Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. PEMBUKTIAN KEKUATAN SISTEM

Tengah malam di kota Makau.

Di sebuah ruangan remang-remang di lantai dua gedung yang baru dibelinya, Lu Zhen tengah duduk di kursi kulit dengan santai. Tangannya memegang laporan keuangan bisnisnya. Sebuah senyum penuh kepuasan tercipta di bibirnya.

Bagaimana tidak?

Laporan keuangan itu menunjukkan kenaikan yang sangat pesat. Satu bulan berjalan, dan angka di layar sudah menunjukkan keuntungan yang besar.

7 juta dolar dalam kurun waktu satu bulan!

“Benar-benar luar biasa. Kau sangat cerdas, Lu Zhen,” ucap Lu Zhen, memuji dirinya sendiri.

Ia sangat puas dengan pencapaian ini. Namun, ia tahu bahwa dengan besarnya angka ini, maka berarti masalah besar juga akan segera datang.

Sementara itu tak jauh di hadapannya, Han Lei, Ying Jie, dan beberapa anak buah barunya duduk di sekeliling meja bundar. Suasana terlihat tegang, sebab mereka baru saja menerima informasi dari seorang informan di distrik kasino.

Han Lie memang sengaja mengirim mata-mata ke kasino itu atas perintah dari Lu Zhen tentunya.

“Ini sangat gawat! Keluarga Li sudah mulai curiga,” kata Ying Jie sambil menyesap kopinya.

“Mereka sudah mendengar soal platform kita.”

Mendengar perkataan Ying Jie, tak tampak kecemasan di wajah Lu Zhen. Pria itu justru menyeringai kecil.

“Ternyata cepat juga mereka sadar,” ucap Lu Zhen dengan nada sinis dan datar.

Han Lei menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menghela napas, memijat pelipisnya pelan, lalu menatap Lu Zhen yang terlihat sangat santai. Bahkan di saat ia dan rekan-rekannya sudah merasa cemas, Lu Zhen masih bisa bersikap setenang ini.

“Bukan hanya sadar, Lu Zhen. Mereka marah.” Dengan cepat, Han Lei melemparkan selembar kertas ke meja.

“Menurut sumberku, Li Tianhao menganggap bahwa kita sudah mencuri kliennya. Dan kau tahu apa artinya?”

Ying Jie menghela napas. “Dia akan mengirim seseorang untuk membereskan kita.”

Lu Zhen tak mengatakan apa-apa. Ia hanya tersenyum dingin mendengar apa yang dikatakan oleh Han Lei dan Ying Jie.

“Sudah waktunya,” batin Lu Zhen.

Seolah menjawab firasatnya, pintu gedung itu tiba-tiba saja digedor sangat keras dari luar.

Brak! Brak! Brak!

Mendengar itu, sontak semua pun menoleh ke arah suara. Tubuh Ying Jie seketika menegang.

“Sial! Mereka datang lebih cepat dari yang aku duga.”

Han Lei bergegas melihat layar kamera pengawas dan mengutuk pelan.

“Sialan! Mereka ada enam orang dan semuanya bersenjata.”

Lu Zhen bangkit dari kursinya dengan tenang. Kecemasan Han Lei dan Ying Jie sepertinya tak berpengaruh padanya sama sekali.

“Kurasa aku harus menyambut kedatangan mereka,” ucapnya dengan tenang.

Han Lei tersentak kaget, dan menatapnya dengan tajam.

“Kau yakin, Lu Zhen ? Mereka bukan anak baru.”

Lu Zhen menyeringai.

“Justru karena itu.”

Ia pun segera mengambil sesuatu dari laci meja, dan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil dengan gagang perak. Ia menyelipkannya ke balik jaket, lalu berjalan turun ke lantai bawah.

Ketika Lu Zhen membuka pintu, enam orang pria berpakaian hitam berdiri di depan gedung. Salah satunya adalah Chen Wei, tangan kanan Li Tianhao.

Chen Wei tersenyum tipis begitu berhadapan dengan Lu Zhen. Sebuah senyum yang penuh kesombongan.

“Apa tujuanmu kemari?” tanya Lu Zhen to the point.

“Lu Zhen, sepertinya kau mulai lupa cara kerja bisnis di Makau,” katanya dengan nada meremehkan.

