Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 2

Dua hari berlalu sejak serangan di paviliun timur. Istana Zhurong tampak tenang dari luar, namun di dalamnya, badai tengah berkembang dalam diam. Kaisar Kaelion tak lagi menerima audiensi publik. Ia menolak makan malam resmi, menunda pertemuan dengan para bangsawan, dan mengunci diri di menara dalam kediaman pribadinya.

Yang mereka tak tahu, Kaelion tidak bersembunyi.

Ia membangun. Merancang. Mencari.

Di ruang bawah tanah perpustakaan tua, jauh dari mata para penjaga, Kaelion duduk di hadapan seorang lelaki bertopeng besi. Lelaki itu dikenal dalam bisik-bisik pasar malam sebagai Rael “Si Pendiam”, mantan pembunuh bayaran Kekaisaran yang menghilang setelah membocorkan rahasia para jenderal dalam perang lima tahun silam.

“Selira diculik oleh Ordo Bayangan,” kata Kaelion, suaranya pelan namun menggigit. “Aku butuhmu untuk menemukannya. Hidup.”

Rael menyilangkan lengan. “Kau kaisar. Kau punya seribu mata-mata dan pasukan rahasia. Mengapa aku?”

Kaelion menyodorkan sebuah koin logam berwarna hitam. Di permukaannya terukir lambang naga terbalik—lambang kuno yang hanya dikenali oleh orang-orang yang pernah menjadi bagian dari Lingkar Dalam Kekaisaran.

“Karena aku tahu, dulu kau adalah bagian dari Lingkar itu. Sama seperti ayahku.”

Mata Rael menyipit. Tangannya bergetar saat menyentuh koin itu. Ia mengangguk perlahan.

“Aku akan menemukannya,” bisiknya. “Tapi Ketahuilah, Yang Mulia... jika Ordo Bayangan telah bergerak, maka itu artinya para Tiga Cakar juga telah bangkit.”

Kaelion menatapnya lekat. “Tiga Cakar?”

Rael menatap lurus ke arahnya. “Tiga makhluk terkutuk yang menjadi pelayan Azhrath. Mereka hidup dalam bayangan kekuasaan, dan satu per satu... mereka akan mendekat padamu.”

Sementara itu, jauh di reruntuhan biara tua di sisi barat pegunungan Telzar, Selira terbangun dalam keadaan terikat dan lemah. Cahaya redup obor memantul di dinding batu yang lembab. Di sekelilingnya, berjubah gelap dan bertopeng, berdiri sosok-sosok tanpa nama.

Lelaki di depan Selira mendekat. Suaranya berat, namun tenang. “Selira Aen Serathel. Darah penjaga kuil. Kau telah membuka segel kuno. Kau telah membangkitkan kutukan.”

Selira mendongak. Wajahnya penuh luka, namun matanya tak gentar.

“Azhrath adalah kutukan itu. Dan kau—kau hanya boneka.”

Pria itu tertawa kecil. “Mungkin. Tapi boneka yang hidup seribu tahun lebih lama dari siapapun.”

Ia melepas tudungnya, memperlihatkan wajah yang... tak menua. Kulitnya pucat seperti lilin, dan matanya menghitam. Ia bukan manusia biasa.

“Aku adalah Kaelizar, Cakar Pertama. Dan aku datang untuk memberimu pilihan.”

Selira menahan napas.

“Kau bisa menjadi kunci kebangkitan Azhrath... atau batu penutupnya.”

Di istana, Kaelion berdiri di ruang takhta kosong, menatap kursi emas itu dalam diam. Dalam cermin-cermin tinggi yang menghiasi dinding, ia melihat bayangannya sendiri: wajah muda dengan sorot mata tua. Takhta itu bukan lagi tujuan—melainkan alat.

Datanglah seorang wanita berpakaian hijau zamrud. Cantik, berwibawa, dan membawa angin lain dari dalam istana. Ia adalah Marquessa Laerena, kepala keluarga Vionne, yang selama ini dikenal netral dalam politik istana.

“Yang Mulia,” ucapnya dengan anggun. “Aku datang bukan untuk menawarkan kekuasaan. Tapi peringatan.”

Kaelion menoleh. “Peringatan dari siapa?”

