#Chapter 3
Gema ledakan di dalam gua itu bukan hanya suara batu runtuh—tapi panggilan dari sesuatu yang lebih tua dari waktu. Api biru membakar akar dan dinding batu, menyebarkan bau besi, tanah hangus, dan sesuatu yang aneh... bau darah kaisar.
Sir Davir mundur perlahan, menarik Kaelion yang masih tak sadar ke balik formasi batu. Rael, sang pembunuh bertopeng, tetap berdiri di depan sosok raksasa itu—Cakar Kedua. Sosok itu tak memiliki wajah, hanya rongga kosong bersinar seperti bara, dan tubuhnya terselubung serpihan besi hitam seperti sisik naga.
“Kaelion Varrien,” geram suara makhluk itu, seperti dua batu besar yang digerus bersama. “Anak dari pengkhianat. Pewaris darah yang dicuri dari langit.”
Rael menatap makhluk itu tanpa gentar. Ia membuka sarung tangan kirinya, memperlihatkan simbol terbakar di telapak tangannya—lambang dari Lingkar Dalam Kekaisaran.
“Kalau kau datang untuk darah, maka lewati aku dulu, monster,” tantangnya.
Makhluk itu menjulurkan tangan, dan angin panas meledak dari telapak tangannya, menghantam tubuh Rael dan membuatnya terpental ke dinding gua. Sir Davir bergerak cepat, menyalakan api dari obor suci yang ia bawa, menciptakan lingkaran perlindungan sederhana dengan mantra prajurit tua.
Tapi perlindungan itu goyah saat Kaelion mendadak terbangun—dengan mata bersinar keperakan, dan suara berat menggantikan suaranya sendiri.
“Jiwa dan darahku adalah perjanjian. Api dan malam mengalir dalamku.”
Sir Davir menatapnya dengan ngeri. “Yang Mulia… suara itu bukan suara Anda.”
Kaelion berdiri perlahan. Dalam penglihatannya, ia tak lagi berada di gua, melainkan di padang luas yang menyala biru, dikelilingi oleh arwah-arwah tak berwujud.
Di hadapannya, berdiri bayangan Selira, terikat oleh rantai langit dan bumi. Darah menetes dari matanya.
“Kaelion…” Selira memanggil. “Jangan izinkan Azhrath bangkit... Jangan jadikan aku pintu menuju akhir dunia.”
Kaelion menggenggam kepalanya. Suara-suara dalam pikirannya semakin keras: suara ayahnya, suara dewan kerajaan, suara pasukan, suara pengkhianat, dan kini... suara darahnya sendiri.
“Kau adalah Kaisar Terakhir, Kaelion…” bisik suara bayangan. “Dan hanya kau yang bisa membuka atau menghancurkan kunci malam.”
Kaelion kembali sadar sepenuhnya ketika makhluk itu—Cakar Kedua—mengayunkan tangan raksasanya. Tapi tubuh Kaelion tak mundur. Ia mengangkat telapak tangannya… dan menciptakan lingkar sihir di udara. Sebuah pusaran cahaya keperakan muncul, dan dari dalamnya, muncullah pedang kuno berkilauan, bermata dua, terbuat dari batu bintang.
Rael, yang perlahan bangkit dari reruntuhan, tertegun. “Pedang itu… hanya bisa muncul jika darah keturunan asli Vartheon telah diakui oleh dunia lama…”
Pedang itu bernama Serathil—dalam legenda, disebut sebagai "Pemisah Takdir". Dan hanya kaisar sejati yang bisa memanggilnya.
Kaelion menggenggamnya. “Kalau aku adalah akhir… maka biarlah aku memilih cara bagaimana aku berakhir.”
---
Pertarungan itu tidak seperti yang bisa dibayangkan oleh manusia biasa. Setiap tebasan Kaelion memotong ruang, dan setiap pukulan dari Cakar Kedua menghancurkan fondasi gua. Batu-batu runtuh. Akar-akar pohon melilit dari atas. Api biru dan cahaya keperakan beradu, menciptakan badai energi kuno.
Selama pertempuran, satu per satu ingatan Kaelion dikupas oleh makhluk itu. Ia melihat kembali momen saat ibunya dibakar hidup-hidup oleh orang yang mengaku saudara ayahnya. Ia melihat wajah Selira menangis, saat dituduh sebagai pembawa sial. Ia melihat wajah rakyatnya kelaparan karena pajak bangsawan-bangsawan rakus.
Semua dosa itu, kini mengalir dalam tubuhnya.