Lu Zhen menyilangkan tangan di dadanya. Tatapannya mengarah tajam pada pria di hadapannya.

“Kalau yang kau maksud bisnis adalah membayar pajak ke sekelompok parasit, maka aku tidak tertarik.”

Senyum Chen Wei memudar. Matanya menjadi dingin.

“Kau benar-benar mencari mati.”

Ia memberi isyarat dengan jarinya, dan dua anak buahnya maju. Tanpa peringatan, tiba-tiba salah satu dari mereka mengayunkan tongkat besi ke kepala Lu Zhen.

Akan tetapi Lu Zhen sudah siap menunggu. Sistemnya bekerja dan membuatnya lebih gesit.

Dengan refleks yang tajam berkat sistem itu, ia pun menunduk dan menangkap pergelangan tangan pria itu, lalu memelintirnya dengan brutal.

Krak!

“Akh!”

Pria itu berteriak kesakitan, lengannya terpelintir ke arah yang salah. Sebelum yang lain sempat bereaksi, Lu Zhen menarik tongkat besi dari tangan pria itu dan menghantamkannya ke lututnya.

Bugh!

Bruk!

Pria itu langsung tumbang seketika. Suasana pun mulai berubah kacau. Melihat kekalahan anak buahnya, Chen Wei menggeram marah.

“Serang dia!” perintahnya pada anak buah yang lain.

Tiga orang menyerbu sekaligus. Salah satu dari mereka segera menarik pisau dari jaketnya dan mengayunkannya ke perut Lu Zhen.

Dengan cepat, Lu Zhen menangkap pergelangan tangan pria itu, memutar tubuhnya, dan menusukkan pisaunya kembali ke perutnya sendiri.

Srekk!

“Argh!”

Pria itu terkejut dan berteriak. Matanya melebar saat darah mulai membasahi kemejanya.

Lu Zhen tersenyum sinis, lalu mendorong tubuh pria itu hingga jatuh ke lantai.

Kini sisa dua orang yang maju bersama. Salah satunya mencoba meninju, tetapi Lu Zhen menghindar dengan mudah dan membalas dengan tendangan ke dada.

Pria itu pun terhuyung mundur dan terbatuk. Yang terakhir, seorang pria bertubuh besar, cepat mengayunkan tongkat ke kepala Lu Zhen.

Dugh!

“Argh! Sialan!”

Lu Zhen merasakan benturan keras di pelipisnya, membuat pandangannya sedikit kabur. Namun, ia tidak mau mundur.

Dengan dorongan penuh amarah, ia menangkis serangan berikutnya dan menghantam ulu hati pria itu dengan sikunya.

Pria itu mengerang kesakitan, tetapi sebelum ia bisa jatuh, Lu Zhen dengan cepat meraih rambutnya dan menghantamkan kepalanya ke dinding beton.

Brak!

Darah pun berceceran, membuat pria itu berteriak keras sebelum akhirnya tumbang ke lantai.

Kini tersisa satu orang, yakni Chen Wei.

Ia masih berdiri di tempatnya, tidak bergerak. Namun, ekspresinya sudah berubah. Tadi ia tampak angkuh. Sekarang, ia justru tampak ragu.

Lu Zhen mengusap darah dari pelipisnya. Ia mengangkat wajah, menatap pada Chan Wei.

“Kau masih ingin bicara soal pajak?”

Chen Wei menggertakkan giginya. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan melemparnya ke lantai.

Sebuah kartu nama hitam.

Di sana, tertulis alamat sebuah kasino terkenal di pusat Makau. Chen Wei menatap Lu Zhen tajam.

“Bos ingin bicara denganmu.”

Lu Zhen mengambil kartu itu dan menatapnya beberapa detik. Lalu, ia menoleh ke Chen Wei dan tersenyum miring.

“Katakan pada Li Tianhao,” ucapya sambil menyelipkan kartu itu ke saku jaketnya,

“Aku akan datang.”

Chen Wei hanya mengangguk tipis, lalu berbalik dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan rekan-rekannya yang sudah tak sadarkan diri.

Lu Zhen menatap punggung Chan Wei sampai ia menghilang di balik kegelapan malam.

Di dalam kepalanya, ia tahu satu hal yang pasti.

“Besok malam akan menjadi awal perang yang sesungguhnya,” gumam Lu Zhen.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel