang pantas.”

Ia melepas jubahnya, menampakkan luka bekas pertempuran. Di tangannya, Serathil bersinar lembut.

“Bilang pada mereka. Ceritakan siapa yang menyuruhku menuju kematian. Siapa yang mengirim pengkhianat dalam pasukanku. Siapa yang memalsukan surat kematianku. Dan siapa yang duduk di takhta itu saat aku belum dikuburkan.”

Lesthar menahan marahnya. Tapi ia sudah terlalu dalam untuk mundur.

“Pasukan! Tangkap dia!” teriaknya.

Tapi separuh pasukan istana… justru menunduk kepada Kaelion.

Pertempuran pun meletus.

Lorong-lorong istana berubah jadi medan perang. Darah mengalir di lantai marmer, dan dinding yang dulu dihias ukiran sejarah kini dilumuri arang dan luka. Rael memimpin barisan dalam, menerobos dari pintu belakang dan mengamankan menara sinyal agar rakyat tahu bahwa sang Kaisar masih hidup.

Sementara Kaelion sendiri menghadapi Lesthar di ruang singgasana.

“Dulu kau hanya bocah penakut yang merengek saat pelatih perang menyentuh pedangmu,” ejek Lesthar sambil mencabut pedang panjangnya. “Sekarang kau ingin menjadi Kaisar?”

Kaelion tak menjawab. Ia hanya menatap.

“Bocah itu mati di barat,” bisik Kaelion pelan. “Yang kembali adalah seseorang yang telah kehilangan cintanya… dan menemukannya lagi di ujung kematian.”

Dua pedang bertemu.

Pertarungan mereka bukan sekadar perebutan mahkota. Tapi balas dendam. Pengkhianatan. Dan harga darah yang telah tumpah.

Lesthar memiliki teknik cepat dan penuh tipu muslihat, tapi Kaelion—yang kini membawa luka dan tekad baja—menyerang dengan kekuatan dan keyakinan penuh. Lesthar sempat menggores lengan Kaelion, tapi sang Kaisar tak mundur.

“Aku tidak ingin membunuh darah dagingku,” ujar Kaelion di tengah duel.

“Sayangnya, aku sudah menganggapmu mati sejak malam aku menandatangani surat pengkhianatan itu,” jawab Lesthar dingin.

Dan saat itu juga—Kaelion menebas cepat, menekuk tangan lawannya lalu menusukkan Serathil ke dada Lesthar.

Suara pedang menembus tulang terdengar… lalu diam.

Lesthar rebah di lantai. Nafasnya tercekat. Darah mengalir, membentuk genangan kecil di bawah singgasana.

“Lucunya,” katanya lirih, “meski kalah… aku masih sempat duduk di takhta sebelum-mu.”

Kaelion menatapnya tanpa amarah. Hanya luka. Luka yang lebih dalam dari sabetan mana pun.

“Kau duduk di sana… bukan sebagai kaisar. Tapi sebagai musuh negeri ini.”

Lesthar tersenyum tipis, lalu mengembuskan napas terakhirnya.

Keesokan harinya, Valtheris dipenuhi oleh teriakan haru.

Kaelion, Kaisar sah, kembali naik takhta.

Tapi pengangkatannya kali ini bukan dengan upacara mewah. Ia tidak duduk di atas takhta emas itu dengan suka cita, melainkan dengan beban baru.

Selira duduk di sisinya, matanya masih sayu, tubuhnya belum kuat.

“Jika rakyat tahu apa yang terjadi di kuil itu…” bisik Selira. “Mereka akan takut padaku.”

“Biarkan mereka takut,” jawab Kaelion lembut. “Asal kau tetap di sini. Di sampingku.”

Ia menggenggam tangannya. Dan untuk sesaat, meski dunia masih bergejolak, mereka merasa utuh.

Namun jauh di bawah tanah, dalam reruntuhan kuil yang telah ditinggalkan, sebuah mata terbuka di balik cermin yang pecah. Mata itu… bukan milik Selira.

Melainkan sesuatu yang kini tahu… Kaelion adalah ancaman terbesar bagi kebangkitan kegelapan.

Dan darah kaisar itu… adalah kunci terakhir.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel