5
Mas Angga yang sudah merebahkan tubuhnya pun ikut terduduk kembali dan menatapku dengan tajam.
"Kamu berani bicara dengan nada tinggi pada suami? Kamu gak takut dosa, Tia? Apa kmau sudah lupa dengan nasihat Ustadz dan Habib jika datang ke rumah ini? Percuma kamu ikut majelis kesana kemari kalau kamu itu gak bisa menghargai suami! Mau kurang ajar?" tanya Mas Angga dengan tatapan yang menakutkan.
Aku hanya bisa menunduk dan menghela napas dalam agar rasa takutku hilang. Selama ini, aku banyak memendam semua rasa yang terjadi di dalam hidupku. Aku menahan di dalam hati sendiri sejak kecil.
Kalau orang bilang aku adalah perempuan introvet, cuek dan bahkan tidak peduli apapun, itu memnag betul. Walaupun sejatinya aku peka dengan keadaan sekelilingku. Tapi aku mencoba untuk menepis semuanya dan pura -pura tidak tahu. Karena apa? Karena aku banyak dikecewakan. Karena aku teus menerus merasakan hal yang tidak baik. Mungkin mentalku sudah hancur sejak kecil. Tapi, Aku berusaha kuat dan tetap berdiri di kakiku sendiri secara mandiri.
"Maaf Mas," ucapku lirih agar maslaah ini tidak menjadi panjang.
"Ujung -ujungnya cuma minta maaf kan? Makanya kalau mau marah -marah itu dipikir dulu. Kira-kira ngomong begini itu dosa gak," balas Mas Anga yang kemudian kembali merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur.
Aku memilih tak menanggapi. Dari pada salah lagi. Mas Angga itu lelaki ynag baik, berani dan bertanggung jawab. Tapi memang untuk urusan finansial, dia kurang beruntung,
Kita berdua selalu menjaga komunikasi dengan baik setiap hari, karena memang kita berdua selalu ada di rumah dan tak memiliki pekerjaan.
Selama ini, Untuk kebutuhan sehari -hari aku hanya mengandalkan perputaran uang dari warung kecil kami dengan modal seadanya dan berjualan bensin eceran di dalam botol.
Aku nekat membuka usaha kecil itu dengan modal lima ratus ribu rupiah. Aku telateni pelan -pelan yang penting ada keuntungan setiap hari yang bisa aku pakai untuk memenuhi kebutuhan harian kami sekeluarga.
Selain itu, aku mencari peruntungan juga dengan bekerja secara online. Misalnya membuat desain, mengisi survey atau apapun yang masih halal untuk didapatkan. Asal jangan dengan membuka aurat di depan layar untuk mendapatkan sedekha dari para penontonnya. Menurut sebagai perempuan yang masih bersuami, itu sangat memalukan dan berdosa.
"Masih belum tidur juga? Kamu lagi ngapain sih?" tanya Mas Angga yang membalikkan posisi tidurnya dan kini sedang menghadapku.
Aku memang masih belum bisa tidur setelah menuliskan beberapa belanjaan yang akan aku beli besok pagi sebelum membuka warung. Kini aku masih mengerjakan beberapa pekerjaan online yang belum aku pegang sejak siang.
"Nanti dulu, Mas," jawabku tanpa menatap ke arah suamiku.
Suamiku semakin geram dan merebut ponselku lalu dimatikan dan diletakkan di dekat bantal miliknya.
"Tidur! Bukan main hape aja. Jangan -jangan kamu punya selingkuhan ya!" tuduh Mas Angga dengan nada sinis.
"Astagfirullah Mas. Istighfar kalau mau ngomong sesuatu itu. Ngurusin rumah aja, aku udah capek. Gak ada waktu buat mikirin lelaki lain apalagi cuma di dunia maya. Jauh -jauhin tuh pikiran buruk dan negatif," ucapku makin kesal.
Siapa juga yang tidak kecewa saat kita mmepertaruhkan semuanya untuk keluarga dan dituduh melakukan hal yang sama sekali tidak kita lakukan. Sungguh terlalu sekali pemikirannya.
"Ya udah gak usah marah -marah dong. Kenapa harus panik?" tanya Mas Angga padaku.
"Siapa yang panik? Aku sama sekali gak panik. Kalau kamu tidak percaya, tinggal cek ponselku. Selesai, bukan? Kamu hidup sama aku itu sudah lama, Mas. Seharusnya kamu tahu, aku itu seperti apa? Bukan aku ingin dipuji karena kebaikanku, Mas. Tapi, Apa yang kamu ucapkan padaku itu terlalu menyakitkan," ucapku terus meluapkan rasa kecewa di dalam hati.
"Sudah. Ini udah malam. Gak baik beranten dan adu mulut begini. Bagus kita adu skil di atas ranjang," ucap Mas Angga dengan senyum penuh nafsu.
Mas Angga menarik tanganku dan mematikan lampu kamar dan mulai mneggulungku dengan tubuhnya yang kekar. Aku tak bisa menolak permintaan suamiku untuk melayaninya. Bukankah ini juga sudah tertulis dengan jelas. Setiap istri berkewajiban melayani suaminya dan janga pernah menolaknya kecuali dalam keadaan tidak sehat jasamani dan rohani.
Seperti inilah keadaan hidupku. Bahagia aku begitu sederhana sekali. Karena aku selalu merasa cukup dan sangat mensyukuri denagn apa yang aku terima. Walaupun aku sesak sesekali dan bingung dengan jalan pikiran Mas Angga yang sampai at ini masih belum mau bekerja dengan berbagai alasan yang membuatku bungkam.
Dulu, Mas Angga adalah anak dari keluarga yang berada. Kehidupan di Kampungnya sangat disegani dan dihormati. Bapak dan Ibunya memiliki harta yang sangat banyak berupa sawah. Tapi, satu per satu sawahnya habis terjual untuk investasi yang sampai saat ini investasi itu tak ada hasilnya alias bodong.
Kehidupan Mas Angga langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Bapak Mas Angga sering sakit -sakitan dan beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Sedangkan Ibunya juga membuka warung kecil sama seperti aku.
Kebetulan rumah kami ada disatu kota, satu kecamatan tapi berbeda desa. Hampir setiap haari kami mendatangi rumah bapak dan ibu mertuaku untuk mengirim sayuran matang atau kue untuk mereka.
"Apa yang kamu rasakan saat ini?" tanya Mas Angga setelah selesai memberikan nafkah batin padaku.
Mas Angga memang lelaki penyayang. Ia selalu memelukku erat setelah pergulatan panas yang telah kita lakukan tadi. Kita selalu bicara dari hati ke hati. Tubuh kita masih polos dan hanya tertutup oleh selimut tipis bawaan hantaran pernikahan dulu.
"Perasaan apa Mas?" tanyaku bingung.
"Ya ... Perasaan kamu. Kamu bahagia tidak menikah dengan Mas? Mas sadar kok, kalau selama empat belas tahun ini, Mas belum bisa membahagiakan kamu. Mas belum bisa melakukan tugas Mas dengan baik. Mas tidak pernah memberikan nafkah padamu seperti orang -orang yang berumah tangga pada umumnya," jelas Mas Angga tiba -tiba mmebuat hatiku kembali terenyuh dengan ucapannya.
"Maafin Mas, ya, Tia," ucapnya lagi sambil mengecup pipiku dengan penuh kasih sayang.
Hati istri mana yang tidak terbuai dengan perlakuan manis yang sangat sederhana ini. Bagiku, tidak semua laki -laki bisa mengakui kesalahannya secara jantan.