Namun, dalam lubuk hatinya… Kaelion tahu, ia bukan ayahnya. Dan darahnya bukan takdir. Ia punya pilihan.
Dengan teriakan keras, Kaelion melompat dan menusukkan Serathil ke dada Cakar Kedua. Makhluk itu meraung, tidak karena kesakitan—tapi karena bebas dari kutukan.
“Terima kasih… darah api…” ucapnya sebelum meledak menjadi debu cahaya.
Seluruh gua runtuh seketika. Rael, Sir Davir, dan satu prajurit terluka berhasil keluar sambil membawa Kaelion yang pingsan.
Kaelion terbangun di sebuah rumah kayu kecil di pinggiran hutan. Malam telah jatuh. Cahaya remang lilin menari di langit-langit. Laerena duduk di sisi tempat tidurnya, membawa mangkuk ramuan hangat.
“Kau hampir mati,” katanya lembut.
Kaelion menatapnya. “Tapi aku belum selesai.”
Laerena mengangguk. “Kau sudah membuka kunci pertama. Dua lagi masih menanti. Cakar Ketiga dan… sang Dewa Malam sendiri.”
Kaelion bangkit perlahan. “Dan Selira?”
Laerena menunduk. “Jiwanya terbelah. Tapi belum hilang. Kita masih bisa menyelamatkannya. Tapi… kau harus tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan.”
Ia menyodorkan lembaran naskah tua.
Kaelion membacanya. Matanya melebar.
Selira… adalah cucu dari Vartheon. Putri dari garis keturunan kaisar pertama yang dipenjara oleh Azhrath.
Dengan kata lain… Selira juga pewaris takhta.
Kaelion mencengkeram naskah itu. “Kalau dia jatuh ke tangan musuh… Azhrath tak hanya akan bangkit. Tapi akan punya tahta sah untuk memerintah dunia.”
Laerena menatapnya serius.
“Dan kau, Kaelion… harus memilih. Menyelamatkan Selira… atau menghancurkannya, demi dunia.”
Malam itu, Kaisar muda menatap langit. Bintang-bintang seolah meredup. Di kejauhan, ia mendengar suara genderang perang mulai bergema dari perbatasan selatan. Musuh-musuh lama kembali bangkit, mencium kelemahan di jantung Kekaisaran.
Tapi ancaman terbesarnya… ada di dalam dirinya sendiri.
*
Langit di atas ibu kota Kekaisaran Valtheris mendung kelabu, seperti menyadari kehancuran yang perlahan merayap dari arah selatan. Genderang perang telah berbunyi. Asap dari desa-desa perbatasan membumbung tinggi, membawa kabar duka sebelum kabar kemenangan sempat muncul.
Di dalam ruang dewan rahasia bawah tanah, Kaelion berdiri di hadapan meja batu tempat para penasihat berkumpul. Wajah mereka mencerminkan ketakutan dan keraguan, terutama setelah mendengar kabar kebangkitan Cakar Kedua dan hancurnya titik pertahanan Arvenlor.
“Pasukan iblis... menyerbu dari dalam bumi. Mereka tidak datang dari gerbang perbatasan. Mereka muncul dari dalam akar!” kata Jenderal Salren.
“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri,” kata seorang prajurit penyintas. “Warga berubah menjadi bayangan. Istri membunuh suami. Anak-anak... membisikkan mantra dalam bahasa yang tak dikenal.”
Para penasihat mulai berdebat, sebagian menyalahkan Kaelion karena melanggar larangan memasuki Hutan Terlarang. Sebagian lagi percaya kaisar muda itu adalah satu-satunya harapan.
Namun Kaelion diam. Ia hanya menatap peta kekaisaran yang kini telah penuh dengan tinta merah.
“Ada sesuatu yang harus kalian tahu,” katanya pelan. “Selira bukan hanya pelayan. Ia adalah keturunan langsung dari Vartheon, sama seperti aku.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu.
“Dia telah terikat pada rencana Azhrath sejak lahir. Tapi aku yakin, dia belum sepenuhnya menjadi milik kegelapan.”
“Yang Mulia!” seru penasihat tua, Torien. “Jika dia adalah pewaris, maka jika dia disatukan dengan Azhrath, seluruh dunia ini akan tunduk. Dunia lama akan bangkit. Tak akan ada jalan kembali!”
Kaelion mengangkat kepalanya. “Karena itu aku harus menemukannya dulu, sebelum musuh melakukannya.”