“Dari para wanita bijak di Utara. Kami tahu tanda-tanda ketika seorang kaisar diincar oleh langit... dan oleh neraka.”

Kaelion memperhatikan wajahnya.

“Selama ini aku berpikir tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Laerena tersenyum getir. “Banyak yang tahu, tapi tak banyak yang berani bicara. Karena bicara berarti menantang Azhrath.”

Ia menyodorkan selembar peta tua, memperlihatkan garis merah menuju hutan larangan di luar wilayah kerajaan.

“Di sinilah Cakar Kedua tertidur. Jika kau ingin menyelamatkan Selira... dan menyelamatkan dirimu sendiri, kau harus mengalahkannya lebih dulu.”

Kaelion menggenggam peta itu. “Kenapa membantuku?”

Laerena mendekat. “Karena aku pernah mencintai ayahmu. Dan aku berutang satu kehidupan padanya.”

Malam itu, Kaelion berdiri di depan jendela istananya. Angin membawa aroma musim kering, aroma perubahan. Ia memandangi cakrawala Zhurong, lalu menoleh ke meja tempat ia menyimpan dua benda: peta yang diberikan Laerena... dan liontin berdarah milik Selira.

Perlahan, ia mengenakan baju tempur ringan, menyelipkan pedang pendek di pinggang, dan memanggil Sir Davir.

“Siapkan empat orang terpercaya. Kita akan bergerak diam-diam malam ini.”

“Ke mana, Yang Mulia?” tanya Davir.

Kaelion menatapnya dengan sorot tajam. “Ke hutan terlarang. Kita akan memburu Cakar Kedua.”

Dan di luar sana, dalam kegelapan, makhluk-makhluk tua mulai terbangun dari tidur panjang mereka.

Langkah pertama menuju perang antara dunia manusia dan dunia bayangan... telah dimulai.

*

Dini hari, kabut tebal menggantung rendah di sepanjang jalan berbatu menuju timur kerajaan. Empat penunggang kuda, berjubah kelam tanpa lambang kekaisaran, melesat menembus hening. Di tengah mereka, Kaelion menunggang kuda hitam bernama Nyvar, hadiah terakhir dari ayahnya sebelum wafat.

Ia tidak membawa lambang kekuasaan. Tidak juga mahkota. Yang ia bawa hanyalah tekad, dan beban ribuan jiwa yang kini menanti dari kejauhan: rakyat, Selira… dan arwah ayahnya yang masih terasa menggantung di lorong-lorong istana.

Sir Davir memecah keheningan.

“Yang Mulia… ini sudah jauh melampaui batas aman. Hutan Terlarang bukan sekadar legenda.”

Kaelion tak menoleh. “Aku tahu. Tapi bahaya yang tak terlihat lebih mematikan dari yang kita ketahui.”

Davir menunduk. Ia tahu larangan untuk memasuki Ar’valen, hutan tua yang pernah menjadi pusat peradaban kuno sebelum kekaisaran berdiri. Konon, akar pepohonannya menyimpan rahasia hidup abadi… dan juga kematian yang tak bisa ditawar.

Ketika mereka akhirnya mencapai batas hutan, matahari belum benar-benar terbit. Di hadapan mereka, berdiri gapura batu yang tertutup lumut dan retak oleh usia. Di atas lengkungan gapura itu, terdapat ukiran kuno—bukan dalam bahasa Kekaisaran, tapi dalam bahasa Sihkar, bahasa yang hanya dikenal oleh para penjaga warisan dunia lama.

Kaelion turun dari kudanya dan mendekat. Ia menyentuh salah satu simbol, dan nyaris seketika, tanah di bawahnya bergetar pelan. Seberkas cahaya biru muncul dari ukiran itu, berdenyut seperti nadi.

Sir Davir bergidik. “Apa itu…?”

Kaelion menghela napas. “Ini adalah... pengakuan.”

“Pengakuan?”

“Bahwa darahku... memang berasal dari mereka yang dahulu membuka gerbang ini.”

Gerbang itu perlahan terbuka, bukan secara fisik, melainkan seperti kabut yang menyingkir. Mereka melangkah masuk, satu per satu. Saat langkah mereka menyentuh tanah hutan, angin berhenti berhembus. Suara burung dan serangga lenyap. Segalanya terasa seperti tenggelam dalam kubur yang hidup.