Di sisi lain benua, di reruntuhan kuil Arzareth yang tersembunyi di balik tebing neraka, Selira berdiri di tengah lingkaran api. Rambutnya memanjang hingga pinggang, matanya bersinar ungu gelap. Suaranya ketika berbicara bukan hanya satu—melainkan dua, tumpang tindih.
“Kaelion hidup,” gumamnya.
Sosok berjubah hitam mendekatinya, Azhrath sendiri—dalam wujud manusia, tinggi dan tanpa wajah. Suaranya seperti bisikan ribuan jiwa.
“Dia akan datang padamu, Selira. Dia akan mencoba menyelamatkanmu. Dan di sanalah kau harus memilih.”
“Memilih...?”
“Menjadi pelindung dunia... atau menjadi pengakhirannya.”
Selira terdiam. Tapi jauh di dalam dirinya, sisa dari gadis pelayan itu masih menggigil. Masih mengingat pelukan Kaelion. Tawanya. Janjinya.
“Dia tidak akan membunuhku...” bisiknya.
Azhrath menunduk. “Dan itulah yang akan menghancurkannya.”
Tiga malam kemudian, Kaelion tiba di Kuil Pelindung Langit, tempat roh-roh kuno konon menjaga pintu gerbang antara dunia cahaya dan kegelapan. Bersamanya hanya Rael, Sir Davir, dan dua penjaga rahasia.
Langit hitam. Bulan tertutup. Tapi di tengah pelataran kuil yang kosong, sosok itu sudah menunggu.
Selira.
Ia berdiri dalam gaun gelap berhiaskan simbol kuno. Tidak lagi tampak lemah. Tidak lagi tampak seperti pelayan. Tapi tetap... mata itu adalah mata Selira.
Kaelion melangkah maju perlahan.
“Selira...”
Wanita itu menatapnya. “Kaelion.”
“Hentikan ini. Kau masih bisa kembali. Aku tahu kau masih di sana.”
Dia tersenyum tipis. Tapi senyum itu menyimpan luka.
“Kaelion... selama ini, aku hanyalah boneka. Kau satu-satunya yang pernah memandangku sebagai manusia. Tapi sekarang... dunia ini tidak butuh kelembutan. Dunia ini akan dibakar ulang, dan dari abunya akan lahir dunia yang baru.”
Kaelion menggenggam gagang pedangnya. “Kalau kau benar-benar mempercayaiku... maka bunuh aku sekarang.”
Selira menatapnya.
Dan ia... menangis.
Air matanya berubah menjadi darah, menetes ke tanah dan membentuk simbol kuno. Simbol dari perjanjian darah.
Azhrath muncul dalam kilatan api hitam, tertawa keras.
“Terima kasih, Kaisar. Kau telah membuka segel terakhir. Sekarang... aku tak butuh tubuh Selira lagi. Aku bisa lahir dalam bentukku sendiri.”
Tanah retak. Cahaya terhisap ke langit. Seluruh kuil berguncang.
Rael menyerang lebih dulu, tapi terpental. Sir Davir mencoba memanggil mantra pelindung, tapi api malam menelannya. Kaelion melompat, menggenggam Serathil, dan mencoba menusuk ke jantung pusaran.
Tapi suara Selira menghentikannya.
“Jangan! Jika kau membunuhku sekarang... dia akan hidup melalui darahku!”
Kaelion berteriak, terbelah oleh dua kutukan: cinta dan takdir.
Ia menghunus pedang itu ke langit dan melepaskan energi Serathil ke dalam pusaran. Menyegel Azhrath sekali lagi... dengan darahnya sendiri.
Tubuhnya terhuyung, berdarah, dan jatuh di pelukan Selira.
Selira menggenggam wajah Kaelion. “Aku minta maaf... untuk semua ini.”
Kaelion tersenyum lemah. “Belum... terlambat... untuk memilih menjadi cahaya...”
Dan ia pingsan.
Pagi itu, kabut di Kuil Pelindung Langit perlahan menghilang. Azhrath tidak sepenuhnya bangkit, tapi segelnya telah melemah. Dunia masih punya waktu... sedikit saja.
Kaelion dibawa kembali ke ibu kota. Luka-lukanya dalam, tapi jiwanya tetap bertahan.
Selira menghilang—tak ditemukan, tak meninggalkan jejak. Tapi Kaelion tahu... suatu saat mereka akan bertemu lagi.
Bukan sebagai kaisar dan pelayan. Tapi sebagai dua sisi dari takdir yang sama.