Di dalam hutan, waktu seolah tak berjalan. Mereka berjalan berjam-jam, tapi matahari tak kunjung naik. Cahaya hanya berupa semburat abu-abu keperakan dari langit yang tersaput kabut. Ranting-ranting pohon menjulur seperti tangan yang mengemis.

Mereka bertemu makhluk pertama saat malam mulai turun.

Sosoknya tinggi, berbalut bayangan, dengan wajah yang memancar cahaya putih menyilaukan. Matanya tak memiliki bola, hanya rongga dengan cahaya di dalamnya.

Sir Davir segera menghunus pedang, begitu pula dua prajurit lain. Namun Kaelion mengangkat tangan, melarang.

“Aku tahu makhluk ini. Ini disebut Vaurim, penjaga hutan.”

Vaurim itu bergerak, tidak melangkah, tapi meluncur di udara. Ia berhenti tepat di hadapan Kaelion, lalu bersuara dengan gema yang tidak berasal dari mulutnya.

"Darah Vartheon mengalir dalammu. Tapi darah manusia juga mengotorinya. Mengapa kau datang ke tanah yang ditinggalkan dewa?"

Kaelion menjawab, “Aku datang bukan membawa perang. Tapi mencari Cakar Kedua. Aku ingin menyelamatkan seseorang... dan menyelamatkan kekaisaran dari kegelapan yang sedang bangkit.”

Vaurim menunduk. “Cakar Kedua tidak tidur sendirian. Di bawah akar terdalam, ia bermimpi tentang api dan pengkhianatan. Dan jika kau ingin mencapainya, kau harus melewati Gerbang Ingatan.”

Tiba-tiba tanah di bawah mereka runtuh. Mereka terjatuh—bukan ke dalam lubang, tapi ke dalam semacam lorong hitam tak berdasar, dan satu demi satu, mereka lenyap dalam kegelapan.

Kaelion terbangun sendirian. Ia berada di dalam ruangan berdinding kaca. Tapi yang membuatnya bergidik adalah: seluruh dinding itu memantulkan kenangan.

Ia melihat dirinya sendiri—saat kecil, di taman bersama ibunya. Ibunya tertawa, memeluknya.

Namun dalam sekejap, kenangan itu berubah. Ibunya berteriak, lalu tubuhnya dilahap api. Darah mengalir. Tentara membelot. Kaisar Varrien—ayahnya—berusaha melindungi mereka.

Kaelion jatuh berlutut. Tubuhnya gemetar.

Terdengar suara dari atas. Suara seorang wanita.

"Kenangan yang menyiksa adalah harga yang harus dibayar untuk melihat kebenaran."

Ia mendongak.

Di balik kaca, berdiri seorang wanita muda, berpakaian pelayan... tapi bermata hitam pekat seperti malam yang tak berbintang.

Selira.

Tapi bukan Selira yang ia kenal. Aura gelap menyelubunginya.

“Selira?” gumam Kaelion.

Perempuan itu tersenyum tipis. “Selira yang kau kenal sudah mati, Kaelion. Aku adalah warisan dari dua dunia—penjaga kuil dan darah malam.”

“Tidak... aku tahu siapa kau. Kau bukan makhluk bayangan. Kau masih manusia!”

Ia menggedor kaca, tapi tak pecah.

Wanita itu mendekat, wajahnya penuh duka.

“Kau harus bunuh aku, Kaelion... atau aku akan menjadi kunci kebangkitan Cakar Ketiga. Aku adalah penebus yang dijanjikan Azhrath.”

---

Sementara itu, di dunia nyata—Rael dan Sir Davir berhasil menemukan tubuh Kaelion yang tak sadarkan diri di dasar gua bawah tanah. Darah mengalir dari pelipisnya, dan tubuhnya demam tinggi.

Rael menatap Davir. “Ia telah memasuki Gerbang Ingatan. Dan itu hanya terjadi… jika Cakar Kedua sudah bangkit.”

Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh dari dalam gua. Batu-batu runtuh. Akar pohon bergerak seperti ular.

Sosok besar muncul, berselimut kabut dan nyala api biru. Dari rahangnya menyembur angin panas, dan dari matanya mengalir air mata hitam.

Cakar Kedua telah bangkit.

Dan ia… mencari darah kaisar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel